Posted in Chapter, Married Life, Romance

Fool For You Part 8

Fool For You Part 8

Author : brokenangel

Main Cast : Lian Jeon – Kim Taehyung – Fellix Kim

Other Cast : Find by yourself

Category : Chapter, Romance

**

Suasana hati Taehyung saat bangun tidur tidak pernah sesegar ini semenjak kematian Yomi, istrinya. Dia merasakan perasaan ringan tidak seperti biasanya. Benar-benar menyejukan. Udara di sekitarnya juga cukup berbeda dari pagi biasanya. Kamarnya di kelilingi pohon-pohon rindang dan kicauan burung…

Tunggu!

Ini bukan kamarnya!

Sejak kapan dia tidur di tengah hutan? Terakhir kali dia sangat ingat sedang tidur di kamarnya dengan piyamanya. Bukan jas pengantinnya dengan Yomi. Dimana piyamanya? Siapa yang mengganti pakaiannya? Ini jelas-jelas sangat membingungkan dan mengejutkan.

“Taehyung-a!” Seru sebuah suara yang terdengar familiar bagi Taehyung.

Mendengar suara familiar itu lantas membuat Taehyung turun dari ranjang. Dia berjalan menuju sumber suara. Suara itu yang selalu selalu membuat hatinya bergetar. Suara paling merdu yang pernah dia dengar. Suara yang sangat dia rindukan di setiap paginya. Kakinya terus melangkah menelusuri jalan setapak sempit yang di pinggirnya ditanami pohon hijau rindang. Samar-samar dia bisa mendengar suara gelak tawa Fellix dan seseorang.

Putranya kembali tertawa? Betapa dia sangat merindukan tawa Fellix. Sudah lama Fellix tidak tertawa bahkan tersenyum semenjak kematian Yomi.

Taehyung tidak tahu kemana dia berjalan. Dia hanya menuruti kata hatinya saja untuk terus mengikuti suara itu. Hingga akhirnya suara itu hilang saat dia tiba di pinggir danau dimana terdapat dua angsa yang sedang berenang di tengahnya. Danau ini indah. Terdapat beberapa jenis bunga yang tumbuh. Salah satunya adalah mawar kuning. Bunga kesukaan Yomi.

Sebenarnya tempat apa ini? Kemana perginya suara tadi? Taehyung sangat bingung. Dia melihat ke sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Tempat ini benar-benar sepi. Hanya ada dirinya. Tidak ada Fellix yang sedang tertawa. Apa mungkin ini hanya halusinasinya?

Mommy! Ini geli!” Seru Fellix yang entah darimana asalnya.

“Fellix!” Teriak Taehyung sambil kembali menelusuri pinggir danau.

Itu dia! Taehyung bernafas lega saat melihat Fellix sedang bermain bersama seorang gadis berambut coklat. Dia memicingkan matanya, berusaha melihat siapa gadis itu. Tapi sinar matahari menghalangi penglihatannya. Dia tidak bisa melihat dengan jelas rupa gadis yang bisa membuat putranya tertawa.

Tapi … Kenapa Fellix memanggil gadis itu Mommy? Kenapa Fellix sangat dekat dengan gadis itu? Kenapa… Ada banyak kenapa di dalam kepala Taehyung.

“Taehyung!”

Kali ini suara yang berbeda tapi juga terdengar familiar. Hanya saja suara ini berbeda dengan suara yang pertama. Ini suara milik…

“Irene?” Gumam Taehyung saat melihat Irene berdiri di sebuah taman dengan perlengkapan piknik.

Ini sangat membingungkan. Sejak kapan ada taman? Kenapa ada dua jalan berbeda di depannya? Jalan menuju Fellix dan jalan menuju Irene.

Kemana kakinya akan melangkah? Mereka sama-sama berharga untuk Taehyung.

“Taehyung?”

Kepala Taehyung menoleh cepat saat mendengar suara indah di belakangnya. Matanya membelalak kaget melihat Yomi berdiri dengan sangat cantik di belakangnya. Jangan lupakan senyum menawan yang selalu membuatnya merasakan jatuh cinta setiap hari.

“Yom … Yomi-ya?” Bisik Taehyung tidak percaya. Tanyannya bergerak menangkup kedua pipi istrinya.

Nyata! Dia bisa menyentuh istrinya. Mata Taehyung berkaca-kaca. Tangannya bergetar. Secepat kedipan mata, tubuh Yomi sudah berakhir di pelukannya. Benar! Ini Yomi, istrinya. Istrinya yang sudah meninggalkannya bersama Fellix dua tahun lalu. Sekarang berdiri di depannya. Bahkan dia bisa memeluknya. Betapa dia sangat merindukan Yominya.

“Aku merindukanmu, Mi-ya. Sangat merindukanmu.” Bisik Taehyung semakin mempererat pelukannya. Seolah tidak membiarkan wanita di pelukannya ini pergi barang sedetik saja.

Taehyung melepas pelukannya. Tangannya kembali menangkup wajah Yomi. “Kau tidak akan pergi lagi, kan? Fellix sangat merindukanmu. Semenjak kau pergi, dia tidak pernah tersenyum.”

Yomi tersenyum anggun seperti biasa. Tangannya memegang tangan Taehyung di pipinya. Tatapannya mengarah pada Fellix yang sedang bermain dengan seorang gadis.

“Dia tertawa.” Bisik Yomi tanpa mengalihkan pandangannya pada Fellix.

Taehyung mengikuti arah pandang Yomi. Putranya masih disana bermain dengan seorang gadis. Ini saatnya. Dia akan membawa Yomi kembali sehingga Fellix tidak akan murung lagi.

“Kembalilah bersamaku. Fellix sangat membutuhkanmu. Kau pasti juga merindukannya.” Ucap Taehyung sambil menggenggam tangan Yomi.

“Tidak, Tae.”

Wajah Taehyung berubah. Dia menatap Yomi bingung. Apa Yomi tidak ingin bertemu Fellix?

“Aku tidak bisa ikut bersamamu.” Lanjut Yomi masih mempertahankan senyumnya.

“Kenapa?”

“Tae, tugasku untuk Fellix sudah selesai. Ada gadis lain yang akan membahagiakan Fellix dan juga kau. Gadis itu.” Yomi menunjuk gadis yang bersama Fellix, “Dia. Dia membuat Fellix kita kembali tertawa.” Ucap Yomi lembut.

“Tidak, Yomi. Kau harus ikut bersamaku. Kau-“

“Tae, sekarang kau harus menentukan pilihanmu.” Yomi membalikkan tubuh Taehyung. Membuat Taehyung kembali dihadapkan pada dua jalan yang berbeda.

“Kebahagiaan Fellix bersama gadis yang tidak kau cintai atau wanita itu.” Yomi kembali bersuara.

Taehyung tertegun di tempatnya. Mana bisa begini? Dia tidak mau memilih. Ini pilihan sulit. Lagipula, dia hanya ingin bersama Yomi hingga tua.

“Tidak bisakah kita bersama lagi?” Tanya Taehyung pelan.

Yomi menggelengkan kepalanya, “Kebahagiaan lain menunggumu, Tae.” Jawab Yomi sambil mengelus-elus pipi Taehyung.

Appa!” Tiba-tiba saja Fellix sudah di sampingnya dengan wajah penuh air mata.

Melihat Fellix menangis praktis membuat Taehyung panik. Dia tidak pernah menghadapi putranya menangis. Taehyung membawa Fellix ke dalam gendongannya sambil berusaha menenangkan Fellix.

“Berjanjilah kau akan menempatkan kebahagiaan Fellix sebagai prioritas utamamu, Tae.” Ucap Yomi

Taehyung semakin bingung dengan keadaan yang saat ini dia hadapi. 

“Yomi-ya, jangan pergi! Yomi-ya!” Panggil Taehyung saat Yomi semakin menjauhinya. Dia hendak mengejar istrinya tersebut namun sebuah cahaya memilukan menghentikan langkahnya bersamaan dengan tubuh Yomi yang menghilang.

“Yomi-ya!” Teriak Taehyung sambil mengedarkan pandangannya.

“Taehyung, tolong aku!” Teriak sebuah suara mengembalikan kesadaran Taehyung.

Taehyung melotot kaget saat melihat Irene, kekasihnya, yang sudah berlumuran darah. Dia akan berlari menghampiri kekasihnya tersebut tapi suara lirih menghentikan langkahnya.

Mommy.” Lirih bocah enam tahun ini sambil menunjuk seorang gadis yang tergeletak tak berdaya dengan lumuran darah.

Mommy?

Taehyung bingung kenapa Fellix, putranya, bisa memanggil gadis itu dengan sebutan Mommy. Apa sebelumnya mereka pernah bertemu? Tangis Fellix makin kencang saat Taehyung hanya berdiam diri dengan keadaan panik.

Demi tuhan! Irene sedang membutuhkan bantuannya. Tapi Fellix ingin mendekati gadis yang mungkin saja sudah mati itu. Siapa yang harus dia pilih? Kekasihnya atau gadis asing yang dipanggil Mommy itu?

“Berjanjilah kau akan menempatkan kebahagiaan Fellix sebagai prioritas utamamu, Tae.”

Perkataan Yomi beberapa menit lalu kembali terlintas di kepalanya. 

Kebahagiaan Fellix. Benar. Fellix tertawa sangat lepas bersama gadis asing itu, bahkan memanggilnya Mommy. Mungkin saja gadis itu akan membawa kebahagiaan untuk Fellix. Tapi, bagaimana dengan Irene? Dia tidak mungkin membiarkan Irene terluka. Irene membutuhkannya.

Appa, Mommy butuh bantuan kita. Cepat tolong Mommy!” Ucap Fellix tersedu-sedu.

“Fellix, Irene Noona juga butuh bantuan kita-“

“Aku tidak mau kehilangan Mommy, Appa! Selamatkan Mommy!

Ya tuhan! Cobaan apa ini? Siapa yang harus dia selamatkan? Gadis itu atau Irene?

Setelah lama berpikir dan memantapkan hatinya, Taehyung menggandeng Fellix dan berlari mendekati gadis yang Fellix panggil Mommy. Gadis itu masih sadar. Lukanya sangat parah. Fellix langsung memeluk gadis ini sambil berteriak agar gadis ini bertahan. Sementara itu Taehyung tampak kebingungan karena dia sama sekali tidak mengenal gadis ini. Dia menatap darah yang terus mengalir dari perut gadis ini.

Appa! Cepat tolong Mommy!” Ucap Fellix

Taehyung duduk di samping gadis ini. Tidak ada alat untuk menolong gadis ini. Sementara gadis ini semakin lama akan kehilangan kesadarannya. Tidak! Gadis ini tidak boleh mati! Fellix akan sedih kalau gadis ini mati. Kebahagiaan Fellix ada pada gadis ini.

“Nona? Kumohon bertahanlah.” Ucap Taehyung sambil memangku kepala gadis ini.

Fellix tidak berhenti menangis. Bocah itu tidak berhenti berdoa. Taehyung menggenggam tangan gadis ini yang terkulai lemas. Tangannya sangat dingin.

“Nona, buka matamu. Kumohon bertahanlah. Demi Fellix dan aku.” Bisik Taehyung pilu. Dia tidak tahu kenapa hatinya sangat sakit melihat gadis ini. Air matanyapun mengalir begitu saja jatuh di pipi gadis dalam dekapannya.

Keajaiban. Gadis ini membuka matanya sambil tersenyum tipis. Taehyung dan Fellix bernafas lega melihat gadis ini bertahan. Bahkan Fellix langsung mencium pipi gadis ini. Berbeda dengan Taehyung yang tertegun menatap mata biru indah di depannya. Dan entah dorongan dari mana, dia mencium kening gadis ini.

“Tae…”

***

“Aku ingin Lian Noona menjadi ibuku.”

Perkataan Fellix tiga hari yang lalu kembali terngiang di telinga Lian. Lian tidak bisa melupakan begitu saja permintaan Fellix. Bagaimanapun juga dia sudah berjanji akan mengabulkan apapun yang bocah itu minta untuk hadiah ulangtahun. Tapi, permintaan ini sangat sulit Lian kabulkan. Menjadi ibu Fellix? Itu artinya dia harus menikah dengan Taehyung. Itu tidak mungkin.

Lian harus merasa sangat bersalah karena membuat Fellix menangis malam itu. Tanpa memberi jawaban pasti, dia langsung berpamitan pulang. Meninggalkan Fellix yang menangis karena tidak ingin dia tinggal.

Hell!

Kenapa anak kecil bisa mempunyai keinginan yang mustahil? Maksudnya, Fellix itu masih enam tahun. Bocah sekecil itu mana paham makna pernikahan? Well, mungkin bocah itu merindukan ibunya hingga menginginkan ayah dan Lian menikah. Mungkin juga karena Fellix nyaman dengan Lian, hingga bocah itu ingin dia jadi ibunya.

Tapi ini pernikahan! Sakral! Sekali seumur hidup untuk Lian.

Tentu saja sebagai perempuan Lian menginginkan pernikahan yang murni karena keduanya saling mencintai. Bukan karena mengabulkan permintaan seorang bocah enam tahun. Come on! Memangnya menikah itu semudah seperti di cerita novel?

Astaga. Seharusnya dia tidak asal berjanji dengan Fellix untuk mengabulkan permintaan hadiah ulangtahun. Kalau sudah begini, dia harus apa? Fellix pasti akan sangat kecewa. Membayangkan wajah kecewa bocah itu lagi-lagi membuat Lian mengacak-acak rambutnya yang baru saja dipotong sebahu. Lian bukan gadis yang suka ingkar dengan janjinya.

“Kuharap kau tidak lupa dengan meeting hari ini.”

Suara bariton itu langsung menyadarkan Lian dari lamunannya. Pria evil itu sudah berdiri di depan Lian dengan senyum mengejeknya. Selama tiga hari ini, Marcus tidak berhenti menggoda Lian karena permintaan konyol Fellix. Pria itu menyarankan agar Lian mengiyakan permintaan itu mengingat perasaan Lian pada Taehyung.

Hey! Memangnya Taehyung juga menyukai Lian? Lagipula, bagaimana dengan keluarga Taehyung? Keluarga Lian sendiri?

Marcus dan otak sempitnya.

Lain halnya dengan Anna. Gadis itu menentang keras pendapat Marcus. Jangan tanya kenapa. Anna tentu tidak rela kalau sahabat karibnya menikah dengan duda. Katanya; “kalau dengan kecantikan dan kepandaianmu itu kau bisa mendapat pria single, kenapa harus menikah dengan duda? Pria itu juga belum tentu mencintaimu.”

Anna dan mulut sadisnya.

Aiden dan Jungkook tidak banyak berpendapat perihal ini. Tumben sekali. Padahal kedua pria itu biasanya mempunyai pendapat paling bagus. Jungkook juga tidak banyak berkomentar seperti biasanya. Aneh.

“Melamun tidak membuat meeting selesai, Jeon Lian.”

Dasar Marcus!

Dengan wajah kesal, Lian mengambil ponselnya dan beranjak dari duduknya. Ingatkan dia untuk menendang selangkangan pria itu nanti setelah meeting. Demi tuhan! Perjaka tua itu tidak ada bedanya dengan seorang siswa SMA yang menggoda Lian kemarin. Gila!

Di luar, Jinyoung sudah menunggu dengan wajah datarnya. Pria itu tidak mengatakan apapun begitu melihat Lian keluar. Urat senyumnya mungkin sudah hilang. Pria Park ini jarang sekali tersenyum. Kemudian mereka bertiga menuju ruang rapat dimana para investor sudah menunggu.

***

Rapat berlangsung lancar seperti biasanya. Jinyoung dan Marcus yang sangat kompak mempresentasikan projek terbaru mereka terkait pembangunan hotel di Busan. Dan para investor yang juga tampak fokus dengan presentasi dua pemuda cerdas itu. Tidak salah kalau Frank mengangkat Jinyoung sebagai sekretaris Lian. Di balik wajah lempengnya, pria itu sangatlah cerdas dan teliti.

Namun kalau bergeser pada kursi paling ujung, dimana kursi untuk pemegang posisi penting, pemandangan lain terlihat berbeda. Sejak rapat dimulai, Lian tampak tidak fokus dengan diskusi dari orang-orang di dalam ruangan ini. Bahkan dia tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Pikirannya tertuju pada hal lain yang belakangan mengganggu pikirannya.

Sementara itu, di sudut lain tempat duduk, seorang pria berhidung macum dengan obsidian hitam legam tampak tidak mengalihkan pandangannya dari Lian. Keterkejutan sempat menguasainya selama beberapa menit begitu melihat gadis itu masuk ke dalam ruang rapat sebagai CEO perusahaan tempatnya berinvestasi. 

Seriously?! Lian adalah seorang CEO! CEO Giant Corp. Perusahaan real estate besar yang berpusat di Swiss. Itulah yang dikatakan gadis itu saat perkenalan tadi. Meskipun belum ada penobatan. Tapi sudah jelas bukan kalau posisi itu tetap akan jatuh ke tangan Lian mengingat Jungkook yang berprofesi seorang dokter.
Pantas saja gadis itu terlihat sangat sibuk. Gadis luar biasa. Sempurna.

Taehyung tahu apa yang membuat gadis itu tidak fokus dengan rapat mereka hari ini. Tentu saja karena permintaan putranya yang sedikit konyol. Diapun sampai sekarang masih tidak bisa berhenti memikirkan permintaan putranya. Fellix masih menolak berbicara dengannya. Bahkan pria itu sempat tidak mau pulang ke rumahnya. Tapi dia harus profesional dalam pekerjaan, bukan?

Mungkin setelah ini dia akan membicarakan masalah ini pada Lian. Dia sedikit merasa bersalah pada gadis itu karena permintaan konyol putranya. Lian jadi tidak fokus pada pekerjaannya.

Kenapa jadi seperti ini?

***

“Ada yang ingin bertemu denganmu.” Ucap Anna begitu Lian mempersilahkan dia masuk. Dia berdiri di ambang pintu sambil menatap miris pada wajah kusut sahabatnya.

Malang sekali sahabatku ini, batin Anna.

Lian mengangkat kepalanya menatap Anna dengan tatapan bertanya. Dia bahkan mengabaikan tumpukan berkas yang harus segera dia tandatangani. Mau bagaimana lagi? Pikirannya sedang kacau.

Anna menggeser tubuhnya sehingga memperlihatkan seorang pria berhidung mancung yang sedang menatap Lian. Tubuh Lian sedikit menegang begitu matanya menangkap sosok yang juga mencuri sebagaian tempat di hati dan pikirannya. Kim Taehyung. Ayah Fellix!

Apa yang akan dia lakukan? Bagaimana dia bisa tahu kalau dia bekerja disini? Dia belum siap jika harus membicarakan permintaan konyol Fellix. Tidak. Dia tidak mau menikah karena terpaksa.

Tanpa menunggu ijin dari Lian, Taehyung sudah lebih dulu masuk ke dalam ruangan sakral itu. Membuat Anna mengumpat dalam hati. Matanya menatap Lian intens. Seolah mencari jawaban atas pertanyaan yang berputar di kepalanya.

Lian berdehem untuk menormalkan keterkejutannya. “Kau bisa keluar, Anna.”

Pintu tertutup. Namun sebelumnya Lian dapat menangkap tatapan Anna yang berkata ‘jadi ini duda tercintamu.’. Kalau saja tidak ada Taehyung di depannya, gadis itu sudah akan mendapat lemparan sepatu Lian. Lian mengalihkan tatapannya pada Taehyung yang masih berdiri di depannya. Jujur saja dia sedikit gugup saat ini.

“Silahkan duduk, Taehyung-ssi. Aku merasa terhormat dengan kedatanganmu.” Lian mencoba bersuara tenang.

Taehyung bergeming. Membuat Lian salah tingkah. Sial!

“Ngomong-ngomong apa kita memiliki kerja sama? Kurasa jadwal-”

“Bisa kita bicara?” Potong Taehyung cepat.

Glek.

Lian meneguk ludahnya susah payah. Dia merasa sangat terintimidasi. Hey! Kenapa dia seperti tersangka pembunuhan?

Excuse me?” Lian bertanya.

“Kita bicara. Berdua. Di tempat lain. Bisa?” Ulang Taehyung.

Lian menimang-nimang ajakan Taehyung. Dia sudah tahu kemana arah pembicaraan mereka nanti. Dia memang tidak bisa terus-terusan menghindar karena cepat atau lambat Taehyung pasti akan membicarakan hal ini dengannya. Dan itu sekarang. Disaat Lian masih sangat dilema.

Daddy! Bantu putrimu!

“Aku menunggu, Lian.” Ujar Taehyung tidak sabar.

Baiklah. Mungkin memang dia harus membicarakan ini dengan Taehyung. Ini perkara janji yang harus mereka tepati pada bocah kecil.

“Baiklah.” Putus Lian sambil beranjak dari duduknya. Dia mengambil tasnya dan juga ponsel kemudian berjalan mendekati Taehyung.

“Aku benar-benar membutuhkan waktu berdua denganmu, Li. Tidak papa?” Tanya Taehyung hati-hati.

“Tentu saja. Ayo pergi sekarang.” Sahut Lian.

***

Well. Taehyung memilih tempat yang cocok untuk pembicaraan serius mereka. Di aquarium raksasa. Entah apa motif pria itu mengajak Lian kesini. Tapi Lian juga patut berterimakasih karena disini sangat tenang. Lagipula dia menyukai keindahan makhluk hidui di dalam aquarium itu.

Mereka benar-benar berdua. Tidak ada Marcus ataupun Yoongi yang biasanya akan menemani Lian kemanapun. Bisa dibilang, mereka seperti sedang kencan. Memikirkannya saja membuat pipi Lian memanas. Namun dia buru-buru menggelengkan kepalanya. Sekarang bukan saatnya untuk berimajinasi.

Tidak ada percakapan sejak mereka masuk mobil. Dua manusia lawan jenis itu terlihat sibuk dengan dunia masing-masing. Mungkin hanya Lian yang berusaha menyibukkan diri untuk menutupi kegugupannya. Dia berjalan kesana-kemari menatap ikan-ikan kecil indah dan sesekali bergumam. Bahkan bibirnya juga menyunggingkan senyum kagum. Hal itu tentu saja tidak lepas dari penglihatan Taehyung. Sedikit heran karena seorang Jeon Lian yang begitu tertarik dengan makhluk air itu.

Cute.” Gumam Lian sambil menyentuhkan tangannya pada kaca di depannya. Di depannya ada ikan kecil berwarna biru sedang menatapnya.

Taehyung bersandar di aquariun raksasa itu sambil memasukkan tangannya pada saku celana. Tatapannya tetap tertuju pada makhluk indah di sampingnya yang asik dengan dunianya sendiri. Melihatnya membuat dada Taehyung bergemuruh. Dia kembali dilanda perasaan aneh yang belakangan ini mengganggunya. Hatinya merasa damai dan bahagia.

Tidak bisa disangkal kalau dia memang merindukan senyum manis Lian. Sebelum ada hari ini, dia merasa uring-uringan dan kesal. Ternyata alasannya adalah gadis ini. Gadis bermata indah yang mampu memporak-porandakan perasaannya.

“Berapa gaji sebulanmu sebagai pegawai?” Taehyung memecah keheningan sambil memalingkan wajahnya. Menatap ikan-ikan di atasnya.

Eh!

Lian tersedak ludahnya sendiri mendengar pertanyaan sindiran Taehyung. Dia kembali ingat saat Hee Jo, bibi Taehyung, bertanya tentang pekerjaannya yang kemudian dia jawab pegawai. Benar pegawai, bukan? Memang apa bedanya? Lalu, kalau dia menjawab sebagai CEO, apa yang bisa dia harapkan? Dipuji? Taehyung membalas perasaanya?

“Aku memang pegawai.” Elak Lian pelan.

Taehyung mencebik, “Dasar.”

Lian hanya tersenyum canggung menanggapinya. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Kupikir itu tidak penting untuk diketahui.” Ujarnya.

Taehyung memiringkan badannya. Menjadikan bahu kirinya untuk bersandar di aquarium raksasa itu. Sudut bibirnya sedikit terangkat melihat wajah salah tingkah Lian. Apa sebelumnya Taehyung pernah berkata kalau sebenarnya Lian memilikin sisi yang menggemaskan? Seperti saat ini contohnya.

Hanya Tuhan dan Taehyung yang tahu seberapa besar keinginan Taehyung untuk mengelus-elus pipi yang merona itu. Tangannya terkepal di balik saku celananya. Ini gila! Jeon Lian benar-benar sesuatu!

“Bagaimana kau tau kalau aku bekerja disitu?” Tanya Lian sembari berusaha tidak terjebak tatapan Taehyung.

Lucu. Gadis ini secara tidak langsung sudah membuat hiburan untuk Taehyung. Karena saking melamunnya Lian sampai tidak menyadari kalau dia juga ikut dalam meeting pembahasan projek baru tadi. Apa permintaan Fellix sangat mengganggu pikiran Lian? Jawabannya sudah jelas.

“Ternyata kau tidak profesial saat bekerja.” Jawab Taehyung dengan senyum miringnya. Melihat kening Lian yang berkerut, Taehyung melanjutkan. “Aku ikut dalam rapat tadi, sajangnim.”

“Ya!!!” Seru Lian tidak terima. Wajahnya merengut tidak suka. Dan itu membuat Taehyung tertawa kecil.

Apa-apaan? Apa pria ini memang sengaja menggoda Lian? Untuk apa? Agar Lian mau menuruti permintaan Fellix? Wah!!! Memang dengan pria itu tertawa yang membuat jantung Lian rontok bisa meluluhkan Lian? Tidak semudah itu!

“Maukah kau mendengar ceritaku?” Tanya Taehyung.

“Aku ini pendengar yang baik. Tentu saja.” Jawab Lian sambil kembali melanjutkan langkahnya menyusuri aquarium raksasa ini.

Taehyung mencoba mensejajari langkah pelan Lian. Baiklah. Usahanya akan dimulai dari detik ini. Dia harus bisa mendapatkan jawaban yang dia mau hari ini juga. Ya. Taehyung sudah membuat keputusan tentang permintaan putranya.

“Kau mungkin sudah sedikit tau kenapa bocah sekecil Fellix bisa bersikap sangat tertutup dan dingin terhadap orang-orang. Dua tahun yang lalu kami mengalami sebuah kejadian paling mengerikan. Malam itu saat pesta ulangtahun perusahaanku, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Dan ternyata peluru itu mengenai istriku. Tepat di jantungnya. Secepat apapun kami membawanya ke rumah sakit, nyawanya tetap tidak akan selamat, bukan? Yomi meninggal di tempat bahkan sebelum dia mengucapkan selamat tinggal kepada kami semua.”

Taehyung berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Lianpun sontak menghentikan langkahnya. Dia menatap Taehyung simpati. Tidak menyangka kalau Yomi akan pergi dengan cara yang tragis.

Seperti Lena.

Dalam keheningan itu, keduanya hanya saling diam dengan perasaan menyakitkan di hati masing-masing. Taehyung yang harus kembali merasakan perih saat mengingat istrinya menghembuskan nafas terakhir di pangkuannya. Sementara Lian yang harus menahan segala rasa marah dan sedih saat melihat Lena menutup matanya.

Taehyung menghembuskan nafas beratnya sebelum melanjutkan ceritanya.

“Sejak saat itu Fellix menjadi pendiam. Aku pikir dia akan kembali seperti biasanya setelah satu minggu kepergian Yomi. Tapi ternyata Fellix menjadi sosok yang sangat tertutup dan dingin kepada kami semua. Bocah itu tidak bisa tersenyum lagi. Kami sudah melakukan berbagai cara untuk mengembalikan sosok Fellix yang nakal dan banyak bicara, tapi tidak berhasil.”

Taehyung berhenti lagi untuk mengatur nafasnya yang memburu. Lian tau rasanya. Sangat tahu. Dia pernah mengalaminya.

“Fellix sangat kehilangan sosok ibunya. Pernah suatu malam sepulang kerja, aku masuk ke dalam kamarnya. Dia tidur sambil memeluk foto ibunya. Yang lebih membuatku sedih adalah saat melihat bekas air mata di pipinya. Aku merasa sangat gagal menjadi ayah. Seharusnya aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Fellix sehingga dia bisa berbagi cerita denganku. Tapi apa? Putraku lebih memilih menutup diri dan menangis diam-diam.”

Lian masih berusaha untuk tidak terbawa perasaan yang membuatnya menangis. Dia menatap Taehyung yang sibuk mengatur nafasnya. Pria itu nampaknya sedang berusaha untuk tidak mengeluarkan air matanya.

“Kemudian malam itu saat aku menghadiri pesta pengangkatan jabatan Hobie Hyung, seseorang menembakku yang kemudian membuatku koma tiga hari. Aku tidak tau apa saja yang terjadi selama aku koma. Hingga saat aku sadar aku dikejutkan dengan perubahan Fellix. Aku sangat senang. Akhirnya setelah dua tahun putraku bisa tersenyum lagi. Matanya juga bersinar.” Taehyung melanjutkan ceritanya dengan pandangan menerawang.

“Karenamu, Lian. Entah sadar atau tidak, kau membuat es dalam diri Fellix mencair.” Tatapan Taehyung beralih pada Lian yang tergugu.

Aku? Kenapa?

Taehyung menyunggingkan senyum hambar sebelum kembali berkata, “Fellix tidak suka berkomunikasi dengan orang asing. Dan kau, Fellix mau berbicara padamu disaat kalian sama sekali tidak saling mengenal. Aku dengar dari Appa, kalau saat itu Fellix menangis sendirian dan kau melihatnya. Appa juga berkata kalau Fellix mengajakmu berteman. Aku hampir menangis mendengarnya.”

Ingatan Lian kembali pada pertemuan pertamanya dengan Fellix. Dan saat itu untuk pertama kalinya dia mendapat tatapan paling dingin yang pernah dia lihat. Tapi sekarang tidak lagi.

“Kau sudah mendapapat sebagian hati Fellix, Lian. Sadar atau tidak kau mempunyai kasih sayang yang Fellix butuhkan. Bahkan Fellix sangat penurut padamu. Saat dia menemaniku di rumah sakit, dia sangat antusias bercerita tentangmu. Dan lagi, aku merasa terharu saat melihat binar bahagia di matanya. Putraku tidak pernah merasa sebahagia itu sebelumnya. Tapi, saat bertemu denganmu dia berubah.”

Entah atau hanya perasaan Lian atau memang tatapan Taehyung saat ini terlihat tulus. Lian tidak ingin mengambil kesimpulan sendiri. Dia masih setia mendengar cerita Taehyung dengan perasaan bergemuruh. Dia hanya bisa berdoa semoga setelah ini jantungnya masih baik-baik saja.

Taehyung mengambil nafas panjang sebelum akan mengucapkan hal paling penting. Yang mendasari mereka berada disini. Dan untuk pertama kalinya dia merasa sangat gugup. Dia membawa Lian agar berhadapan dengannya. Ini jelas tindakannya paling berani.

“Lian, sejak pertama kali melihatmu aku memang sudah melihat aura keibuanmu. Kau tampak tulus menyayangi Fellix. Dan yang terpenting, kau menjadi kebahagiaan untuk Fellix. Aku sangat berterimakasih.” Ungkap Taehyung tulus.

Demi apapun yang ada di dalam aquarium ini! Mulut Lian mendadak kaku untuk berbicara. Sialnya, dia hanya terpaku pada tatapan meneduhkan pria bak Adonis di depannya.

“Mungkin ini terdengar konyol. Tapi aku mengatakan ini jujur. Sejak pertama aku melihatmu, aku sudah jatuh cinta pada matamu. Kau mempunyai mata indah yang membuatku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku tau ini salah. Tapi kau sungguh berbeda dari gadis lain. Kau menyayangi Fellix dengan tulus, padahal kau baru mengenalnya. Kau juga menjaga Fellix selama aku masih dirawat. Kau memperlakukan Fellix seperti dia adalah orang berhargamu.”

Kalian memang sudah menjadi bagian berharga dalam hidupku.

Di tengah ruangan sepi ini Lian seperti bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Akan sangat lucu kalau Taehyung juga mendengarnya. Lian mendadak merasa tubuhnya sangat kaku. Bibirnya kelu untuk mengatakan sepatah katapun. Tatapan Taehyung sangat meneduhkan.

“Bagiku, kebahagiaan Fellix adalah sesuatu yang menjadi prioritas utamaku. Aku hanya ingin melihat Fellix terus tersenyum. Dan yang bisa membuatnya tersenyum hanya kau, Li. Kau adalah kebahagiaan Fellix yang selanjutnya. Dia sangat ingin kau menjadi ibunya, Lian. Akupun begitu.” Kata Taehyung tanpa melepas pandangannya dari gadis di depannya.

Kalimat terakhir yang diucapkan membuat Lian tidak bisa menutupi keterkejutannya. Menjadi ibu? Apa itu artinya menjadi istri Taehyung? Belum reda keterkejutan Lian, kali ini dia dibuat makin terkejut karena Taehyung tiba-tiba menggenggam kedua tangannya. Tubuhnya makin menegang karena merasakan sengatan listrik akibat dari kulit mereka yang bersentuhan.

Sama halnya dengan Lian yang tengah gugup karena pria di depannya, Taehyung tak kalah gugup karena ingin mengatakan sesuatu yang akan merubah takdirnya sebentar lagi. Itupun jika dia mendapat jawaban yang dia inginkan. Tapi dia sudah berjanji pada seseorang yang jauh disana agar bisa mendapat jawaban yang dia inginkan. Dia berjanji pada dua orang dan akan menepatinya.

“Lian, mungkin ini terdengar aku hanya bermain-main. Tapi aku mengatakannya dari hatiku. Maukah kau menikah denganku? Mendampingiku dan Fellix, menulis lembar cerita baru denganku dan Fellix, membuatku dan Fellix selalu tersenyum, dan menyayangi kami selamanya. Maukah kau menghabiskan sisa hidupku dengan margaku?”

Apa?

Lian mematung di tempat. Jantungnya berpacu dengan sangat cepat. Tenggorokannya serasa tercekat. Pikirannya kosong.

Apa ini keputusan yang Taehyung ambil?

Aku tidak bisa menikah karena terpaksa.

Menatap pria di depannya yang menunggu jawaban, Lian hanya bisa menelan ludah kasar. Tatapan Taehyung sarat akan permohonan. Tatapan itu melemahkannya. Tapi sekali lagi, dia tidak bisa mengambil keputusan dengan gegabah. Mungkin saja Fellix hanya bercanda dan bocah itu akan meminta hadiah lain. Tapi…

Ada banyak tapi di kepala Lian. Dia harus segera menjawab sekarang. Taehyung sangat menunggunya terbukti dengan genggaman di tangannya yang makin mengerat.

Lian menghembuskan nafas panjang. Dia tidak bisa.

“Maaf.”

Satu kata yang keluar dari mulut Lian, merobohkan harapan yang sudah Taehyung bangun tinggi-tinggi. Dia menggelengkan kepalanya. Bukan ini jawaban yang dia mau. Dia sudah berjanji agar bisa mendapat jawaban YA dari Lian kepada Frank.

“Demi Fellix, Lian. Kumohon.”

“Aku tidak bis-”

Kalimat Lian terputus karena ponsel Taehyung yang berbunyi. Lian dapat melihat Taehyung mendesah frustasi sebelum akhirnya melepas genggamannya pada Lian dan mengambil ponselnya.

Ne, Eomma? Ada apa?”

“……….”

“APA?!”

Lian tersentak kaget mendengar teriakan Taehyung. Dia menatap pria itu penasaran.

“Aku akan pulang sekarang.” Taehyung mengakhiri percakapannya di telepon.
“Ada ap-”

“Fellix tiba-tiba muntah dan pingsan.”

“APA?!”

Posted in Chapter

TAKE ME #1 (Failed Wedding)


Tittle : TAKE ME (Failed Wedding)
Author : xxxpunch

Main Cast : Jeon Lian/Audrey Koch – Byun Baekhyun

Other Cast : EXO – Kim Taehyung – Jeon Jungkook – Harry McKenzie – etc

Category : Chapter, Romance

***

Menjelang pemberkatan dimulai, semua orang disibukkan dengan tugas masing-masing. Para tamu undangan sudah memenuhi kursi di dalam gereja. Dilihat dari cara berpakaiannya saja, jelas mereka berasal dari keluarga bangsawan dan terpandang.

Pernikahan ini akan menjadi pernikahan paling ditunggu di kalangan bangsawan. Pasalnya cucu terakhir dari Charles Korch akan mengakhiri status lajangnya hari ini.

Pemandangan lain terlihat di dalam ruang ganti pengantin perempuan. Gadis berpakaian pengantin itu sedari tadi sibuk mondar-mandir sambil menggigit kuku jarinya. Kalau kalian mengira gadis itu gugup karena pemberkatan akan segera dimulai, maka jawabannya salah besar.

Pernikahan? Cih! Menyebutnya saja membuat gadis itu mual.

Kalau seminggu yang lalu dia sangat antusias dengan pernikahannya, maka sejak tiga hari yang lalu tidak lagi. Setelah mengetahui aib paling busuk dari seseorang tentang calon suaminya, dia malah sangat muak.
Muak dengan kebodohannya.


Aku janji tidak akan membuatmu kecewa.


Tidak akan ada yang ditutupi.


Kau wanita satu-satunya yang bisa membuatku segila ini.

Busuk! Omong kosong!

Sepuluh menit lagi pemberkatan dimulai. Lian atau Audrey, Si pengantin perempuan, masih belum mendapatkan cara untuk kabur dari pernikahan busuk ini. Anggap dia gila! Memang itu kenyataannya. Setidaknya setelah tahu kalau Harry, calon suaminya, sedang mengkhianatinya.

Persetan dengan kehormatan! Lian muak! Sakit di hatinya sudah memakan habis hatinya. Masa bodoh dengan tahtanya. Tahta, kekuasaan, kehormatan! Lian tidak peduli lagi dengan tiga hal itu.


Kling
.

Pesan masuk di ponselnya. Lian segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja riasnya. Nafas lega langsung keluar dari mulutnya saat melihat nama si pengirim.


Tae ❤


Kuharap aku tidak menjadi buruan orang-orang kakekmu. Semuanya sudah siap. Pikirkan baik-baik lagi keputusan gilamu, Koch! Nama baik keluargamu dipertaruhkan.

Senyum lebar terpatri di wajah gadis Amerika itu. Mengabaikan dua kalimat dari sahabatnya itu, Lian langsung melempar ponselnya ke sofa. Dia menatap penampilannya sejenak melalui cermin di depannya.


Grandpa, maafkan cucumu yang kurang ajar ini.

Lian menghela nafas panjang. Dia menatap sepatu kaca yang khusus dipesan Harry untuknya itu. Bahkan dia belum sempat memakai sepatu itu. Bohong kalau Lian tidak ingin menangis. Dia sudah berjanji tidak akan menangisi pria brengsek itu.


Sudah saatnya.

Lian memasukkan sepatu kaca itu ke dalam kotaknya lagi. Matanya berkaca-kaca saat mengingat percakapan singkatnya dengan Harry enam bulan yang lalu.


“Kau suka Cinderella?”


“Kenapa? Kau bukan anak kecil lagi, Audrey.”


“Aku ingin memakai sepatu kaca saat menikah nanti.”


“Kalau begitu akan kukabulkan permintaan tuan putriku ini.”

Harry menepati janjinya. Tapi Lian tidak bisa memakai sepatu kaca itu. Mengingat semua kenangannya membuat hatinya makin sesak. Semuanya tinggal kenangan.

Tanpa mempedulikan penampilannya yang masih menggunakan gaun pengantinnya, Lian membawa kotak berisi sepatu kaca dan ponselnya itu dan keluar dari ruang gantinya. Matanya membulat saat melihat jejeran pria berjas di sepanjang koridor. Pengawal-pengawal itu menatap Lian heran.

Bagaimana bisa Lian melupakan hal sepenting ini?

Sebuah ide melintas di kepalanya. Dia berusaha memasang wajah ketakutan. Kemudian dia berlari.

“Tolong! Ada orang yang ingin memperkosaku di dalam!” Teriak Lian yang langsung menarik perhatian para pria berjas hitam itu.

Salah satu menghampiri Lian dan sisanya memasuki ruang ganti Lian. Lian tersenyum licik. Mereka masuk jebakannya. Tinggal mengurus pria di sampingnya yang tengah menenangkannya.
Lian mengambil ancang-ancang untuk memukul pria itu. Gaun pengantin ini membatasi gerakannya.


Buk!


Jedug!

Dalam sekali pukulan, Lian berhasil membuat pria itu pingsan. Senyum di wajahnya bertambah lebar. Dia kembali berlari menuju ruang gantinya. Dia menatap pria-pria pesuruh kakeknya itu dengan senyum sinis.

“Maafkan aku, pria-pria tampan.” Desis Lian

Lalu…


Brak
!

Lian mengunci pintu itu dari luar. Sedetik kemudian terdengar suara gaduh di dalam. Tanpa pikir panjang lagi, Lian berlari menuju pintu keluar.


Sialan
! Lian langsung mengumpat dalam hati saat melihat lebih banyak pria berjas hitam. Dia kembali memutar otaknya. Waktu semakin sempit. Lian yakin sebentar lagi berita tentang dia kabur akan tersebar. Dia berharap ada mobil yang bisa dia gunakan.

Pucuk dicinta, mobilpun datang.

Dia melihat orang yang baru saja keluar dari mobil. Lalu dia berlari menuju orang itu. Dan dia harus melukai satu orang lagi. Tidak sia-sia dia mendapat pelatihan bela diri setiap hari Rabu dan Sabtu. Orang itu pingsan dalam sekejap.

“Maafkan aku, tuan.” Bisik Lian sambil mengambil kunci mobil milik orang itu.

Miss Koch!” Teriak salah satu pria berjas hitam yang berlari tergopoh-gopoh ke arahnya.

Shit!” Pekik Lian lalu masuk ke dalam mobil itu.

Dalam lima detik, para pengawal langsung berlarian ke arahnya. Lian memacu mobil itu dengan kecepatan tinggi. Dia tidak peduli nyawanya terancam. Lebih baik dia mati kalau harus menikah dengan pria brengsek itu.

***


Incheon International Airport, Seoul, South Korea

7.34 p.m KST

Pesawat pribadi Lian baru saja mendarat di Seoul. Dia berhasil bebas dari orang-orang suruhan Charles, kakeknya. Tentu saja dia harus naik taksi terlebih dulu untuk sampai bandara. Dia bahkan harus mengabaikan tatapan heran dan sinis dari orang-orang.

Jangan lupa kalau Lian adalah gadis yang akan melangsungkan pernikahan. Dia kesana-kemari masih menggunakan gaun pengantin. Siapa yang tidak heran?

Tanpa menunggu pramugari yang biasanya akan melepas seatbeltnya, Lian langsung turun dari pesawat. Dia yakin kakeknya itu sudah menyuruh orang-orangnya di Korea untuk mencarinya. Charles itu cerdas. Maka dari itu, Lian harus lebih cerdas.


Bingo
!

Dia kembali menjadi pusat perhatian saat sudah memasuki ruang tunggu VVIP. Beruntung yang berada disini tidak banyak. Lian memutar kepalanya. Mencari sosok Kim Seokjin yang sudah berjanji akan menunggunya di ruang tunggu.

Tidak ada!

Lian mendesah frustasi. Waktu mengejarnya. Dia harus segera keluar dari bandara ini kalau ingin selamat dari Charles. Kalau saja dia tahu Seoul, Lian tidak akan menunggu Seokjin.

Mampus!

Pesawat dengan simbol Koch baru saja mendarat. Hanya berselang tujuh menit. Bukankah Charles sangat cerdas? Lian tahu itu adalah pesawat dengan kecepatan super yang dipesan sepupu gilanya tiga bulan yang lalu. Tapi dia tidak menyangka kalau Charles akan meminjam pesawat itu untuk mengejarnya.

Tanpa mau membuang waktu, Lian berlari entah kemana. Yang jelas dia harus bersembunyi dari orang-orang suruhan kakeknya.


Bruk
!

“Ah! What the hell!” Pekik Lian saat tubuhnya bertabrakan dengan seseorang hingga tersungkur.

Lian menatap pria yang berdiri di depannya tajam, “Hey, Sir! Tidakkah kau melihat kalau aku sedang berlari? Kenapa berdiri disitu?” Omel Lian sambil berusaha untuk berdiri.


See
! Bahkan pria itu tidak berusaha untuk membantunya. Gaun sialan! Lian merapikan sebentar gaunnya yang berantakan. Gaun ini mahal.

Sementara itu, pria yang baru saja dia marahi hanya menatapnya heran. Bukan hanya pria itu. Ada pria-pria yang lain yang menatap Lian heran. Beberapa juga bisik-bisik.

“Nona, kau harusnya yang berjalan menggunakan mata. Kenapa menyalahkanku?” Balas pria yang baru saja Lian tabrak tak mau kalah.

Lian mendelik kesal. Bukannya minta maaf, tapi malah menyalahkannya. Dia baru akan membalas ucapan pria itu saat akhirnya sadar kalau dia sedang berada diantara para pria dan wanita. Mulutnya menganga. 

Kenapa tiba-tiba banyak sekali manusia yang mengelilinginya? Mereka menatapnya dengan tatapan yang beragam.

“Kau tidak tahu siapa kami?” Celetuk salah satu dari pria itu. Pria paling tinggi bersuara besar.

“Memangnya siapa kalian itu penting?” Sungut Lian sambil melihat ke belakang.

Demi dewa-dewi Yunani! Pria-pria berjas itu sedang berpencar mencarinya. Seharusnya Lian tidak meladeni pria itu dan langsung pergi. Sekarang dia tidak bisa kabur. Pria berjas hitam itu akan mudah menemukannya.

“Tuan, bisakah kau membantuku? Bawa aku pergi dari sini. Kumohon, tuan.” Pinta Lian pada pria yang tadi dia tabrak. Dia menangkupkan kedua tangannya di depan wajah dan memasang wajah semelas mungkin. Berharap pria di depannya ini iba.

Dia melupakan sejenak kekesalannya karena pria tadi yang membuatnya terjatuh. Sesekali dia menoleh ke belakang.

“Kau tadi memarahiku, sekarang minta bantuanku. Hey, Nona! Kau harusnya tidak disini. Calon suamimu pasti sekarang mencarimu.” Sahut pria itu sambil melipat tangannya di depan dada.

“Tuan, kumohon. Aku harus segera pergi dari sini.”

Miss Koch!” Teriak seseorang.

Tubuh Lian mematung mendengar teriakan itu. Dia tertangkap. Dia dapat mendengar suara derap langkah yang berlari ke arahnya. Lian masih mematung di tempat. Dia tidak bisa berpikir. Tidak ada jalan keluar untuk kabur lagi. Orang-orang suruhan kakeknya sudah mengepungnya.

Lian persis seperti anak kecil yang ketahuan mencuri. Sial! Kalau begini sudah pasti dia tidak akan berhasil kabur. Orang-orang itu ada dua puluhan. Lian pasti kalah melawan dua puluh orang.

“Audrey.”

Suara itu! Suara serak itu milik pria brengsek yang membuatnya kabur. Bagaimana bisa Harry ada disini? Lian benar-benar tidak dapat berkutik. Dia mengangkat kepalanya dan saat itu juga matanya bertubrukan dengan milik pria berwajah cantik di depannya. Harapan terakhirnya terletak pada pria itu. Dia masih sempat berbisik agar pria itu mau membantunya. Tapi pria itu hanya menatapnya datar.

“Audrey-”

“Jangan mendekat!” Ucap Lian sambil menghindar dari Harry yang hendak menyentuhnya.

Harry menatap calon istrinya bingung. Tujuh jam yang lalu dia mendapat kabar kalau Lian tiba-tiba kabur saat pemberkatan akan dimulai empat menit lagi. Saat itu juga Charles murka dan langsung memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap Lian. Harrypun tidak bisa berdiam diri. Dia bertekad akan membawa Lian pulang.

“Kau ini kenapa? Kenapa kabur saat pemberkatan kita akan dimulai?” Tanya Harry dengan suara lembut.

Lian menatap Harry sinis. Masih saja bersikap sok manis. Sayangnya, Lian tidak akan pernah termakan lagi dengan sikap manis Harry. Cukup sekali saja dia menjadi gadis bodohnya Harry.

“Aku tidak mau menikah denganmu.” Ucap Lian lantang. Matanya sudah berkaca-kaca sejak dia mendengar suara Harry. Namun dia sudah berjanji untuk tidak menangisi pria pembohong itu.

Mata Harry tampak melebar saat mendengar ucapan Lian. Jauh-jauh dia kesini bukan untuk mendengar hal ini dari tunangannya itu. Harry berjalan mendekati Lian. Tangannya sudah akan mencapai pundak Lian, namun Lian menghindar lagi. Ada yang tidak beres pada Lian. Tiga hari yang lalu Liannya masih sangat manja terhadapnya.

“Audrey, kau kenapa? Ayo, pulang! Kakek akan marah-”

“Aku tidak peduli! Dan aku tidak mau menikah denganmu!” Seru Lian sambil menunjuk Harry.

Harry menghela nafas panjang. Berusaha sabar. Entah apa yang terjadi pada Lian, dia hanya perlu menunggu sampai emosi gadisnya ini stabil.

“Bawa dia.” Ucap Harry pada pengawalnya.

Pengawal itu hanya mengangguk patuh dan langsung membawa Lian pergi.

“Lepaskan aku! Aku tidak akan pulang!” Jerit Lian sambil meronta.

Pria yang tadi bertabrakan dengan Lian akhirnya memutuskan untuk turun tangan. Dia tidak bisa melihat wanita diperlakukan kasar. Dia menghadang jalan mereka tanpa mempedulikan panggilan Chanyeol dan teman-temannya yang lain. Baekhyun, pria itu, menatap Lian datar lalu beralih pada dua orang yang memegang lengan Lian.

“Kau siapa? Jangan menghalangi kami!” Ucap Harry sinis.

Lian menyentak tangan suruhan Harry. Tidak hanya itu. Dia menyikut perut dua pria berbadan besar itu. Dia berterimakasih dalam hati karena pria itu mau menolongnya. Kemudian tangannya diseret Baekhyun hingga kini dia berada di belakang pria berwajah cantik itu. Lian dapat melihat wajah Harry yang mengeras. Biasanya dia akan takut kalau sudah melihat ekspresi marah Harry. Tapi kali ini, melihatnya saja membuat Lian ingin muntah.

Muka dua! Menjijikan!

“Apa-apaan ini, Audrey? Apa kau mengkhianatiku?” Tanya Harry dengan suara rendah.

“Mengkhianatimu?” Desis Lian sambil tersenyum sinis.

Harry menghela nafas panjang. Pasti Lian sedang banyak pikiran sehingga pikirannya ngawur. Tapi, haruskah kabur hingga ke negara orang? Itulah yang sejak tadi menjadi tanda tanya Harry.

Mungkinkah sesuatu terjadi sebelum pemberkatan dimulai?

Tidak mungkin.

Ruang ganti Lian aman selama sepuluh menit menjelang pemberkatan. Lagipula Lian tidak punya musuh. Kemungkinan besar ada seseorang yang mengganggunya kecil. Yang menjadi hipotesis sementaranya adalah adanya seseorang yang mengancam Lian memalui pesan ataupun telepon, karena Lian juga pernah bilang padanya kalau ada nomor tidak dikenal mengganggunya. Bisa jadi nomor itu kembali mengancam Lian.

Baby, please jangan mempersulit keadaan. Kita pulang sekarang. Keluarga kita menunggu.” Suara dan tatapan Harry melembut.

“Aku tidak mau pulang! Sialan!” Sahut Lian dengan nada tinggi.

Semua umpatan Lian keluarkan. Entah umpatan itu ditujukan pada siapa. Wajahnya sangat frustasi. Dia sudah sangat gatal ingin menendang Harry. Rasa sakit hati karena dikhianati membuatnya ingin membunuh Harry saat ini juga.

“Kalau begitu kita ke pergi dari sini. Semua orang melihat kita.” Bujuk Harry lagi sambil mendekati Lian. Kali ini Lian tidak menghindar.

“Harry, I wanna say something.” Ucap Lian pelan. Dia memberanikan diri untuk menatap Harry.


Jangan menangis!
Lian menjerit dalam hati. Tangannya terkepal erat. Dia berusaha menahan air matanya yang sudah berkumpul di sudut matanya. Tidak peduli dengan sakit hati, tidak peduli dengan rasa cintanya yang teramat besar pada pria brengsek di depannya.

Hubungan ini harus berakhir

“Kita akhiri saja.” Ucap Lian final.

Terlihat mata Harry melebar. Bukan hanya Harry. Orang-orang suruhan Charles juga tampak kaget. Tangan Harry sudah terkepal erat. Mati-matian dia menahan untuk tidak menyeret Lian ke dalam pesawat.

Dia baru akan memegang tangan Lian, saat Lian tiba-tiba melepas cincin pertunangan mereka. Matanya melebar. Dia menatap Lian tidak percaya.

“Audrey, apa yang kau lakukan?!” Sentaknya sambil menahan tangan Lian yang hendak melempar cincin itu.

“Mengakhiri hubungan kita.”

“Kau terlalu banyak pikiran, Baby. Lebih baik kita pulang sekarang dan kau bisa istirahat di pesawat agar pikiranmu jernih.” Sahut Harry berusaha tenang.

“Aku muak denganmu, Harry! Jangan berpura-pura manis di depanku!” Teriak Lian. Air matanya meluncur bebas di kedua pipinya.

“Audrey…” Lirih Harry sambil memegang kedua pundak Lian. Kelemahannya adalah melihat Lian menangis.

Harry kehilangan kata-kata. Dia tidak tahu apa yang membuat Lian mengambil keputusan gila ini. Tapi, sebesar apakah ancaman atau masalah yang dihadapi Lian hingga harus mengambil keputusan dengan berpisah?

Berpisah bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah.
Lagipula, Harry tidak akan bisa berpisah dari Lian. Lian sudah seperti nafas untuknya. Jika nafas itu hilang, maka dia akan mati.

“Sekarang aku tanya padamu. Apa kau sedang mengkhianatiku?” Tanya Lian lirih. Dia menatap Harry dengan tatapan terluka.

Mendengar pertanyaan Lian, membuat tubuh Harry membeku seketika. Tangannya yang berada di pundak Lian langsung terlepas. Pandangan matanya kosong. Jantungnya bergemuruh. Suara isak tangis Lian tidak dapat lagi dia dengar.

Sesuatu yang buruk baru saja terbongkar.

Harry yakin ada kesalahpahaman. Dia menatap Lian penuh penyesalan. Tangannya berusaha untuk memegang tangan Lian, tapi gadis itu kembali menghindar. 

Tiba-tiba saja ketakutan terbesar itu datang menyerangnya.

Ketakutan akan kehilangan nafasnya. Audrey Koch.

“Kenapa kau tidak menjawab? Kalau kau mau menjawab jujur, aku akan menarik kata-kataku tadi.” Kata Lian lirih.

Dalam sudut hatinya yang paling dalam, dia berharap Harry menjawab tidak sehingga dia masih bisa mempertahankan hubungan mereka. Dia berharap apa yang dia dengar dan lihat tiga hari yang lalu adalah sebuah kebohongan. Tapi mustahil. Semua yang dia lihat terlalu nyata untuk dikatakan kebohongan.

Katakan sesuatu, Harry!

Lian masih menunggu Harry mengeluarkan suara. Apapun itu, entah kebenaran atau bukan, Lian hanya ingin Harry mengatakan sesuatu. Namun hingga menit ketiga, Harry masih bungkam. Pria berambut kriting masih diam mematung dengan tatapan yang menyiratkan penyesalan.

Lian menundukkan kepalanya. Tidak peduli dengan aksinya yang menjadi pusat perhatian. Tidak peduli make upnya akan luntur. Diamnya Harry merupakan pukulan telak untuknya agar tidak menyesali keputusannya. Tapi ketahuilah, dalam hati terdalam Lian, dia tidak ingin kehilangan Harry. Harry adalah pria pertama yang mengisi hatinya selama lebih dari tiga tahun.

Haruskah berakhir dengan cara seperti ini?

Setelah air matanya berhenti mengalir, Lian kembali mengangkat kepalanya. Dia menepis tangan Harry dengan kasar dan beralih menatap orang-orang suruhan Charles.

“Aku tidak akan memerintahkan kalian untuk tinggal disini, tapi kalau kalian akan tetap disini aku tidak menolak.” Ucap Lian

“Tapi, Miss, Tuan Besar-”

Just shut up!” Sentak Lian

Lian menghembuskan nafas kasar. Dia menatap Harry yang masih seperti patung. Dia memegang tangan Harry lalu memberikan cincin tunangan mereka ke tangan Harry.

“Audrey, bisakah kita bicarakan baik-baik? Aku tidak bisa.” Bisik Harry sambil menggenggam kedua tangan Lian. Suaranya terdengar memohon.

Lian menggelengkan kepalanya, “kau tahu aku benci dengan pembohong? Kurasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sekarang lepaskan tanganku.” Ujar Lian sambil berusaha melepas genggaman tangan Harry.

“Kita saling mencintai, Audrey. Kita bisa bicarakan baik-baik.” Mohon Harry

“Harry, lepas!” Seru Lian sambil memukul lengan Harry.

“Mister, kau tidak dengar kalau gadis ini memintamu melepaskannya? Singkirkan tanganmu darinya.” Baekhyun akhirnya angkat suara. Dia memegang tangan Harry dan memaksa agar Harry mau melepas genggaman tangannya pada Lian.

“Jangan ikut campur, dude!” Sentak Harry sambil mendorong Baekhyun. Amarahnya mendadak terkumpul saat melihat pria asing yang sejak tadi ikut campur masalahnya.

“Jangan membentaknya! Dengar, Harry! Aku muak melihatmu! Aku tidak akan menikah denganmu! Mulai sekarang jangan pernah menghubungiku ataupun menemuiku! Hubungan kita cukup sampai disini!” Ucap Lian panjang lebar. Dadanya kembang-kempis karena saking panjangnya kalimat yang dia ucapkan.

“Jangan bercanda, Audrey Koch!”

“Aku tidak pernah seserius ini,  Mister Harry! Kau ingin tahu siapa pria ini? Dia kekasihku sejak tiga hari yang lalu! Aku mencintainya yang tidak pernah berkhianat sepertimu!” Seru Lian sambil menunjuk Baekhyun yang berdiri di sampingnya.

Harry dan Baekhyun tampak melototkan mata mereka. Tidak hanya itu. Terdengar pekikan dari para pria dan wanita di belakang sana yang entah siapa.
Lian maju satu langkah, menyisakan jarak sejengkal antara dia dan Harry. Tatapan matanya menyiratkan luka dan kebencian yang mendalam. Berbeda dengan Harry yang masih terlihat kaget dengan pernyataannya barusan.

“Aku tidak akan mengatakan yang sebenarnya kepada mereka. Cukup aku saja yang tahu dan merasakan akibatnya. Buang semua mimpi yang pernah kita rajut.”

“Audrey, please-”

“Tidak, Harry. Aku tidak bisa. Sekarang, pulanglah. Kita benar-benar tidak bisa bersama.” Lirih Lian. Matanya kembali berkaca-kaca saat melihat tatapan memohon Harry.

“Aku mencintaimu, Audrey.” Bisik Harry. Mata lelaki itu juga berkaca-kaca.

“Aku tahu, Harry. Tapi kau juga menyakitiku. Jadi, kumohon pulanglah sekarang. Jangan membuatku goyah.” Pinta Lian

Harry menatap Lian penuh penyesalan. Kemudian dia menghela nafas panjang.

“Aku pergi bukan karena menyerah. Aku akan datang lagi untuk membawamu pulang. Aku janji.” Ucap Harry penuh keyakinan.

Sebuah kecupan manis mendarat di kening Lian. Air matanya tumpah lagi. Inilah keputusan yang dia ambil. Menyakitkan memang, tapi Lian tidak bisa melanjutkan hubungannya dengan Harry. Mungkin memang mereka tidak ditakdirkan untuk bersama. Mereka hanya ditakdirkan untuk mengenal, bukan saling memiliki.

“Aku mencintaimu. Selalu.” Bisik Harry sebelum akhirnya melangkahkan kakinya untuk pergi.

Salah satu pengawal Lian menghampiri Lian. Beberapa juga masih ada yang tinggal di dekat Lian.

Tubuh Lian merosot. Tangisnya pecah seketika. Dadanya sesak. Semuanya sudah berakhir. Perjalanan cintanya dengan Harry harus berakhir dengan cara yang mengenaskan. Lian memukul dadanya yang terasa semakin sakit.


Apakah keputusan ini benar?


Apakah aku bisa hidup tanpanya?


Apakah aku akan bahagia tanpanya?

Tubuh Lian bergetar hebat. Pundaknya naik turun. Beruntung saat ini ruang VVIP ini sudah aman dari orang-orang. Jadi, dia tidak akan malu karena menangis.


Aku juga mencintaimu
.

Itulah yang Lian ramalkan sejak tubuh Harry menghilang dari pandangannya. Sekarang, tidak ada lagi Harry dalam kehidupannya. Tidak ada lagi sosok Harry yang akan selalu dia kenalkan sebagai kekasihnya. Cerita diantara mereka sudah berakhir.

Akhir yang menyedihkan.

“Astaga, Jeon Lian Audrey Koch!” Pekik seorang pria seumuran Baekhyun yang tiba-tiba datang dan langsung menubruk Lian yang masih terduduk mengenaskan.

Dia Kim Seokjin. Orang yang Lian suruh untuk menjemputnya. Andai saja suasana hati Lian tidak sedang buruk seperti sekarang ini, dapat dipastikan wajah tampan Seokjin akan lebam. Saat ini kedatangan Seojin tidak membantunya. Toh Harry sudah menemuinya dan hubungan mereka sudah berakhir.

Seokjin menatap kondisi adik dari sahabatnya ini dengan tatapan miris. Astaga! Bagaimana mungkin gadis ini dinobatkan sebagai penerus Koch Industries? Dari semua keturunan Koch, satu-satunya yang kelakuannya melenceng hanya Lian. Berbeda dengan kakaknya yang terlihat berwibawa. Justru Lian malah terlihat bringas.

Pria bermarga Kim itu menyampirkan jaketnya pada pundak Lian yang terbuka. Seumur hidupnya baru kali ini dia melihat gadis segila Lian. Mana ada orang kabur saat pemberkatan akan dimulai? Kalau kaburnya masih berada di kota yang sama mungkin masih bisa ditolerir. Tapi ini? Masih dengan gaun pengantinnya Lian berhasil kabur hingga negara orang.

“Kau membuat seluruh negri kalang kabut, Lian.” Seokjin membantu Lian berdiri. 

Dia hendak membawa Lian pergi saat tiba-tiba seorang pria yang tak lain adalah Baekhyun menahan langkah mereka. Seokjin menatap Baekhyun dengan tatapan kaget. Bagaimana tidak kaget kalau di depannya ada seorang artis papan atas bertaraf Internasional?

“Urusan kita belum selesai, Nona. Kau harus mempertanggungjawabkan ucapanmu tadi.” Ucap Baekhyun

Seokjin menatap Lian dan Baekhyun bergantian. Sepertinya kedatangannya sangat terlambat. Ada hal yang dia lewatkan.

“Apa saja yang sudah kau lakukan selama aku belum disini?” Tanya Seojin

Masih dengan menangis Lian menjawab, “aku mengatakan pada Harry kalau dia kekasihku.”

Sontak mata Seokjin melebar. Rangkulannya pada pundak Lian terlepas begitu saja. Lihat saja mulutnya yang menganga selebar mulut buaya saat menguap. Benar-benar tidak ada keren-kerennya sama sekali.

Adakah yang lebih gila dari seorang Jeon Lian atau Audrey Koch? Seokjin pikir kekacauan yang Lian buat hanya akan cukup sampai disini. 

Tapi…

Bagaimana bisa Lian membuat pengakuan palsu kalau Baekhyun kekasihnya?

“Kau tahu siapa dia?” Tanya Seokjin yang dibalas gelengan oleh Lian, “Dia anggota boyband EXO, Lian! Dan kau baru saja memancing para wartawan kesini!” Tambah Seojin geram.

“Apa?”

Matilah kau, Lian!
.

.

.
Tbc~

Posted in Chapter, Family, Married Life

Fool For You Part 7

Fool For You Part 7

Author : brokenangel

Cast : Lian Jeon – Kim Taehyung – Fellix Kim – Jeon Jungkook – Bae Irene – Park Jinyoung – Park Chanyeol – Anna Boulstern – Cho Kyuhyun – Lee Donghae – Frank Jeon – BTS Member

Category : Romance, Honor, Family

Rate : PG-15

**

Tibalah Lian disini. Di bilik pasien tempat Anna dirawat untuk sementara waktu. Begitu dia mendengar kabar itu, dia langsung meluncur ke rumah sakit tanpa peduli sarapannya yang belum habis dan Fellix yang merengek ingin ikut. Anna itu sahabat pinangnya. Dia berada di negara orangpun menjadi tanggung jawabnya. Apalagi gadis itu berada disini karena untuk menjadi personal assistant Lian.

Lian menatap Anna yang sedang berbaring di ranjang pasien itu dengan tatapan mengintimidasi. Bermaksud meminta penjelasan, bagaimana bisa terjadi kecelakaan sepagi ini. Mungkin point utama yang akan Lian tanyakan adalah siapa pria yang saat ini berada di satu ruangan dengan mereka? Jelas itu menjadi tanda tanya besar bagi Lian. Memangnya Anna selama itu berada di Korea hingga bisa akrab dengan pria Korea secepat itu?

Lian tidak bodoh. Tanpa bertanyapun tentu dia tahu dari mana Anna mendapat pria berambut pirang itu.

Sementara sang tersangka hanya diam menunduk seperti anak kecil yang ketahuan mencuri. Dari gerak geriknya saja Lian sudah tahu jawaban apa yang akan dia dapat. Sesekali dia menatap pria berambut pirang itu dengan sinis. Sahabatnya satu itu memang sesuatu.

Lian menghela nafas kasar. Setelah ini dia harus mengurus akibat kelalaian Anna dan tentu saja menutupi hal paling penting dalam kecelakaan tunggal ini. Karena mobil Anna bau alkohol, jadi masalah ini akan menjadi berat.

“Jadi begini liburanmu?” Tanya Lian sarkastik. Tatapannya memicing pada Anna yang tampak hanya diam saja sejak Lian datang.

Hey, Anna tahu bagaimana watak Lian. Berteman dengan gadis dingin nan kejam macam Lian membuatnya hafal dengan kebencian Lian pada sosok manusia asing berjenis kelamin pria. Dan Anna sekarang tahu kalau sahabatnya itu tengah menuntut penjelasannya. Diapun sadar kalau sudah melakukan kesalahan. Sehingga sedari tadi dia hanya diam saja.

Lian mendesah sebal. Dia melempar tas tangannya dengan asal. Banyak pikiran negatif yang memenuhi kepalanya untuk saat ini. Sahabatnya pulang sepagi ini bersama pria asing. Astaga! Lian bahkan bergidik ngeri membayangkan apa saja yang mereka lakukan semalaman tadi. Dan dia sangat menyalahkan sahabat karibnya yang bisa dibilang liar itu.

Suara tirai yang digeser membuat semua pandangan teralihkan. Muncullah Aiden dengan wajah kawatir. Dia langsung mendekati Anna tanpa mempedulikan orang lain yang berada disitu. Dalam hatinya, Anna berterimakasih karena Aiden menyelamatkannya dari Lian.

“Astaga, Anna! Bagaimana bisa kau kecelakaan? Kau membuatku kawatir.” Tanya Aiden sambil melihat tubuh Anna yang untungnya masih utuh dan tidak lecet.

Lian berdecak sebal. Sepagi ini dia sudah disuguhkan drama lovey-dovey. Andai saja Aiden tahu siapa yang Anna bawa. Pria kaku itu pasti akan kebakaran jenggot.

“Aku tidak fokus menyetir.” Jawab Anna pelan.

Hey, kemana Anna Boulstern yang cerewet dan bar-bar?

Aiden mendesah kasar. Tadi saat sarapan dia mendapat kabar dari Marcus kalau Anna kecelakaan dan berada di rumah sakit. Tanpa pikir panjang, pria marga Lee itu langsung bergegas menuju rumah sakit. Dia sangat kawatir kalau kondisi Anna parah. Tapi sekarang dia sudah bisa bernafas lega karena Anna baik-baik saja.

Kemudian suasana menjadi tegang saat mata Aiden menangkap sosok pria berambut pirang berdiri di pojok ruangan. Matanya menelisik penampilan pria itu. Kalau dilihat penampilannya sedikit berantakan. Seperti orang yang baru mabuk. Lalu pandangannya beralih pada Anna yang sedari tadi hanya menunduk. Dia mencium hal-hal yang mencurigakan.

Merasa atmosfer menjadi tegang, Lianpun berinisiatif untuk mencairkannya. Dia tidak tega melihat ekspresi ketakutan sahabatnya. Bagaimanapun juga dia tahu kalau sifat liar Anna tidak bisa dihilangkan. Di tubuhnya mengalir darah Irlandia. Wajar bukan kalau sikapnya liar? Seharusnya Aiden juga tahu itu.

“Sudahlah. Yang terpenting kau baik-baik saja. Jangan kawatir. Aku akan mengurus semuanya.” Ujar Lian sambil mengalungkan tasnya pada bahu.

“Siapa dia?” Tanya Aiden dengan suara rendah. Tatapannya mengintimidasi pada Anna.

Aiden berusaha untuk menghilangkan pikiran negatif dalam kepalanya. Melihat bagaimana penampilan pria itu dan diamnya Anna membuatnya tidak bisa untuk tidak berpikiran negatif. Dia pria dewasa. Dia juga tidak lupa sikap bar-bar Anna.

Sialnya, dia menyukai gadis bar-bar macam Anna Boulstern.

Anna memberanikan diri untuk menatap Aiden yang sudah terlihat marah. Oh, ini gawat! Kelemahan Anna itu melihat Aiden marah. Apalagi dia memang melakukan kesalahan. Jadi, percuma saja melakukan pembelaan. Bukti sudah terpampang jelas di depannya. Bodohnya dia yang menawarkan diri untuk mengantar pria itu pulang.

“Anna…” Hardik Aiden dengan sedikit penekanan.

“Oh, come on, Aiden! Jangan berlagak bodoh. Kau tahu jawabannya.” Sahut Lian asal.

Aiden mendelik pada Lian. Bermaksud menyuruh gadis itu diam. Kemudian tatapan intimidasinya beralih pada Anna yang masih belum membuka mulutnya. Aiden hanya ingin mendengar langsung dari mulut Anna tentang siapa pria itu dan apa saja yang mereka lakukan semalaman tadi.

“Dia…” Ucapan Anna menggantung. Matanya sesekali melirik pada pria yang semalam menemaninya. Dia berharap pria itu mau membantunya untuk menjelaskan apa saja yang mereka lakukan semalam.

“Begini, tuan. Tadi malam nona ini sangat mabuk. Aku menunggunya sampai bangun pagi tadi di salah satu kamar yang ada di klubku. Aku ingin mengantarnya pulang tapi tidak tahu alamatnya dan ponselnya mati. Tidak terjadi apa-apa. Seharusnya kau melihat bagaimana merepotkannya dia saat mabuk.” Pria itu akhirnya menjelaskan yang sebenarnya tentang kejadian semalam.

Aiden masih menatap Anna penuh selidik. Dia masih belum percaya kalau Anna tidak menjelaskan padanya. Aiden hanya tidak habis pikir dengan Anna. Anna di Korea tidak punya kenalan selain Lian. Seharusnya gadis itu bisa lebih berhati-hati dan berpikir dua kali jika ingin ke klub malam. Setidaknya, Anna bisa mengajaknya, asalkan gadis itu tidak sendiri.

Suasana hening itu pecah kala terdengar dering ponsel Lian. Lian mendengus sebal. Dia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya disaat kondisi seperti ini. Wajah kesalnya langsung berubah saat melihat nama Fellix di layar handphone.

“Aku harus pergi sekarang karena ada yang menungguku.” Ucap Lian dan langsung berlalu begitu saja tanpa menunggu sahutan dari Aiden maupun Anna.

Anna hanya berdecak sebal saat sahabatnya itu pergi. Diapun tahu kalau Lian sedang jatuh cinta pada pria yang sudah berstatus duda. Anna sangat menyayangkan itu, karena menurutnya kalau dengan kecantikannya saja bisa membuat pria lajang jatuh cinta, kenapa harus duda? Belum lagi duda itu sudah mempunyai anak satu.

“Anna Boulstern?”

Anna tersentak kaget saat suara Aiden tiba-tiba masuk ke indera pendengarannya. Gara-gara Lian dan duda itu, dia hampir lupa kalau masih punya urusan dengan Aiden. Diapun mau tak mau menatap Aiden yang sangat mendesaknya untuk berbicara. Dia menggigit bibir bawahnya sambil berusaha merangkai kata yang tepat agar Aiden tidak marah.

Anna merutuki dirinya sendiri yang dengan cerobohnya bisa mabuk berat hingga membuatnya harus berurusan dengan pemilik klub itu. Dia masih ingat saat dia meracau dan mencium pria itu sebelum akhirnya dia tidak sadar.

Itulah masalahnya. Haruskah dia jujur pada Aiden kalau dia mencium pria itu? Hal itu hanya akan membuat Aiden terluka.

“Nona, kau hanya perlu mengatakan pada kekasihmu kalau semalam kau mabuk dan menciumku.”

“APA?!”

**

Fellix sudah naik ke atas panggung bersama gurunya. Dia sudah akan memulai penampilannya bermain piano yang berkolaborasi dengan gurunya. Anak itu terlihat sangat percaya diri. Bahkan senyum di bibirnya tidak pernah menghilang. Apalagi saat melihat Lian dan ayahnya yang berdiri di samping panggung. Bocah itu menatap ayahnya dan Lian sejenak yang kemudian dibalas senyuman oleh keduanya. Selanjutnya, dia memberi hormat kepada seluruh tamu undangan.

Denting piano mulai terdengar mengalun dengan ritme yang pelan. Para penonton tampak terhanyut dengan alunan piano dari Fellix. Kemudian guru perempuan Fellix menyahut. Menghasilkan nada yang lebih indah dan harmonis. Tempo yang tadinya lambat perlahan menjadi cepat. Kemudian melambat lagi seiring dengan penampilan solo Fellix yang membawakan Silent Night milik Mozart.

Di tempatnya, Lian merasa semakin jatuh cinta pada bocah kecil yang sedang bermain piano itu. Alunan lembut dari Fellix berhasilkan menggetarkan hatinya. Mungkin bukan hanya dia. Tapi seluruh tamu undangan yang menyaksikan penampilan Fellix akan langsung jatuh cinta pada bocah itu. Fellix terlihat berbeda saat memainkan piano. Bocah itu lebih banyak tersenyum. Fellix menggunakan hatinya.

Penampilan itu berakhir dengan melodi yang harmonis dari Fellix dan gurunya. Para tamu undanganpun langsung memberikan tepuk tangan untuk penampilan mereka. Tak sedikit yang berdecak kagum dengan keahlian bocah lima tahun itu. Bahkan beberapa juga ada yang mengabadikan lewat video. Fellix membungkuk sebagai tanda hormat kepada para tamu undangan. Dia tampak bahagia. Gurunya juga memberinya pelukan.

Fellix melepas pelukannya pada gurunya saat melihat ayahnya dan Lian tampak tersenyum lebar dan memberinya dua jempol. Fellix berlari menghampiri keduanya dan langsung menubruk tubuh Taehyung. Dia tertawa lepas saat melihat ayahnya puas dengan penampilannya.

“Apa itu tadi kau? Wahhh! Putra appa sangat hebat.” Puji Taehyung sambil mengacak rambut Fellix gemas. Dia juga memberikan ciuman pada pipi Fellix berkali-kali.

Appa yang mengajariku. Jadi, appa lebih hebat.” Sahut Fellix sambil mengalungkan kedua tangannya pada leher Taehyung.

Mengabaikan fakta kalau dia baru saja melakukan operasi di perutnya, Taehyung mengangkat tubuh Fellix. Lagipula, lukanya sudah lebih baik. Hari ini dia sangat senang bisa melihat putranya tampil dan tersenyum sangat lebar. Dia harus berterimakasih pada Lian karena bisa membuatnya keluar dari rumah sakit lebih cepat.

“Jadi, apa Fellix senang?” Tanya Taehyung

“Tentu saja, appa. Apalagi ada Lian noona. Aku merasa sedang bersama eomma.” Jawab Fellix

Lian tersedak ludahnya sendiri saat mendengar ucapan Fellix. Tangannya yang sudah mengudara hendak menyentuh kepala Fellix langsung terjatuh. Wajahnya berubah pias dan matanya mulai memanas. Tangannya gemetar tanpa diminta.

Eomma.

Satu kata itu berhasil membuat pikiran dan hati Lian berantakan. Air matanya menetes tanpa permisi. Suara di sekitarnya tidak dapat lagi masuk ke dalam indera pendengarannya. Dadanya sesak. Ingatan tentang kejadian sebelas tahun silam kembali melintas di kepalanya.

Taehyung dan Fellix saling berpandangan heran melihat Lian yang tiba-tiba mengeluarkan air mata. Apalagi Lian tidak menyahut panggilan mereka. Tangan Fellix terulur untuk menghapus air mata Lian. Merasakan usapan di pipinya membuat Lian tersadar. Dia sedikit kaget saat melihat dua pria di depannya memandangnya heran.

Noona pasti menangis gara-gara Fellix. Maafkan Fellix karena membuat noona menangis.” Ucap Fellix dengan wajah menyesal karena membuat Lian menangis.

Lian tersenyum tipis sambil menggenggam tangan mungil Fellix yang berada di pipinya, “bukan salah Fellix. Hey! Jangan pasang wajah seperti itu.” Ucap Lian sambil mengelus-elus pipi Fellix.

Sementara itu Taehyung masih tampak bingung. Kenapa putranya terlihat merasa bersalah? Lalu kenapa Lian tiba-tiba menangis? Namun yang lebih membuatnya heran adalah, ekspresi Lian yang berubah sangat cepat. Taehyung merasa kalau Lian tengah berpura-pura dengan ekspresinya yang sekarang.

“Li, kau baik-baik saja?” Tanya Marcus yang tiba-tiba datang. Dia baru saja menerima panggilan dari Aiden dan tidak sengaja melihat Lian yang menangi. Entah karena apa, karena yang jelas tadi Marcus langsung memutus sambungan telepon.

Sudah dikatakan di awal, bukan, kalau tidak ada yang lebih buruk daripada melihat Lian menangis?

“Memangnya aku kenapa? Apa yang dikatakan Aiden?  Dia tidak minta cuti gara-gara Anna mencampakkannya, kan?” Tanya Lian mengalihkan pembicaraan. Dia juga memasang wajah jenakanya agar Marcus tidak banyak bertanya.

Marcus mendengus sebal, “kau mengalihkan pembicaraan.” Jawabnya sambil mencubit hidung Lian. Sang empunya hanya merengek sambil memukul lengan Marcus.

Uncle! Jangan sakiti noona!” Seru Fellix sambil menjauhkan tangan Marcus dari Lian.

“Ey! Yang kau panggil noona ini tuan putriku.” Ucap Marcus sambil merangkul pundak Lian. Dia menjulurkan lidahnya saat melihat wajah cemberut Fellix.

Kemana perginya Marcus Cho yang membenci anak kecil?

Lian dan Taehyung hanya terkekeh kecil melihat tingkah dua manusia itu. Lian tidak sadar kalau Taehyung sering mencuri pandang ke arahnya. Pria dua puluh enam itu masih penasaran kenapa Lian tiba-tiba menangis. Dia juga melihat kesedihan di mata gadis blasteran itu yang tertutup dengan senyum anggunnya.

Ada perasaan aneh yang mengganggunya saat melihat gadis Jeon itu mengeluarkan air mata.

Taehyung buru-buru mengalihkan pandangannya saat Lian tiba-tiba menatapnya. Selain karena takut ketahuan sedang memperhatikan gadis itu, Taehyung tidak bisa menatap mata biru safir Lian. Taehyung takut akan terperangkap ke dalam mata indah itu.

Matanya sangat mempesona.

**

“Kita akan ke Beijing besok.” Suara Marcus memecah keheningan yang terjadi di dalam mobil. Dia sesekali melirik sepupunya yang langsung membulatkan matanya begitu mendengar ucapannya.

Lian yang tadinya sedang sibuk dengan ponselnya kini langsung memusatkan perhatiannya pada Marcus. Mulutnya menganga. Namun lima detik selanjutnya, tatapannya berubah horor. Dia bisa menarik kesimpulan kalau yang dibacarakan Aiden dan Marcus tadi di telepon adalah tentang ke Beijing ini.

“Kau bercanda.” Desis Lian sambil kembali berkutat dengan ponselnya.

“Aku tidak pernah bercanda masalah pekerjaan.” Balas Marcus.

“Suruh saja Jinyoung-”

“Tidak bisa. Kau harus ikut. Mereka ingin kau yang bernegoisasi.” Potong Marcus

Mulut Lian terbuka setengah. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Beijing? Beijing itu jauh. Lagipula dia paling malas bernegosiasi. Dia tidak suka penawaran.

“Zea Group sudah menjadi partner bisnis Uncle Frank selama tujuh tahun. CEO itu ingin mengenalmu karena kau tidak ikut dalam rapat tahunan para pemegang saham dan investor-”

“Kuharap kau tidak lupa kalau kalian yang mengurungku di ruanganku.” Potong Lian sebal.

Itu karena nyawamu terancam, batin Marcus sedikit kesal.

Lian menoleh ke belakang dan mendapati sepasang ayah dan anak yang sedang bermain game dengan PSP yang baru saja dibelikan Marcus. Lian sedih karena Fellix sudah akan kembali ke rumahnya. Taehyung yang meminta pada Lian tadi. Pria itu tidak mau merepotkan Lian lebih lama lagi sehingga memaksa agar bisa kembali pulang ke rumah mereka.

Andaikan Taehyung tahu kalau Lian tidak pernah merasa repot justru senang.

Setelah ini, mungkin dia tidak akan bertemu dengan Fellix lagi. Tidak bertemu Fellix membuatnya tidak punya alasan untuk bertemu Taehyung. Lian akan sangat merindukan senyum maut Taehyung. Andai saja dia bisa lebih tinggal bersama mereka.

Atau… Andai saja Lian bisa menjadi bagian dari mereka. Bukankah mereka akan terlihat seperti keluarga bahagia?

Noona!” Panggil Fellix sambil melambaikan tangannya di depan wajah Lian.

Lian mengerjapkan matanya dan baru sadar kalau tengah menjadi pusat perhatian. Lian tersenyum tipis sambil mengelus-elus rambut Fellix. “Kenapa?”

“Apa noona akan datang ke pesta ulangtahunku? Besok kamis aku berulangtahun.” Tanya Fellix

“Tidak bisa, Fellix. Lian noona sedang sibuk.”

“Tak apa, Taehyung-ssi. Aku bisa menyempatkan waktu untuk datang. Fellix ingin hadiah apa? Noona akan belikan untuk Fellix.” Ucap Lian

“Benarkah?” Tanya Fellix antusias.

Lian hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian untuk beberapa saat bocah yang akan berulangtahun itu tampak berfikir. Percayalah. Ekspresinya sangat menggemaskan. Berbeda sekali dengan Fellix yang Lian temui pertama kali. Setelah beberapa menit, Fellix tampak tersenyum lebar.

“Aku akan memberitahu noona dan appa hadiah yang aku minta nanti saat pesta ulang tahun. Tapi kalian harus berjanji untuk mengabulkan hadiah yang aku minta.” Jawab Fellix sambil menatap wajah ayah dan Lian bergantian.

“Tentu saja akan appa kabulkan.” Ucap Taehyung sambil mengacak-acak rambut putra semata wayangnya.

Noona juga akan mengabulkan apapun yang Fellix mau di hari ulangtahunmu nanti. Janji.” Lian menambahi sambil tersenyum.

Fellix memekik girang sambil bertepuk tangan. Secara tiba-tiba bocah lima tahun itu mencium pipi Lian. Membuat siapapun yang melihatnya melongo tidak percaya. Fellix tampak sangat bahagia. Entah apa yang membuat bocah itu sebahagia itu hingga berani mencium Lian. Entah karena ayahnya yang sudah pulang dan menyaksikan penampilan perdananya atau karena kedua orang yang dia sayangi berjanji akan mengabulkan keinginannya saat ulangtahun nanti.

Disaat Lian masih tercengang dengan ciuman tiba-tiba Fellix di pipinya, Taehyung hanya mencubit pipi Fellix dengan gemas. Diapun sebenarnya juga sangat terkejut karena Fellix berani mencium Lian. Putranya benar-benar sudah berubah.

“Apa aku baru saja mencium pipi Lian Noona? Uncle, apa tidak papa aku mencium pipi noona? Seharusnya aku mencium kening noona.” Cerocos Fellix dengan wajah yang menggemaskan.

Marcus gelagapan mendengar ucapan Fellix. Haruskah membahas hal ini saat ada Lian di sampingnya? Di sampingnya Lian menatapnya penuh selidik karena merasa aneh dengan ucapan Fellix. Memangnya kenapa kalau mencium pipi? Marcus hanya melirik Lian takut. Setelah ini, hitung saja satu sampai sepuluh, Lian pasti akan menanyai Marcus sesuatu.

Suasana mobil mendadak hening. Fellix kesal karena Marcus mengabaikannya. Taehyung menatap dua orang di kursi depan dengan tatapan bingung. Sementara itu Marcus menghitung dalam hati sambil berusaha mencari jawaban yang bisa menyelamatkannya dari omelan Lian.

“Apa yang kau ajarkan Fellix di belakangku, Cho?” Tanya Lian dengan tatapan mengintimidasi. Lian yakin Marcus sudah mengatakan hal yang tidak seharusnya dikatakan kepada anak kecil.

Astaga! Marcus mengotori pikiran anak kecil. Lian harus memberi hukuman untuk bujang tua itu sesampainya di rumah.

Marcus meneguk ludahnya susah payah. “Bukan apa-apa, Li.”

Di belakang Taehyung hanya terkekeh kecil melihat interaksi dua bersaudara yang selama dia mengenal mereka menurutnya sangat unik. Namun Taehyung dapat merasakan kalau persaudaraan mereka ini sangat erat.

“Kau mengotori pikiran anak kecil!”

“Aku hanya menjawab pertanyaan, Lian.” Balas Marcus tidak terima.

Lian hanya mendengus. Dia melirik melalui kaca di atasnya kegiatan ayah dan anak di kursi belakang. Diam-diam dia tersenyum saat mengingat Fellix menciumnya tadi.

Bagaimana rasanya kalau Taehyung yang menciumku?

**

Lian sudah berada di bandara bersama Marcus, Aiden, dan Jinyoung untuk menunggu pesawat take off. Anna tidak ikut karena masih dalam masa pemulihan. Karena kecerobohan gadis Irlandia itu, Aiden harus mendatangkan pegawai di apartemen Anna agar kejadian yang sama maupun yang tidak diinginkan terjadi. Aiden juga masih dalam mode mendiamkan Anna. Bagaimana tidak marah? Berciuman dengan pria asing? Membayangkannya saja membuat pria bermarga Lee itu kesal.

Lian dan Marcus yang mendengar cerita dari Aiden spontan langsung tertawa. Bagaimanapun juga mereka tidak melupakan predikat Anna yang memang sangat liar. Karena ditertawakan dengan sangat jahat, Aiden semakin kesal. Lihat saja wajahnya sekarang. Bibirnya bahkan seperti paruh bebek. Bahkan sejak mereka berada di bandara, pria dua sembilan tahun itu hanya diam saja. Marcus terus menggoda Aiden.

Sampai sekarang, Lian juga masih mendiamkan Jungkook. Saat Jungkook pulangpun dia hanya berdiam diri di kamar. Saat makan malam mereka juga saling diam. Entahlah. Lian masih sangat marah dengan kelakuan Jungkook. Meskipun begitu, dia masih membuatkan sarapan untuk Jungkook tadi pagi. Dia juga berpesan kepada Kate agar selalu mengingatkan kakaknya itu untuk makan tepat waktu.

Lian tidak bilang pada Jungkook kalau dia akan ke Beijing selama tiga hari. Tapi dia yakin kalau kakaknya tahu dia akan pergi. Loan pikir Jungkook akan mengantarnya ke bandara, nyatanya pria itu sudah berangkat saat dia sedang bersiap-siap. Dan itu membuat Lian sedih. Sebenarnya dia sangat merindukan Jungkook. Mereka tidak pernah bertengkar selama ini. Jadi rasanya aneh kalau bertemu tapi tidak saling bicara.

Salahkan Jungkook yang berbuat hal tidak senonoh di ruangannya. Mengingatnya kembali membuat Lian kesal.

“Ya! Kenapa lama sekali? Sebentar lagi kita akan take off.

Suara Marcus mengabaikan lamunan Lian. Lian menatap Marcus bingung. Dengan siapa dia bicara?

“Pasienku sangat rewel.”

Lian mematung mendengar suara pria yang dari tadi dia pikirkan. Jungkook. Dia melirik sekilas ke samping, dimana Jungkook berdiri. Tanpa sepengetahuan Lian, Aiden dan Marcus tersenyum geli melihat ekspresi kaku Lian. Mereka tahu hubungan kakak beradik itu masih renggang, sehingga berinisiatif untuk memperbaikinya.

Jungkook menatap Lian yang memilih berkutat dengan ponselnya. Sampai sekarang Lian masih mendiamkannya. Dia sangat merindukan Lian tapi Lian masih sangat marah.

“Kau tidak lupa membawa pakaian hangat, kan? Saat malam hari disana sangat dingin.” Tanya Jungkook

“Sudah.” Jawab Lian singkat.

Marcus menepuk dahinya sambil menggerutu. Lian memang sulit diluluhkan saat marah. Contohnya sekarang ini.

“Jangan telat makan dan aktifkan terus ponselmu.” Pesan Jungkook sambil merapikan sedikit anak rambut Lian yang berantakan.

Lian tidak menolak sekali saat Jungkook menyentuhnya. Dia berusah menahan keinginannya untuk tidak berhambur memeluk kakaknya itu. Kemudian terdengar pemberitahuan kalau pesaeat tujuan Beijing akan seger take off.  Dalam hatinya Lian mengumpati pemberi pengumuman itu. Dia masih ingin bersama Jungkook.

“Ayo berangkat!” Seru Marcus layaknya anak kecil.

Lian menatap Jungkook. “Aku berangkat.”

Jungkook tersenyum tipis lalu memeluk adiknya itu. “Jaga dirimu baik-baik disana.”

Kau juga, batin Lian.

Jungkook melepas pelukannya kemudian mencium kening Lian. Dia tersenyum sambil mengacak-acak rambut adiknya gemas. Baru saja Lian pulang kini dia harus melakukan perjalanan bisnis. Jungkook akan sangat merindukan Lian.

Hyung, jaga Lian baik-baik. Jangan sibuk mencari wanita.” Ucap Jungkook pada kedua sepupunya.

“Tanpa kau minta aku akan menjaganya, Kookie.” Sahut Aiden cuek lalu berjalan duluan. Sepertinya dia masih kesal.

“Kami berangkat, Jungkook-a!” Pamit Marcus sambil melambaikan tangannya.

Jungkook balas melambaikan tangannya. Lian dan Marcuspun mengikuti Aiden yang masih merajuk. Tersisa Jinyoung yang masih berdiri di samping Jungkook.

“Aku heran kenapa Dad menunjukmu sebagai sekretaris adikku. Kau harus ingat! Jangan berbuat macam-macam dengannya. Kau akan tahu akibatnya kalau berani menyentuhnya.” Ucap Jungkook tajam sambil menunjuk wajah Jinyoung.

Jinyoung hanya tersenyum sinis kemudian meninggalkan Jungkook sendirian. Jungkook mengepalkan tangannya erat melihat punggung Jinyoung yang semakin menjauh.

**

Pesta ulangtahun Fellix dilaksanakan di halaman belakang rumah keluarga Kim. Dekorasi dengan tema sihir sudah terpajang indah. Fellix sangat menyukai Harry Potter sehingga dia meminta kepada ayah dan kakeknya agar membuatkan pesta dengan tema sihir yang kebanyakan terdapat gambar Harry Potter dan Doumbledor.

Teman-teman Fellix diundang semua. Beberapa sanak saudara juga datang. Pesta sudah hampir dimulai. Hanya saja sampai saat ini Fellix belum muncul. Bocah kecil itu tampaknya sedang merajuk karena seseorang yang sangat dia nantikan kedatangannya belum juga menampakan batang hidungnya. Lian belum datang dan hal itu membuat Fellix tidak mau memulai pestanya. Taehyung dan Younbi sudah berulangkali membujuk Fellix dan mengatakan kalau Lian sedang dalam perjalanan. Tapi nampaknya bocah itu tahu kalau sedang dibohongi.

Taehyung sudah mengirim pesan untuk Lian, menanyakan apakah gadis itu akan datang atau tidak. Bahkan dia juga menelponnya. Tapi tidak satupun ada yang mendapat respon.

“Sayang, teman-temanmu sudah menunggu. Ayo dimulai pestanya.” Bujuk Younbi lagi.

“Aku tidak mau!” Seru Fellix

Younbi menatap putranya sambil bertanya tanpa suara tentang posisi Lian sekarang. Namun Taehyung menggelengkan kepalanya. Younbi mendesah kasar. Padahal kemarin-kemarin Fellix sangat bersemangat menyiapkan pestanya. Fellix tidak pernah sesenang itu saat berulangtahun. Tahun ini berbeda karena Lian yang akan datang.

“Fellix, coba lihat siapa yang datang.” Ucap Taejun yang tiba-tiba datang dengan Lian dan Marcus di belakangnya.

Fellix mengangkat kepalanya dan senyumnya langsung terbit saat melihat Lian. Fellix langsung berhambur memeluk Lian. Taehyung dan Younbi bernafas lega karena yang ditunggu sudah datang.

Noona, kenapa lama sekali? Aku pikir noona tidak akan datang.” Tanya Fellix sambil mengerucutkan bibirnya. Menggemaskan.

Noona kan sudah bilang akan datang. Jadi, Fellix mau keluar sekarang? Lihat. Teman-temanmu sudah menunggu.” Ucap Lian sambil menunjuk teman-teman Fellix di luar.

“Ayo!” Seru Fellix girang. Kemudian bocah kecil itu menggandeng tangan Lian dan Taehyung. Mereka berjalan bersama menuju halaman belakang.

Kedatangan tiga orang itu menjadi pusat perhatian para tamu undangan yang kebanyakan anak-anak dan ibu. Lian mulai risih karena sekarang para orangtua teman-teman Fellix menatapnya. Mereka juga terlihat berbisik-bisik dan itu membuatnya tidak nyaman. Dia bahkan hanya menundukkan kepalanya.

“Apa dia calon ibu Fellix? Dia cantik dan anggun.”

“Fellix terlihat bahagia akhir-akhir ini. Apa karena gadis itu?”

“Mereka terlihat serasi. Aku sangat mendukung hubungan mereka.”

“Tapi bagaimana dengan kekasih ayah Fellix? Apa mereka sudah putus?”

“Kuharap begitu. Wanita itu sama sekali tidak ramah.”

Begitulah sekilas dari perbincangan dari para ibu-ibu tentang Lian. Lian yang mendengarnya sedikit tersipu. Diapun mengangkat kepalanya dan melempar senyum untuk ibu-ibu itu.

Fellix, Taehyung, dan Lian berdiri di belakang meja yang sudah terdapat kue ulangtahun berukuran besar dengan miniatur Harry Potter di atasnya. Taehyung langsung membawa Fellix ke dalam gendongannya karena lilinnya cukup tinggi. Kemudian acarapun dibuka oleh Kim Sohyun yang Lian tahu sebagai kakak Taehyung. Acara dilanjutkan dengan menyanyikan lagu selamat ulangtahun dan berlanjut pada tiup lilin. Fellix tidak ingin meniup lilinnya sendiri. Dia meminta agar Lian dan Taehyung juga ikut tiup lilin yang langsung dituruti oleh mereka.

Para tamu undangan bertepuk tangan setelah Fellix tiup lilin. Selepas acara tiup lilin ada hiburan dari sanak saudara dan juga dari Marcus yang berbaik hati mau menyumbangkan suaranya. Teman-teman Fellix berhambur mendatangi Fellix dan memberinya ucapan selamat ulangtahun. Fellix tampak bahagia. Berbeda dari tahun-tahun biasanya. Mereka juga memuji Lian yang kebetulan masih setia di samping Fellix bersama Taehyung. Fellix dengan sangat bangga memperkenalkan Lian kepada teman-temannya.

Sangat menggemaskan.

Taejun, Younbi, dan Sohyun yang melihatnya sangat bersyukur. Bahkan Younbi dan Sohyun sempat meneteskan air mata. Fellix tidak pernah sebahagia ini setelah ibunya meninggal. Bahkan untuk berbicara dengan teman-temannyapun enggan sebelum akhirnya ada Lian yang berhasil mengembalikan Fellix seperti dua tahun lalu.

“Fellix!” Seru Hoseok yang baru saja datang.

“Paman!” Balas Fellix

“Selamat ulangtahun, jagoan. Kau sudah besar sekarang.” Ucap Hoseok sambil mengacak-acak rambut Fellix.

“Aku memang sudah besar, Paman.” Balas Fellix

“Ini kado untukmu, Fellix. Bibi Ahn tidak bisa ikut karena sedang sakit.” Ucap Hoseok sambil memberikan sebuah kotak berukuran sedang kepada Fellix.

Wajah Fellix tampak berbinar mendapat kado dari Hoseok. “Terimakasih, Paman. Semoga Bibi Ahn cepat sembuh.”

“Sama-sama, Fellix.” Sahut Hoseok

**

Pesta ulang tahun sudah selesai sejak sejam yang lalu. Para tamu undangan sudah pulang ke rumah masing-masing kecuali sanak saudara dan juga Lian. Mereka baru saja selesai makan malam dan saat ini berkumpul di ruang tengah. Mereka membicarakan banyak hal. Tentang bagaimana pertemuan Lian dan Fellix dan masih banyak lagi.

Disaat yang lain sedang asik berbincang-bincang, Fellix sibuk membuka kado dari teman-temannya bersama Marcus. Fellix tampak senang saat mendapat barang yang dia sukai. Marcus sendiri memberikan sebuah robot starwars sangat besar. Sementara tadi Aiden dan Jungkook juga menitipkan kado untuk Fellix. Lian sendiri memberikan tiket liburan ke Disneyland Hongkong karena sebentar lagi akan liburan semester.

Lian sudah ditanyai berbagai macam pertanyaan dari saudara Taehyung. Mulai dari umur, pekerjaan, hingga statusnya saat ini. Lian sebenarnya tidak suka ditanyai seperti itu, tapi karena dia menghormati mereka mau tidak mau dia menjawabnya. Hanya saja sedikit berbohong tentang pekerjaannya. Dia mengatakan kalau dia pegawai di suatu perusahaan.

Sebenarnya Lian baru saja kembali dari Beijing. Setibanya di bandara dia langsung menuju rumah keluarga Kim karena sudah berjanji kepada Fellix akan datang. Jadi jangan tanyakan kalau wajahnya terlihat lelah. Dia bahkan tidak mengganti pakaiannya.

“Kau pasti sangat lelah. Maafkan aku karena menghubungi terus.” Ucap Taehyung merasa bersalah.

“Tidak papa. Aku sudah berjanji untuk datang.” Sahut Lian dengan senyum gugupnya. Bagaimana tidak gugup? Dia duduk bersebelahan dengan Taehyung.

Appa!” Seru Fellix sambil berlari menghampiri Taehyung. Fellix langsung duduk di pangkuan Taehyung.

“Kenapa?” Tanya Taehyung

“Aku ingin meminta hadiahku.” Jawab Fellix

“Kau belum bilang ingin apa. Sekarang katakan Fellix ingin apa.” Sahut Taehyung

Lian dan Marcus saling bertatapan. Entah apa yang mereka diskusikan lewat tatapan mata. Sementara itu yang lain tampak menunggu jawaban Fellix. Tahun ini kali pertama Fellix meminta hadiah pada Taehyung. Tentu saja mereka penasaran.

Fellix menatap Lian dan ayahnya bergantian penuh arti. Hal itu membuat Lian berfirasat buruk. Hal yang sama dapat dirasakan oleh Marcus.

“Aku ingin Appa dan Noona menikah.”

Tbc

Posted in Chapter, Hurt, I Hate You, I Love You, Married Life

I Hate You, I Love You #3

I Hate You, I Love You #3

Author : brokenangel

Cast : Kim Lian, Park Chanyeol, Byun Baekhyun, Jung Eunji, Kim Taehyung

Category : Married Life, Hurt

Rate : PG-17

**

“Eomma…”

Lian langsung terbangun dari tidurnya dengan keringat yang membanjiri keningnya dan nafas yang memburu. Mimpi itu terasa sangat nyata. Lian dapat merasakan sentuhan Anna di pipinya. Bahkan sentuhan itu masih terasa hingga sekarang. Senyuman hangat dan suara lembut Anna masih bisa Lian rasakan. Semuanya terlalu nyata untuk dikatakan mimpi.

Chanyeol yang sedang duduk di sofa tak jauh dari ranjang dengan laptop di depannya langsung menghentikan kegiatannya dan menoleh pada sang istri yang tiba-tiba terbangung. Diapun segera mendekati Lian. Meninggalkan pekerjaannya sejenak. Dia duduk di samping istrinya. Menatapnya cemas.

“Sayang? Kenapa? Kau mimpi buruk?” Tanyanya lembut sambil mengelus-elus pipi Lian. Dia mengerutkan keningnya saat tidak mendapat respon dari Lian.

Chanyeolpun memaksa Lian untuk duduk. Istrinya seperti kehilangan arah. Tatapan matanya kosong. Dia mendekap tubuh ringkih Lian dengan erat sambil mengelus-elus rambutnya. Mulutnya juga tidak berhenti menggumamkan kata baik-baik saja. Bukan sekali atau dua kali Chanyeol selalu melihat Lian terbangun tiba-tiba dengan keringat yang membanjiri keningnya. Dan dia tidak pernah tahu apa yang ada dalam mimpi istrinya itu.

Berada di pelukan Chanyeol setidaknya membuat gadis bermarga Kim itu sedikit tenang. Dia masih mencoba mengumpulkan kewarasannya. Pikirannya kosong. Dia kehilangan arah. Mimpi itu membuatnya bingung. Dan merasa dipermainkan. Tidak mungkin dia bisa merasakan sentuhan Anna.

Chanyeol masih berusaha menenangkan Lian. Dia menunggu istrinya itu tersadar. Tarikan nafas berat terdengar di mulutnya. Dia merasa tidak berguna sebagai seorang suami. Hingga dia merasakan kaos yang dia kenakan basah. Itu air mata Lian.

Ini buruk! Chanyeol tidak bisa melihat istrinya menangis. Dengan gerak cepat dia melepas pelukannya dan menangkup wajah Lian. Dapat dia lihat kalau istrinya itu masih kebingungan. Lian tidak pernah mau menatapnya. Dia menundukkan kepalanya dalam.

“Sayang? Hey, lihat aku! Kau baik-baik saja? Katakan apa yang terjadi. Jangan seperti ini, kau membuatku kawatir.” Chanyeol mengeluarkan kekawatirannya. Ibu jarinya menghapus air mata Lian yang mengalir di kedua pipi wanita itu.

Rasa sesak itu kembali menghampirinya. Dadanya seperti terhimpit beban yang sangat berat. Membuatnya sulit bernafas. Semua ucapan Anna masih terekam jelas di kepalanya. Membuat Lian semakin merasa tidak berdaya. Dia memukuli dadanya yang semakin terasa sakit. Mengabaikan Chanyeol yang sangat mencemaskannya.

Pergilah, luka! Biarkan aku bernafas sejenak.

“Park Lian, kumohon hentikan. Jangan melukai dirimu. Astaga!” Pinta Chanyeol sambil menahan tangan Lian yang memukuli dadanya sendiri.

Usahanya membuahkan hasil. Tangan Lian terkulai lemas di kedua sisi tubuhnya. Selama mereka menikah, Chanyeol tidak pernah melihat Lian menangis. Ini pertama kalinya dan rasanya sangat menyayat hati. Lebih baik dia mendengar segala ucapan pedas Lian, daripada harus melihatnya menangis.

Chanyeol kembali memeluk Lian. Dia membenamkan wajahnya pada rambut Lian. Chanyeol tahu kalau istrinya ini sangat rapuh. Hanya saja Chanyeol dapat melihat dinding kokoh yang membuat Lian selalu terlihat kejam. Chanyeol lebih menyukai wajah dingin Lian, daripada harus melihat wajah cantik yang selalu dia banggakan dipenuhi air mata kesakitan.

Dengan segala kemunafikan dalam dirinya, Lian melingkarkan kedua lengannya pada perut Chanyeol. Dia benci perasaan seperti ini. Disaat dia merasakan nyaman dan tenang dalam pelukan Chanyeol, rasa benci itu selalu menjadi lebih besar. Dapat dia rasakan tubuh menegang dari suaminya tersebut. Namun tidak berlangsung lama, dia merasakan pelukan ini makin erat.

Sangat nyaman. Sampai rasanya Lian kehilangan nafasnya karena menahan segala rasa benci yang menyerangnya.

Bersyukurlah Chanyeol karena akhirnya dia dapat merasakan lagi rengkuhan lemah dari wanitanya. Kalau dengan terpuruknya Lian bisa membuat wanitanya itu datang padanya, tegakah dia membuat Lian terpuruk terus? Oh, bahkan pemikiran brengsek itu tetap tidak hilang dari kepalanya. Sekali brengsek tetap saja brengsek.

Masih dengan tanda tanya besar di kepalanya, Chanyeol memilih diam. Membiarkan istrinya tenang hingga akhirnya kembali tertidur karena lelah menangis. Dia bersenandung kecil agar membuat tidur Lian makin nyenyak. Dengan gerak pelan, dia membaringkan Lian. Sangat pelan-pelan. Tidak ingin mengusik tidur Lian. Setelahnya dia menyelimuti Lian. Menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Lian. Bekas air mata itu masih ada.

Chanyeol ikut membaringkan tubuhnya di samping Lian dengan posisi menyamping. Dia tersenyum miris melihat penampilan Lian yang kacau. Banyak sekali kesakitan yang Lian rasakan seorang diri. Seharusnya dia bisa menjadi obatnya. Bukan menjadi virus yang bisa memperparah rasa sakit itu.

“Maafkan aku karena terus melukaimu. Aku benar-benar tidak berguna sebagai suami.” Bisiknya sambil mengelus-elus pipi Lian.

Chanyeol memang sangat mencintai Lian. Dengan segenap jiwa dan raganya. Tapi ketahuilah kalau dia adalah seorang maniak. Dia tidak bisa hidup tanpa membobol lubang dari para wanita jalang di luar sana. Kebiasaan itu tidak dapat dia hilangkan. Dia tidak melakukannya pada Lian. Lian terlalu berharga untuk menjadi pemuas nafsu bejatnya. Dia menikahi wanita itu karena cinta, bukan untuk melayaninya.

Sebuah kecupan hangat dia berikan pada Lian di keningnya. Kemudian dia kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Sambil terus mengawasi Lian yang sedang tidur nyenyak. Hanya tuhan yang tahu kalau Lian mendengar apa yang dikatakan Chanyeol dan merasakan kecupan manis di keningnya.

Dan ketahuilah… Ini adalah awal. Awal menuju kebahagiaan Lian yang sebenarnya. Belajar memaafkan.

**

“Oppa, apa kau mencintaiku?” Pertanyaan itu keluar dari bibir seorang gadis yang tengah duduk di kursi taman dengan es krim di tangannya.

Mendengar pertanyaan itu, sontak membuat seorang pria jangkung di sampingnya menatapnya. Saat itu juga pria jangkung itu tidak dapat menutupi senyumnya saat melihat bibir gadisnya belepotan es krim.

“Kau tahu jawabannya tanpa harus bertanya, sayang. Dan… Bisakah kau memakannya pelan-pelan? Aku sangat ingin membersihkan bibirmu itu dengan bibirku.” Jawab pria itu sambil mengerling nakal.

Buk.

Pukulan keras tidak segan-segan diberikan dari gadis yang digoda. Pipinya sudah memerah karena malu. Kekasihnya ini memang sangat blak-blakan. Melihat ekspresi malu-malu dari gadis itu, membuat pria jangkung tidak dapat menahan tawanya. Hobinya memang suka menggoda kekasihnya ini.

“Manisnya, cantikku.” Ucapnya gemas sambil mengacak-acak rambut gadis di depannya.

Suasana menjadi hening. Lian, gadis penggila es krim itu, asik dengan es krim di tangannya. Mengabaikan pria jangkung di sampingnya yang terus menatapnya dengan senyum lebar. Chanyeol terlalu menikmati pemandangan indah di depannya. Kapan lagi dia akan melihat gadisnya sebahagia ini?

Es krim di tangan Lian sudah habis. Dia membuang bungkus es krim di tempat sampah. Dan Chanyeol, dia langsung sigap membersihkan tangan Lian yang lengket. Betapa dia sangat mencintai gadis ini. Senyum tidak pernah hilang dari bibirnya saat berdekatan dengan Lian.

“Apa tidak ada wanita lain yang oppa cintai?” Lian kembali bertanya dengan polos. Tidak mempedulikan dengan ekspresi tegang Chanyeol.

Chanyeol berdehem sejenak untuk mengurangi rasa gugupnya. Dia membuang tisu yang dia gunakan untuk membersihkan tangan Lian.

“Kau satu-satunya wanita yang ada di hatiku. Ketahuilah kalau jantungku berdetak sangat cepat karenamu.” Jawab Chanyeol sambil mengapit dagu Lian dengan jempol dan telunjuknya. Dia menatap manik biru di depannya dengan intens.

Lian terpaku dengan tatapan mata Chanyeol sekaligus ungkapan manis pria itu. “Jangan menyia-nyiakan kepercayaanku, oppa. Aku akan sangat terluka dan membencimu.” Bisiknya sambil menggenggam tangan Chanyeol. Menunjukkan keresahannya.

Chanyeol hanya bisa menyembunyikan senyum mirisnya. Diapun menarik Lian ke dalam pelukannya. Berharap semuanya akan baik-baik saja.

Hubungan mereka bertahan lama. Setelah tiga tahun lamanya, hubungan itu berlanjut pada jenjang yang lebih serius. Kalau kalian menganggap Chanyeol melamar Lian, jawabannya salah. Singkatnya, keluarga dari kedua belah pihak mengadakan makan malam dan malam itu juga terjadilah perjodohan antara dia dan Chanyeol. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.

Lian tidak dapat menahan senyum bahagianya. Dia sangat antusias menyiapkan pernikahannya. Dari mulai memilih gaun pengantin hingga cincin nikah.

Pernikahan itu akan dilaksanakan seminggu lagi. Semua persiapan sudah matang. Hanya tinggal menyiapkan mental bagi kedua pengantin. Dan hari itu, Lian memutuskan untuk mengajak Taehyung, sahabat dekatnya, ke pantai. Dia ingin membagi kebahagiaannya dengan Taehyung. Jadilah mereka yang saat ini berjalan menyusuri pantai di sore hari. Menantikan matahari terbenam.

“Aku sangat bahagia.” Lian membuka percakapan setelah lama terdiam. Dia menghentikan langkahnya dan menatap Taehyung. Senyumnya benar-benar tidak bisa hilang.

Taehyung hanya bisa tersenyum paksa melihat wajah bahagia Lian. “Aku juga senang melihatmu bahagia.” Sahutnya.

“Boleh aku bertanya?” Taehyung menatap gadis di depannya intens.

Lian mendongakkan kepalanya menatap Taehyung. “Apa?”

“Bagaimana kalau dia menyakitimu?”

Mendengar pertanyaan Taehyung membuat Lian langsung bungkam. Dia menatap Taehyung dengan tatapan tidak percaya. Chanyeol tidak mungkin melukainya. Itulah janji Chanyeol.

“Kenapa kau bertanya seperti itu? Dia tidak akan menyakitiku, Tae.” Jawab Lian dingin. Dia merasa tersinggung dengan pertanyaan Taehyung.

“Kuharap begitu. Karena aku benar-benar akan membunuhnya kalau dia menyakitimu.” Sahut Taehyung

Lian menatap sahabatnya dengan tatapan sulit diartikan. Dia tahu perasaan Taehyung. Dan dia merasa seperti wanita bodoh karena tidak bisa membalas perasaan pria itu. Hati Lian sudah diisi oleh sosok Chanyeol.

“Maafkan aku.”

“Hentikan. Kau tidak bersalah kenapa meminta maaf? Berjanjilah untuk bahagia dengannya.” Ucap Taehyung cuek.

Lian tersenyum miris. “Kuharap kau menemukan wanita lain yang lebih baik dariku.” Lirihnya dengan kepala tertunduk.

Sore itu berakhir dengan keduanya yang menikmati matahari terbenam. Tidak ada percakapan setelah itu. Lian masih merasa bersalah dengan Taehyung. Dia melukai perasaan Taehyung. Sementara Taehyung hanya mencoba menerima kenyataan pahit yang menimpanya. 

Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pulang karena hari sudah mulai gelap. Mereka berjalan beriringan tanpa kata. Hanya suara debur ombak dan angin yang menemani perjalanan mereka menuju parkir mobil.

“Aku tidak bisa, Eunji-ya.”

Suara itu berhasil menghentikan langkah Lian. Dia kenal dengan suara ini. Dan kepala Lian secara spontan menoleh mencari sumber suara. Tidak mungkin dia berhalusinasi. Dia sangat yakin kalau suara yang dia dengar adalah suara Chanyeol.

“Wae?” Tanya Taehyung heran saat melihat Lian menghentikan langkahnya.

Lian tidak menjawab. Dia masih mencari dimana sumber suara itu berasal. Kakinya bergerak sendiri menuju sebuah pohon besar yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Taehyung mengikutinya dengan perasaan heran.

“Pernikahannya sebentar lagi. Aku tidak bisa membatalkannya.”

Suara itu makin jelas. Lian dapat melihat punggung Chanyeol dan di depannya terdapat seorang wanita yang tidak dia kenal. Sementara itu Taehyung terlihat sangat terkejut melihat Chanyeol bersama wanita lain. Berbeda dengan Lian. Dia sedang berperang dengan ketakutannya. Mencoba yakin kalau wanita itu hanya teman Chanyeol.

“Perjanjiannya tidak seperti ini, Chanyeol. Seharusnya kau sudah berpisah dengannya dua bulan yang lalu. Apa jangan-jangan kau mulai mencintai Lian?”

“Astaga, Eunji. Aku hanya mencintaimu. Sungguh. Aku belum menemukan waktu yang tepat untuk memutuskannya sampai perjodohan ini terjadi.”

Tubuh Lian melemas mendengar ucapan Chanyeol. Pandangannya mengabur oleh air mata. Tidak mungkin! Dia pasti bukan Chanyeol. Chanyeol berkata hanya mencintainya. Tidak ada wanita lain. Pasti dia bukan Chanyeol.

“Lalu sekarang bagaimana? Perjanjian dalam taruhan bukan seperti ini. Kau tidak bisa menikah dengannya.”

Bagai tersambar petir, Lian merasa nyawanya direnggut secara paksa. Taruhan? Jadi selama ini dia menjadi bahan taruhan? Jadi tidak pernah ada cinta dari Chanyeol? Lalu apa maksud perkataannya di taman dulu? Hanya dia wanita satu-satunya. Lian mencengkram dadanya yang terasa sangat sakit.

Sementara itu Taehyung tampak mengepalkan tangannya kuat. Emosinya mendidih kala mendengar semua yang diucapkan Chanyeol. Baru beberapa menit yang lalu Lian sangat yakin kalau Chanyeol tidak akan menyakitinya. Lalu, sekarang ini apa? Taehyung tidak bisa diam saja melihat gadis yang amat dia sayangi terluka karena Chanyeol. Dia baru akan maju untuk melayangkan tinju untuk Chanyeol, sebelum kemudian merasakan sebuah tangan menahannya. Taehyung melempar tatapan protes pada pemilik tangan yang tak lain adalah Lian, namun Lian hanya menggelengkan kepalanya lemah.

“Aku akan menceraikannya setelah tiga bulan menikah.”

Bug!

Taehyung tidak bisa lagi menahan kesabarannya. Tanpa mempedulikan Lian yang memohon untuk tetap tenang, dia berjalan cepat menghampiri Chanyeol dan melayangkan tinjunya pada pria itu. Dia sangat marah karena lelaki ini berhasil membuat Liannya sangat terluka. Seperti orang kesetanan, Taehyung memukuli wajah Chanyeol.

Sementara itu Chanyeol masih belum sadar dari keterkejutannya. Dia bahkan tidak bisa melawan saat Taehyung memukulnya. Hingga matanya menangkap sosok gadis yang tengah menangis. Chanyeol membulatkan matanya. Bagaimana bisa?

“Brengsek! Kau pikir kau siapa berani menjadikan Lian sebagai mainanmu?! Otakmu dimana, huh?!” Taehyung mencengkram kerah Chanyeol sambil menatapnya bengis. Nafasnya memburu karena marah.

Bug!

Taehyung memberikan pukulan lagi di wajah Chanyeol. Setan seolah merasukinya. Dia tidak bisa membiarkan pria yang menyakiti Lian begitu saja. Kesedihan Lian kesedihannya juga.

“Apa kau pikir pernikahan hanya sebuah permainan?! Kau pengecut! Menjadikan wanita lemah sebagai mainanmu. Dimana otakmu, sialan?!” Teriak Taehyung tepat di depan wajah Chanyeol.

Chanyeol tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat gadis yang baru saja dia sakiti. Hatinya tersayat melihat Lian menangis. Dia tidak bisa melihat gadisnya menangis. Terlebih karenanya. Dan saat itu jugalah rasa penyesalan itu datang. Dia sadar kalau selama ini dia terjebak dalam permainan yang dia buat sendiri. Dia jatuh dalam pesona seorang gadis cantik dan pendiam bernama Kim Lian.

“Tae, hentikan.” Lirih Lian sambil memegang lengan Taehyung.

Taehyung menghempaskan tubuh Chanyeol sampai pria jangkung itu mundur beberapa langkah. Dia beralih menatap Lian yang saat ini masih menangis tanpa suara.

“Li…” Chanyeol hendak mendekati Lian namun langsung ditahan oleh Eunji.

“Selesaikan semuanya sekarang, oppa. Pilihlah salah satu diantara kami.” Ucap Eunji tiba-tiba. Membuat Chanyeol dilema setengah mati. Tatapannya tertuju pada gadis di depannya yang tampak rapuh.

“Ayo pulang.” Lian menarik tangan Taehyung. Dia tidak sanggup lagi melihat kesakitan di depannya. Dia belum siap mendengar Chanyeol memilih wanita itu. Tidak akan siap.

“Li, dengarkan aku dulu. Aku bisa jel-“

“Jangan mendekatinya, sialan! Aku benar-benar akan membunuhmu kalau saja Lian tidak menahanku. Kau masih bisa membatalkan pernikahan ini dan aku yang akan menjadi suami Lian.”

“Brengsek, jangan mengambil Lian dariku!” Teriak Chanyeol

“Tae…”

“Kim Lian!” Seru Chanyeol sambil berusaha mendekati Lian.

“Aku tidak mengenalmu.” 

Ucapan dingin Lian membuat jantung Chanyeol berhenti berdetak. Dia mematung di tempatnya sambil melihat Lian yang semakin menjauh darinya bersama Taehyung. Kini dia merasakan sakit luar biasa melihat tatapan dingin Lian. Sungguh dia menyesal! Dia tidak bisa melepas Lian. Dan kini keputusannya sudah bulat.

“Eunji, kita berakhir. Aku mencintai Lian dan aku tidak bisa kehilangannya. Maafkan aku.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Chanyeol langsung berlari mengejar Lian. Mengabaikan Eunji yang masih tercengang dengan ucapannya.

“Lian, maafkan aku. Aku sangat mencintaimu dan tidak akan melepasmu.”

**

Tiba-tiba saja ingatan saat semua kebohongannya terbongkar, tiga tahun yang lalu melintas dalam kepala Chanyeol. Sontak dia langsung menghentikan aktivitasnya yang tengah mengetik pekerjaannya. Setiap kali ingatan itu datang, Chanyeol tidak dapat menahan rasa marah kepada dirinya sendiri. Hari itu pertama kalinya dia melihat Lian menangis. Parahnya lagi dia penyebab Lian menangis. Dia begitu menyesali perbuatannya.

Pernikahan itu tetap terjadi. Chanyeol kekeuh pada keputusannya untuk menikahi Lian. Dia juga berulangkali meminta maaf pada gadis itu. Tapi permintaan maafnya hanya dianggap angin lalu oleh Lian. Gadis itu bahkan tidak suka melihatnya hingga pernikahan terjadi. Semua angan dalam benak Chanyeol harus kabur saat tidak mendapati raut bahagia di wajah Lian. Padahal dia sangat ingat betapa gadisnya ini terlihat antusias saat memilih cincin dan gaun pengantin. Berbeda dengan saat berhadapan dengannya di altar.

Chanyeol memijit pelipisnya yang terasa pening. Akhir-akhir dia terganggu dengan ingatan semua kesalahan yang pernah dia lakuka pada Lian. Ditambah dengan pekerjaan yang menumpuk membuatnya harus rela pulang malam dan waktunya dengan Lian berkurang. Dia akan pulang saat Lian sudah tidur. Ngomong-ngomong tentang istrinya tersebut, Chanyeol sangat merindukannya. Hubungan mereka juga sudah lebih baik dari biasanya. Istrinya sudah bisa dia ajak berkomunikasi.

Karena tidak bisa menahan kerinduannya, Chanyeolpun memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya. Biar saja sekretarisnya yang mengurus. Dia tidak ingin pekerjaannya kacau karena dia yang tidak fokus. Bagaimana bisa fokus kalau yang ada di kepalanya hanya bayangan wajah cantik Lian?

Setelah berpesan kepada sekretarisnya untuk mengosongkan jadwal hingga besok, diapun segera bergegas untuk pulang menemui sang istri. Hitung-hitung memberi kejutan untuk Lian.

**

Hari ini tidak ada kegiatan yang bisa Lian kerjakan. Semua sudah dikerjakan para pekerjanya dan dia dilarang untuk membantu. Tadinya dia berniat untuk membuat kue saja. Tapi bahan-bahannya habis. Jadilah dia sekarang yang hanya diam termangu di depan televisi menunggu pekerjanya datang. Dia juga dilarang untuk membeli bahan membuat kue seorang diri.

Layar televisi di depannya tampak hanya diacuhkan oleh Lian. Pikirannya tidak tertuju pada tayangan itu. Dia bosan. Berada di rumah sebesar ini seorang diri membuatnya sangat kesepian. Tidak ada yang bisa dia ajak berbincang-bincang. Andai saja ada sosok malaikat kecil duplikatnya dengan Chanyeol, pasti dia tidak akan merasa sangat kesepian.

Wajah Lian mendadak murung saat kepalanya teringat akan sosok bayi. Sudah dua tahun pernikahannya, tapi mereka belum mempunyai momongan. Kenapa? Tentu saja karena Lian yang sangat kecewa dengan Chanyeol. Tapi setelah merasa hubungannya dengan Chanyeol berangsur membaik, keinginan untuk mempunyai anak itu muncul. Apalagi diumurnya yang sudah dua lima. Lian yakin suaminya itu juga menginginkan sosok malaikat kecil diantara mereka.

Tapi… Haruskah dia mengatakan keinginannya pada Chanyeol, sedangkan Chanyeol tidak pernah menyentuhnya lebih dalam selain berciuman. Gengsi dalam diri Lian terlalu besar. Helaan nafas berat keluar dari mulutnya. Dia menopang dagunya dengan kedua tangannya.

Membosankan.

Dia mengutuk dalam hati pada pekerjanya yang tidak kunjung tiba. Dia sudah sangat bosan hanya berdiam diri depan layar televisi yang bahkan tayangannya saja tidak menarik. Disaat seperti inilah dia merasakan merindukan suaminya. Dia tahu kalau pekerjaan Chanyeol akhir-akhir ini sangat banyak hingga waktu pertemuannyapun menjadi sedikit.

“Kim Lian.”

Mendengar suara itu sontak membuat tubuh Lian menegang. Di depannya berjarak lima belas meter dari tempat duduknya, berdiri kakak tirinya. Byun Baekhyun. Menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun yang paling bisa Lian tangkap adalah ekspresi terluka dan penyesalan Baekhyun. Ekspresi yang selalu pria itu berikan untuknya.

Sial. Lian kini merasa bersalah karena mengingat kata-kata kasar yang pernah dia ucapkan pada kakak tirinya itu. Seperti pesan Anna dalam mimpinya waktu itu. Belajar memaafkan. Lianpun mencobanya. Dia memulai komunikasi yang baik dengan Chanyeol. Tapi belum sampai tahap pada keluarganya. Selain tidak pernah bertemu, Lian merasa sangat berat untuk memaafkan mereka. Tapi ketahuilah, kalau hati Lian mulai mencair dan dia sedikit menyesali semua perbuatannya pada Baekhyun.

Lian masih diam mematung. Tidak tahu harus berkata apa saat melihat kakak tirinya berjalan mendekatinya hingga berdiri tepat di depannya. Lian menahan nafasnya sejenak. Dia bertanya-tanya dalam hati. Apa yang akan dilakukan Baekhyun?

“Ada yang ingin kukatakan. Untuk terakhir kalinya sebelum aku berangkat ke Jerman.” Suara pelan itu kembali memasuki indera pendengaran Lian. Dan Baekhyun tidak tahu kalau ucapannya sedikit membuat Lian terluka karena kata terakhir di dalamnya.

Lian masih diam. Namun matanya mengatakan kalau dia mempersilahkan Baekhyun untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan. Diluar dugaan Lian! Baekhyun tiba-tiba berlutut di depannya dengan kepala tertunduk. Lian membulatkan matanya kaget. Dia ingin berteriak agar Baekhyun berdiri, tapi mulutnya seolah terkunci.

“Aku tahu seribu kata maaf tidak akan bisa menyembuhkan luka di hatimu karena kehilangan ibumu. Akupun tahu segala cara yang kulakukan tidak akan bisa membuatmu memaafkanku. Terlepas dari itu semua, aku tetap ingin minta maaf. Aku minta maaf karena sudah menjadi kesakitan dalam hidupmu. Aku minta maaf karena membuatmu kehilangan ibumu. Aku-”

Baekhyun tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Dia sudah mengumpulkan keberanian untuk menemui Lian dan mengatakan semua yang ingin dia katakan. Tapi tetap saja dadanya merasa sesak setiap kali melihat adik tirinya yang terlihat menderita. Dia merasa salah. Salah karena hadir dalam kehidupan Lian.

Sementara itu, Lian hanya menatap Baekhyun dengan mata berkaca-kaca. Kalau sebelumnya dia akan mengusir dan menjelek-jelekkan Baekhyun, kali ini Lian ingin memeluk Baekhyun. Lian tidak pernah merasa sesakit ini karena mendengar permintaan maaf Baekhyun.

“Aku seharusnya tidak datang ke dalam kehidupan kalian. Aku menyesal tidak bisa mencegah eomma untuk tetap tinggal. Setiap kali melihat tatapan bencimu, aku merasa nyawaku direnggut begitu saja. Aku sungguh minta maaf.” Suara Baekhyun makin lirih. Seiring dengan bahunya yang bergetar.

Air mata mulai membanjiri pipi Lian. Kini dia tahu apa arti perasaan gelisahnya selama ini. Karena dia menyimpan benci terlalu dalam pada semua orang. Sekarang, saat Lian sudah mulai memaafkan mereka, tubuhnya terasa lebih ringan. Namun rasa bersalah karena sudah melukai perasaan Baekhyun dengan kata-kata kasarnya tetap ada. Baekhyun tidak bersalah. Dia juga korban.

Dengan tangan yang bergetar, Lian menyentuh kedua pundak Baekhyun. Membuat Baekhyun mengangkat kepalanya. Hatinya mencelos saat lagi-lagi melihat Lian menangis. Namun selanjutnya dia dibuat terkejut setengah mati saat Lian tiba-tiba Lian memeluknya. Tubuhnya membeku. Wajahnya juga tampak terkejut. Dia masih belum mencerna apa yang terjadi.

Lian, adik tirinya, memeluknya? Ini seperti mimpi. Tangannya yang bergetar terangkat untuk membalas pelukan adik tirinya. Dalam hatinya dia bersyukur karena Lian mau mendengarkan semua ucapannya, bahkan sampai memeluknya. Mereka menangis bersama dalam pelukan itu dengan Baekhyun yang terus mengucapkan kata maaf. Namun perasaan lega juga mereka rasakan karena beban yang sudah lama mereka rasakan terangkat.

“Aku sudah memaafkan kalian.” Ucap Lian ditengah isakannya. Dia mengatakannya dengan tulus.

Baekhyun semakin menangis kencang saat mendengar kalau Lian sudah memaafkannya. Sekarang, dia merasa lebih tenang. Dia merasa sangat senang hingga tidak tahu harus berkata apa. Namun dalam hatinya dia terus berucap syukur pada Tuhan karena Lian sudah mulai membuka hati untuk memaafkannya.

Mengatakan maaf bukanlah hal memalukan. Karena maaf bisa membawa kebahagiaan yang tidak pernah diduga.

**

Pria jangkung itu memasuki rumah mewahnya dengan langkah lebar dan senyum mengembang. Dia tidak sabar ingin bertemu wanita kesayangannya. Sebelumnya dia sudah menyuruh para pegawainya untuk merahasiakan kepulangannya pada Lian karena memang Chanyeol ingin memberi kejutan untuk istri tercintanya tersebut. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu, jadi Chanyeol pikir memberi kejutan Lian dengan kehadirannya merupakan hal yang bagus.

Para pegawai Chanyeol tidak dapat menahan senyum bahagia mereka setelah melihat hubungan majikan mereka yang berangsur membaik. Selama sebulan ini mereka jarang mendapati tuan dan nyonya mereka bertengkar. Selain itu, sikap ramah Lian kepada mereka juga membuat mereka senang. Dan mereka berharap pemandangan seperti ini akan tetap ada seterusnya. Mereka sangat menyayangkan setiap kali mendengar teriakan kemarahan dari Lian karena ulah Chanyeol.

Tanpa bertanya pada pegawainya, kaki Chanyeol langsung berjalan menuju dapur. Dari ruang tengah dia dapat mencium aroma harum kue kesukaannya. Senyumnya makin mengembang tatkala melihat wanita yang sangat dia rindukan tengah sibuk memasukkan adonan kue ke dalam cetakan. Penampilan istrinya terlihat berantakan dengan apron biru yang menempel di tubuhnya. Tapi ketahuilah, bagaimanapun penampilan Lian, akan tetap terlihat cantik di mata Chanyeol.  Apalagi dengan peluh yang membasahi keringat Lian. Membuatnya terlihat lebih seksi.

Dengan langkah mengendap, Chanyeol berjalan mendekati Lian. Dan saat sudah berada di belakang istrinya yang nampaknya belum menyadari kedatangannya, dia langsung melingkarkan kedua tangannya pada perut Lian. Membuat wanita itu berjengit kaget. Beruntung adonan yang dia pegang tidak jatuh.

“Selamat sore, sayang.” Bisik Chanyeol sambil mencium pipi Lian dari belakang.

Lian tidak pernah siap dengan perbuatan Chanyeol yang tiba-tiba. Termasuk memeluknya dari belakang. Dia heran karena Chanyeol sangat suka memeluknya dari belakang sambil meletakkan dagunya pada bahu Lian. Seperti yang dilakukan sekarang ini. Membuat Lian sedikit kesusahan untuk bergerak bebas.

“Kau menggangguku.” Ucap Lian sambil berusaha melepaskan tangan Chanyeol yang melingkar di perutnya.

Jujur Lian sangat senang melihat Chanyeol pulang lebih awal. Tidak ingin munafik, Lian memang merindukan Chanyeol. Dan saat ini hatinya tengah berbunga-bunga karena Chanyeol memeluknya dari belakang. Sesuatu yang sudah jarang dia dapatkan belakangan ini karena kesibukan pria yang berstatus sebagai suaminya tersebut. Tidak dapat dipungkiri kalau jantungnya berdetak kencang.

Ey! Lian malah terlihat seperti seorang remaja yang mabuk cinta. Bukan tipe Lian sekali.

Dengan wajah masam, Chanyeolpun melepas pelukannya. Setengah hati. Dia berpindah untuk berdiri di samping Lian sambil bersandar pada meja. Tatapannya tidak lepas dari wajah serius dominan bahagia dari Lian. Kalau sebulan yang lalu dia hanya bisa melihat wajah dingin Lian, sekarang dia bisa melihat senyum indah itu lagi. Kalau sebulan yang lalu dia hanya bisa mendengar kata-kata pedas Lian, sekarang dia bisa mendapat kalimat indah dari istrinya.

Tampaknya Chanyeol tidak sadar kalau aksinya menatap Lian justru malah membuat wanita itu gugup. Terbukti dengan Lian yang sekarang justru bingung harus berbuat apa. Dia berusaha terus bekerja agar tidak ketahuan suaminya kalau sedang gugup. Memalukan.

Chanyeol menunggu Lian selesai dengan kegiatan memanggang kuenya hingga selesai. Dia tidak ingin mengganggu istrinya. Lagipula kapan lagi dia bisa melihat wajah serius Lian dengan peluh yang membanjiri keringatnya. Melihatnya hanya membuat Chanyeol ingin menelanjanginya sekarang juga.

“Kenapa sudah pulang?” Tanya Lian setelah dia selesai memasukkan adonan terakhir ke dalam oven. Dia mencuci tangannya dulu sebelum akhirnya mendekati Chanyeol yang masih setia menunggunya.

Chanyeol mendengus sebal. “Apakah begitu caramu menyambut suamimu pulang?”

Lian tertawa sumbang. Bahkan sebelum mereka baikan, tidak ada acara menyapa seperti yang dia lakukan saat ini. Takdir memang lucu. Lian tidak sadar kalau Chanyeol sudah berdiri di depannya dengan tatapan penuh rindu. Saat dia menyadarinya, tiba-tiba Chanyeol sudah menciumnya dengan menggebu-gebu. Lian yang belum siap sama sekali hanya bisa membulatkan matanya. Dia menatap Chanyeol yang bahkan sudah memejamkan matanya.

Baru saja Lian hendak membalas ciuman Chanyeol, ciuman itu sudah terlepas. Menyisakan rasa kehilangan pada Lian yang kentara jelas untuk Chanyeol. Kening mereka masih menyatu. Bahkan keduanya bisa merasakan deru nafas lawan jenisnya. Tangan Chanyeol yang tadinya berada di tengkuk Lian, kini berpindah menjadi memeluk pinggang Lian posesif.

“Aku sangat merindukanmu.” Bisik Chanyeol dengan senyum mautnya. Matanya menyorotkan kerinduan yang mendalam.

“Aku juga.” Balas Lian pelan. Terkesan malu-malu. Dia bahkan menundukkan kepalanya karena tidak ingin ketahuan jika pipinya sudah memerah malu.

“Apa Baekhyun ada disini?” Tanyanya kemudian. Masih dalam posisi yang sama. Dia sangat menikmati posisi intim ini.

“Bagaimana kau bisa tahu?” Tanya Lian balik sambil mendongakkan wajahnya. Dan saat itu juga dia menyesal karena jaraknya dengan Chanyeol benar-benar sangat dekat.

“Aku melihat mobilnya di depan.” Jawab Chanyeol dengan senyum tertahan saat melihat semburat merah di pipi Lian. “Kau tidak ingin melanjutkan yang tadi?” Tanya Chanyeol lagi dengan nada menggoda.

“Apa?” Sahut Lian pura-pura tidak tahu. Tapi… Suaranya terdengar bergetar.

Chanyeol menyeringai, “Kau bahkan kecewa saat aku berhenti menciummu.” Ucapnya sambil mengelus-elus pipi Lian.

“A-apa? Aku tidak!” Sergah Lian gugup.

“Jangan berbohong, sayang. Aku tahu kau ingin kita melanjutk-mpphh”

Kalimat Chanyeol langsung berhenti di tengah jalan saat tiba-tiba Lian lebih dulu menciumnya. Pelan dan intens. Khas seorang Kim Lian. Dengan senang hati Chanyeol menerimanya. Dia merengkuh pinggang Lian semakin erat sementara tangan kanannya berada pada tengkuk Lian guna memperdalam ciuman mereka. Chanyeol bisa mati perlahan kalau seperti ini terus. Ciuman Lian sangat memabukkan. Sangat intens dan dalam. Chanyeol akui hanya Lian satu-satunya yang mempunyai ciuman paling menakjubkan.

She’s a good kisser. More than good.

Dan sebenarnya Chanyeol berbohong tentang melihat mobil Baekhyun di halaman rumahnya. Dia mengetahui hal itu sebelum dia tiba di rumah. Tentu saja dia melihat dari kamera CCTV rumahnya. Chanyeol melihat semuanya. Saat Baekhyun berlutut di depan Lian hingga akhirnya mereka berbaikan. Chanyeol lega karena sahabatnya itu bisa mendapat maaf juga dari Lian. Pun dia merasa senang dan bersyukur karena Liannya benar-benar berubah menjadi sosok yang hangat.

Kegiatan panas itu masih berlanjut. Kali ini lebih menuntut. Tangan Lian mulai bergerak merengkuh pinggang Chanyeol. Kepala mereka bergerak ke kiri-kanan guna mencari posisi nyaman dan mencuri pasokan udara. Tangan Chanyeol sudah gatal ingin menyentuh seluruh lekuk tubuh Lian. Tapi…

“Astaga!” Pekik Baekhyun yang tiba-tiba datang dengan penampilan khas bangun tidur.

Suara tersebut mau tidak mau membuat kegiatan dua manusia dilanda mabuk asmara itu berhenti. Chanyeol menatap sebal pada sahabatnya karena merasa terganggu. Berbeda dengan Lian yang justru menyembunyikan wajahnya yang memerah di balik dada lebar Chanyeol.

Pria berwajah cantik itu menutup matanya dengan kedua tangannya. Tapi dia masih bisa melihat pasangan suami-istri itu melalui celah di jarinya. Sungguh Baekhyun tidak menyangka akan melihat adegan panas di dapur. Dia baru saja bangun tidur dan ingin minum tapi malah melihat sahabat dan adik tirinya sedang berciuman panas. Otomatis, nyawanya yang baru terkumpul lima belas persen, langsung terkumpul sepenuhnya.

Pria berwajah cantik itu mendengus sebal saat melihat Chanyeol dengan tatapan laparnya sedang menggoda Lian yang masih terlihat malu. Diapun kembali melakukan pada niat awalnya ke dapur. Astaga! Dia benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa mereka melakukannya di dapur sementara banyak para pekerja yang berkeliaran di rumah ini?

“Berterimakasihlah aku datang. Kalau tidak, kalian akan lupa tempat dan bercinta disini.” Sungut Baekhyun setelah menghabiskan segelas air dingin.

Lian mendelik kaget mendengar ucapan frontal Baekhyun. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali memanas saat mengingat ciuman panas tadi. Yang dikatakan Baekhyun ada benarnya. Dia bahkan hampir kehilangan akal sehatnya karena terlalu menikmati ciuman tadi. Dan tidak bisa dipungkiri kalau hasratnya meninggi. Dia saja sudah bergairah, apa lagi Chanyeol? Tangan pria itu bahkan masih merengkuh pinggangnya posesif. Diikuti dengan remasan seduktifnya.

Oh, tidak! Dia bisa gila kalau Chanyeol tidak menghentikan kegiatannya. Ada Baekhyun! Akal sehatnya terus berteriak.

Ting!

Hah. Lian bisa bernafas lega saat mendengar suara oven. Rupanya kue buatannya sudah matang. Tanpa mempedulikan Chanyeol yang masih menatapnya, dia melenggang menuju oven untuk mengangkat kue buatannya. Aroma harum kue buatannya langsung menyebar ke seluruh penjuru dapur. Siapapun yang menciumnya akan langsung tergiur.

“Kau terlihat bahagia.” Ucap Baekhyun pelan yang tiba-tiba sudah berada di samping Chanyeol. Dia bersandar pada meja, sama seperti yang dilakukan Chanyeol. Keduanya sedang melihat Lian yang mulai sibuk dengan kue-kuenya.

Chanyeol melirik Baekhyun sekilas sambil tersenyum tipis. “Kurasa kita merasakan perasaan yang sama.” Sahutnya sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.

“Aku semakin mencintainya.” Tambah Chanyeol

Obrolan singkat itu berakhir saat Lian mendekati mereka dengan membawa piring yang berisikan kue buatannya. Senyumnya tampak mengembang hanya karena merasa puas dengan resep barunya. Chanyeol dan Baekhyun yang melihat senyum itupun ikut tertular. Betapa bahagianya mereka karena dapat melihat senyum itu lagi.

“Aku mencoba resep baru. Cobalah. Kuharap kalian menyukainya.” Lian menyodorkan kuenya kepada suami dan kakak tirinya.

Baekhyun langsung mengambil satu potong kue berwarna ungu itu kemudian memakannya. Lain halnya dengan Chanyeol yang justru malah menarik pinggang sang istri dan langsung mencium pipinya. Lian melotot kaget melihat kelakuan Chanyeol.

“Aku lebih tertarik untuk memakanmu.” Bisik pria jangkung itu seduktif.

Baekhyun yang mendengarnya hanya mendengus sebal. “Sepertinya kalian butuh ranjang.” Ucap Baekhyun sambil mengambil satu potong kue buatan Lian lagi. “Kuenya sangat enak. Lebih baik kau urusi nafsu suami itu.” Sambung Baekhyun pada Lian sambil menepuk pundak Lian. Kemudian dia melenggang pergi meninggalkan pasangan suami-istri yang sedang terbakar gairah.

Lian melongo mendengar ucapan Baekhyun. Bagaimana bisa mereka berdua sefrontal ini? Tatapannya beralih pada Chanyeol. Dan… Oh tidak! Tatapan Chanyeol benar-benar berkabut. Penuh dengan gairah. Lian juga dapat merasakan nafas suaminya itu yang sudah memburu. Lian dibuat gugup karenanya. Dia bahkan tidak sadar kalau piring yang dia bawa bergetar.

Apa ini saatnya?

Lian kembali ingat dengan keinginannya untuk memiliki anak. Mungkin memang ini saatnya. Bukankah lebih cepat lebih baik? Lagipula, hubungannya dengan Chanyeol sudah memiliki banyak kemajuan dan dia juga tidak pernah mendapat informasi dari mata-matanya tentang tindakan menyimpang Chanyeol.

“Bolehkah?” Tanya Chanyeol dengan suara serak.

Lian mendongakkan kepalanya secara perlahan. Dia menatap mata Chanyeol yang sudah berkabut gairahnya sendiri. Lian sedang berperang dengan batinnya. Setelah dirasa keputusannya sudah bulat, Lian menganggukkan kepalanya malu-malu. Setelah mendapat persetujuan dari Lian, tanpa pikir panjang Chanyeol langsung menggendong istrinya ala bridal menuju kamar mereka.

Saatnya menuntaskan hasrat masing-masing. Lian yang tampak belum siap hanya memekik kaget dan mengalungkan tangannya pada leher Chanyeol. Dia dapat melihat bibir suaminya itu membentuk sebuah seringai.

Ready for wonderful night, baby?” Bisik Chanyeol seduktif saat mereka sudah berada di depan pintu. Dia menghembuskan nafasnya tepat di samping telinga Lian. Bermaksud menggoda sang istri.

Kemudian dua insan itu hilang dibalik pintu dan mulai menyelami kenikmatan surga dunia yang lama tidak terlampiaskan. Malam itu diiringi dengan erangan dan desahan nikmat dari dua anak adam yang tengah mengejar kenikmatan surgawi.

Tbc~

Posted in Chapter, Family

Fool For You Part 6

Fool For  You Part 6

Author : brokenangel

Cast : Lian Jeon – Kim Taehyung – Fellix Kim – Jeon Jungkook – Bae Irene – Park Chanyeol – Park Jinyoung –  Anna Boulstern – Cho Kyuhyun – Lee Donghae – BTS Member – GOT7 Member

Genre : Romance, Action, Honor, Married Life

Rate : PG-15

**

Suasana kamar Taehyung kembali sepi. Lian sudah tenang dan kini sedang sibuk dengan laptop di depannya. Sedangkan Taehyung juga tengah sibuk dengan ponselnya. Jangan lupakan sosok dua pria yang berdiri di samping Lian. Siapa lagi kalau bukan Jungkook dan Aiden. Taehyung merasakan aura mencekam dalam ruangannya sehingga dia memilih untuk menyibukkan diri dengan ponselnya. Toh, dia juga tidak ada urusannya sama sekali dengan mereka.

Tidak ada penjelasan. Setelah Lian selesai menangis, dia memilih untuk bungkam sampai saat ini. Dan Taehyung yang sangat penasaran akan sesuatu, mengurungkan niatnya untuk bertanya. Duda anak satu itu memutuskan untuk istirahat yang berakhir dengan menyaksikan aksi tatap-menatap antara Aiden-Jungkook-Lian.

Suara dering ponsel dari handphone Lian memecah keheningan dalam ruangan menegangkan itu. Dalam diamnya, Taehyung sesekali melirik ke arah Lian. Gadis itu terlihat menyeramkan saat marah. Taehyung berani bersumpah kalau Lian adalah satu-satunya gadis yang dia temui dengan kemarahannya yang menakutkan. Auranya seakan mengatakan untuk tidak mengusiknya saat marah. Seolah-olah hidupmu akan segera berakhir kalau berani mengganggunya.

Melalui ekor matanya, Taehyung dapat melihat Lian yang berdiri dan berjalan melalui Aiden untuk berdiri menghadap pemandangan kota Seoul. Sementara itu Aiden dan Jungkook masih terus mengikuti semua pergerakan yang dilakukan Lian.

Sial!

Taehyung mengumpat dalam hati saat melihat betapa anggunnya seorang Lian Jeon. Dalam keadaan marahpun pesonanya tidak bisa hilang. Dari belakang, Taehyung masih bisa merasakan aura memikat Lian.

“Apa?”

Suara dingin Lian yang lebih terdengar seperti titah itu menjadi satu-satunya kata pertama sejak dua puluh lima menit ini. Taehyung yang orangnya cenderung dingin dan judespun tidak seperti Lian.

Sebenarnya sosok seperti apa Lian Jeon?

Taehyung meletakkan ponselnya di meja kecil samping ranjang rumah sakitnya. Dia lebih tertarik memperhatikan wajah Lian dari samping. Lian benar-benar keindahan seorang dewi. Siluet tubuhnya sangat luar biasa.

“Kau gila.” Desis Lian diiringi senyum kecutnya.

Oh, ayolah! Jungkook tidak tahan dengan siatuasi seperti ini. Dia bahkan tidak penasaran sama sekali dengan perbincangan Lian dengan entah siapa. Yang ada, dia ingin mencaci penelepon itu yang besar kemungkinan adalah Marcus atau Anna, karena sudah mencuri perhatian Lian.

“Mati saja kau.”

Tiga kata yang keluar dari mulut Lian itu menjadi akhir perbincangannya dengan si penelepon. Lian tidak langsung kembali menuju tempat duduknya semula. Melainkan diam sambil memandang gemerlap lampu di depannya dengan tangan yang terlipat di depan dada. Lian memejamkan matanya dan menghembuskan nafas panjang. Paru-parunya memerlukan ruang lebih untuknya bernafas. Dia masih merasakan sesak di dadanya.

Hati Taehyung berdesir melihat mata Lian terpejam. Wajah gadis itu terlihat tenang dan terluka. Bagaimana dia harus mendeskripsikannya? Yang jelas, Taehyung merasa terganggu dengan raut terluka Lian. Dan kenapa dia malah ingin berlari dan mendekap gadis Jeon itu?

Hilangkan wajah terluka itu!

Taehyung berusaha keras menahan keinginanya itu. Memangnya dia siapa? Dan perasaan ini… Tidak seharusnya ada.

Aiden tidak tahan lagi. Kesabarannya habis tepat di menit ketiga puluh. Dia kesini bukan untuk melihat aksi diam satu sama lain. Aiden bisa saja bersikap tenang dan cuek. Tapi dia tidak bisa diam saja melihat Lian marah terhadap Jungkook. Lian bisa bertahan dengan kemarahannya selama berminggu-minggu. Dan hal itu adalah hal yang paling ditakuti dan dihindari bagi mereka yang siapapun mengenal Lian dengan baik plus masa lalu yang menimpa gadis dua puluh dua itu.

Dengan langkah santainya, Aiden berjalan mendekati Lian. Dia sudah mendengar dari Jungkook sendiri penyebab Lian marah. Sepupu cantiknya ini pasti ingat dengan kejadian memalukan yang hampir mencelakakannya tiga tahun lalu. Tentu Aiden tahu meskipun tidak berada di universitan yang sama. Jungkookpun tahu. Dan dia sangat mengutuk Jungkook yang tidak tahu tempat saat melakukannya. 

Dia memegang pundak Lian dan sedikit meremasnya. Lian masih bergeming namun dapat dia dengan hembusan nafas berat dari Lian. Aiden justru ikut merasa bersalah. Seharusnya Marcus yang berada disini. Marcus paling pintar untuk membuat hati si gadis dingin ini luluh.

“Pulanglah, Aiden. Aku akan menginap disini.” Ucap lirih Lian.

Apa? Taehyung membulatkan matanya lebar-lebar? Menginap? Dia akan berada satu ruangan bersama Lian dalam waktu semalaman? Hal itu akan memperparah kerja otaknya. Jelas Taehyung tidak akan setuju akan hal itu. Dia bisa sendiri. Lagipula hanya semalam. Daripada ditemani Lian.

Jungkook yang mendengarnya juga ikut berjingkat kaget. Dia berjalan cepat menghampiri Lian dan berdiri di depan adik kandungnya itu. Tatapannya tidak dapat diartikan. Sedih, kecewa, menyesal, dan kesal. Namun melihat ekspresi dingin Lian membuat wajah Jungkook ikut melembut. Dia menatap Lian dengan tatapan memohon.

Baby?”

“Kau juga, pergilah. Jangan bicara padaku.” Ucap Lian dingin sambil memalingkan wajahnya.

“Lian Jeon!” Seru Aiden kesal karena melihat sikap tidak sopan Lian pada Jungkook.

“Aku memaafkanmu. Jadi, pergilah. Biarkan aku istirahat.” Suara Lian melemah. Dia juga menundukkan kepalanya. Berusaha menahan air matanya yang entah sejak kapan sudah berkumpul di sudut matanya.

Jungkookpun menyerah. Mungkin emosi Lian masih belum stabil. Dia memberi kode pada Aiden agar segera pergi. Tanpa banyak kata, Aiden pergi mendahului Jungkook dan menutup pintu cukup keras. Memang dasarnya dia tidak suka dibantah. Lagipula percuma berbicara baik-baik pada Lian. Lian tetap akan mengacuhkan mereka.

Pertanyaannya adalah, dengan siapa Lian marah? Kenapa semua orang menjadi korban? Begitulah Lian Jeon.

Jungkook meninggalkan Lian dengan langkah lesu. Namun sebelum benar-benar keluar dari ruangan itu, dia menyempatkan untuk melihat kondisi pasiennya. Berusaha bersikap profesional.

“Bagaimana keadaanmu, Taehyung-ssi? Apa lukamu masih sering terasa perih?” Tanya Jungkook pada Taehyung yang masih menatap Lian secara terang-terangan.

“Aku sudah lebih baik dari hari kemarin.” Jawab Taehyung tanpa mengalihkan pandangannya pada Lian.

Jungkook yang mengerti arah pandang Taehyung hanya bisa menghela nafas lesu. Dia menundukkan kepalanya. Lian memang memaafkannya. Tapi Lian tidak akan pernah mau dia ajak bicara. Begitulah Lian.

“Aku minta maaf karena belum bisa memulangkanmu padahal kau sangat ingin melihat pertunjukkan putramu.” Ucap Jungkook dengan nada menyesal.

Kali ini Taehyung maupun Lian mengalihkan atensi mereka pada Jungkook. Taehyung hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Jungkook yang pertanda kalau dia tidak masalah. Sementara itu Lian hanya menatap dua pria itu bingung. Fellix akan melakukan apapun dia tidak tahu. Setahunya Fellix hanya akan menghadiri acara ulangtahun sekolah besok. Dia tidak tahu kalau Fellix akan menampilkan sesuatu.

“Tak apa, dokter.”

“Apa yang akan ditampilkan Fellix?” Tanya Lian menginterupsi pembicaraan dua pria itu.

“Dia akan bermain piano di depan teman-temannya besok untuk yang pertama kalinya.” Jawab Taehyung sambil menatap Lian.

Lian sedikit terkejut mendengar jawaban Taehyung. Dia tidak tahu sama sekali kalau Fellix akan menampilkan sesuatu. Marcus maupun Yoongi tidak memberitahunya. Dan entah kenapa dia merasa kesal karena tidak tahu hal ini. Dia harus tahu apapun yang dilakukan dan akan dilakukan Fellix selama bocah itu bersamanya.

“Kalau begitu bersiaplah. Aku akan mengurus administrasimu. Kita bisa pulang sekarang.” Ucap Lian yang membuat Taehyung dan Jungkook mendelik kaget.

Lian mengucapkan dengan santai seolah dia dokternya. Dia bahkan langsung bersiap mengambil tasnya. Mengabaikan tatapan kaget dari dua pria di depannya.

Baby, jadwal pulangnya masih lusa. Kau tidak bisa-”

“Aku bahkan bisa menutup rumah sakit ini jika mau.” Potong Lian cepat.

Taehyung menganga tidak percaya dengan ucapan gadis Jeon itu. Lian mengatakannya dengan sangat santai. Apa katanya tadi? Menutup rumah sakit ini jika mau? Nah! Memangnya siapa Lian? Itulah yang menjadi tanda tanya besar dalam kepalanya saat ini.

Taehyung tersadar dari lamunannya saat mendengar pintu tertutup. Ruangan itupun menyiksakan dia dan Jungkook yang masih menatap nanar pintu yang baru saja tertutup. Apa yang baru saja mereka katakan saja Taehyung tidak tahu karena duda seksi itu terlalu memikirkan Lian yang sangat mengejutkan. Hari ini dia dibuat terkejut oleh gadis yang baru saja dikenalnya empat hari yang lalu. Pertama, saat Lian tiba-tiba menyerang gadis yang berciuman dengan Jungkook di ruangannya. Dan yang kedua, saat ini. Gadis itu bisa membuatnya keluar dari tempat membosankan ini dengan mudah.

Sebenarnya siapa dokternya? Jungkook yang berstatus sebagai dokter sekaligus pimpinan tertinggi rumah sakit saja belum menginjinkannya pulang. Catat! Presiden direktur. Tapi, seorang Lian Jeon? Astaga! Taehyung merasa kepalanya akan pecah karena terlalu penasaran dengan gadis misterius nan anggun itu.

**

Disinilah Taehyung sekarang. Setelah Lian selesai mengurus segala tetek bengek yang berhubungan dengan administrasi dan seseorang yang dia ketahui bernama Yoongi membantunya beberes barang-barangnya, tibalah dia di sebuah rumah mewah. Taehyung tidak dapat menyembunyikan wajah kagumnya melihat rumah bak istana di depannya. Apa ini bisa disebut rumah? Bahkan rumah presidenpun akan kalah dengan rumah megah ini.

Belum cukup dengan kemegahannya. Dari gerbang utama, sudah terdapat beberada penjaga berjas hitam. Kemudian di depan pintu juga terdapat dua penjaga. Belum lagi yang tersebar di tempat lain.

Dengan dibantu Yoongi membawa tasnya, Taehyung berjalan mengikuti Lian memasuki rumah itu. Jangan tanyakan bagaimana bisa dia berada di rumah ini. Tentu saja karena paksaan gadis di depannya itu. Lian merasa bertanggungjawab sehingga harus memastikan kalau dia akan baik-baik saja. Taehyungpun tidak sanggup membantah. Dia sudah berhutang banyak pada gadis itu.

Dan kali ini rasa penasarannya pada sosok Lian semakin membuncah. Mereka berasal dari keluarga besar. Taehyung dapat melihat aura yang selalu terpancar dari wajah Lian maupun Jungkook. Aura kakak beradik itu menunjukkan aura bangsawan. Belum lagi dengan keanggunan Lian dan kewibawaan Jungkook. Benar-benar sempurna untuk seukuran manusia.

Terlalu banyak berpikir, membuat Taehyung tidak sadar kalau dia sudah berada di depan sebuah kamar yang dia yakini akan menjadi kamarnya untuk sementara waktu. Taehyung menatap ke sekelilingnya. Dia dikelilingi para wanita berseragam. Jadi bukan hanya penjaga berbadan raksasa itu saja. Pelayanpun juga berjumlah lusinan.

Sebenarnya mereka ini manusia apa?

“Kau bisa tidur di kamar ini sementara waktu.” Suara merdu Lian menyadarkan Taehyung.

Lian mengangkat sebelah alisnya mendapati ekspresi linglung Taehyung. Pasti pria itu sedang menerka-nerka siapa dirinya. Dia memberikan kode pada para pelayan agar pergi yang kemudian dipatuhi mereka. Setelah itu, dia membuka pintu kamar itu dan masuk ke dalamnya. Taehyung mengikuti dari belakang.

“Lian-ssi? Apa tidak apa-apa aku menginap disini? Kupikir ini terlalu berlebihan.” Tanya Taehyung hati-hati sambil memperhatikan kamar bernuansa hitam putih itu.

Lian hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Taehyung, “Tidak usah sungkan. Kalian tanggung jawabku selama Tuan dan Nyonya Kim berada di Daegu.” Jawab Lian santai.

Meskipun begitu, tetap saja Taehyung merasa kalau ini semua berlebihan. Dengan pelayanan istimewa dari para pekerja Lian, dia merasa seperti pangeran. Yang benar saja. Taehyung sangat berhutang banyak pada gadis itu.

“Beruntung sekali pria yang kelak akan menjadi suamimu.” Gumam Taehyung namun masih cukup bisa didengar oleh Lian.

Lagi-lagi Lian dibuat mati gaya setelah mendengar ucapan Taehyung. Pipinya memanas dan dia lupa bernafas. Tidak lagi. Dia sudah berusaha menahan debaran jantungnya saat duduk bersebelahan di mobil tadi. Dia bahkan hanya diam saja. Tubuhnya seolah terkunci. Kali ini dia harus merasakan debaran yang menggila karena ucapan Taehyung.

Ingin rasanya Lian berteriak kalau dia ingin pria beruntung itu adalah pria yang saat ini di depannya. Menatapnya lembut.

Lian buru-buru mengalihkan pandangannya. Kerja jantungnya akan semakin buruk jika terlalu lama menatap mata Taehyung. Setelah rasa gugupnya berangsur hilang, Lian kembali memberanikan diri untuk menatap Taehyung. Dia ingat kata-kata Marcus tempo hari.

Jangan bertingkah bodoh.

Jangan takut menatap matanya.

Berbicaralah layaknya teman.

Jangan menghindari sentuhan kulit.

Pasang ekspresi angkuh seorang Lian Jeon.

Dan masih banyak lagi pesan-pesan yang diberikan Marcus. Lian bahkan bisa mengingatnya di luar kepala. Dan dia sedang berusaha melakukannya. Jangan takut menatap matanya.

“Apa kau ingin mandi? Ah! Tapi lukamu belum kering. Pasti belum boleh mandi.”

“Tak apa. Aku akan mencuci rambutku saja.” Sela Taehyung sambil memasang senyum tipisnya.

“Jangan tersenyum, bodoh!” Jerit Lian dalam hati.

“Kalau begitu istirahatlah. Panggil aku atau pelayan kalau membutuhkan sesuatu. Kamarku tepat di sampingmu. Kamar Fellix ada di ujung.” Ucap Lian sambil menunjuk tembok di kanannya, yang membatasi kamarnya dan kamar Taehyung.

“Baiklah. Maaf merepotkan kalian.” Sahut Taehyung

“Bukan masalah. Aku pergi, kalau begitu.” Balas Lian lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Taehyung.

Selepas kepergian Lian, Taehyung langsung memegang dada kanannya. Dia menghirup udara dengan rakus agar paru-parunya kembali berfungsi dengan baik. Otaknya blank. Hanya dipenuhi sosok gadis yang sejak tadi mengusik pikirannya.

Lian Jeon.

Gadis itu memang mempunyai sejuta pesona yang sialnya Taehyung berhasil jatuh dalam pesonanya. Cara gadis itu bersikap dan tersenyum benar-benar berhasil membuat kerja otak Taehyung terganggu. Dia berusaha menghilangkan bayangan-bayangan Lian saat tersenyum. Tapi wajah itu tidak mau pergi dari pikirannya.

Ini harus dihentikan. Perasaan aneh ini tidak seharusnya ada. Merasa pikirannya kacau, akhirnya duda panas itu memutuskan untuk mencuci rambutnya dan menemui putra kesayangannya.

**

Lian memegang dadanya yang bergemuruh begitu keluar dari kamar Taehyung. Dia menyandarkan tubuhnya sambil berusaha menghilangan debaran jantungnya yang menggila. Berada di dekat Taehyung memang membuat kerja jantungnya meningkat. Pria itu benar-benar sesuatu. Lian mungkin berlebihan. Tapi ketahuilah, senyum dan mata Taehyung itulah yang membuat gadis dua puluh dua itu kalang kabut. Senyum kotak dan tatapan matanya yang intens selalu membuat hati Lian bergetar.

Huh. Lian menghembuskan nafas kasar. Merutuki kekonyolannya. Wajar saja. Lian baru pertama kali jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta, pria itu sudah berstatus duda.

Tapi, siapa yang akan menolak kalau duda itu Taehyung? Selain tampan, dia bisa dibilang menggoda.

Lian mengenyahkan pikiran liarnya. Diapun memutuskan untuk tidur. Namun baru saja tangannya menyentuh kenop pintu, suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Lian. Lian mengernyitkan keningnya saat melihat Fellix keluar dari kamarnya dengan mata sayu. Khas orang bangun tidur. Lianpun menghampiri Fellix yang tampak linglung itu.

“Hey, my little boy, kenapa bangun? Apa Fellix haus?” Tanya Lian sambil mengelus-elus kepala Fellix.

“Aku mimpi buruk dan terbangun. Aku sangat takut tadi.” Jawab bocah kecil itu dengan wajah murung.

Lian tersenyum tipis sambil mengelus-elus pipi tembam Fellix. Saat seumuran Fellix, dia juga pernah mimpi buruk dan akan langsung menangis. Kemudian Lena akan memeluknya sepanjang tidur. Mengingat hal itu membuat Lian sedih. Lalu, Fellix? Bocah kecil ini sudah tidak mempunyai ibu. Pasti sangat berat saat tiba-tiba mendapat mimpi buruk.

“Bagaimana kalau noona temani Fellix tidur?” Tanya Lian

Jinjja? Aku mau! Ayo, noona!” Fellix memekik girang lalu menarik tangan Lian untuk masuk ke dalam kamar yang sudah dia tempati selama tiga hari ini.

Lian tidak dapat menahan senyum bahagianya saat melihat Fellix yang begitu antusias saat dia berkata akan menemaninya tidur. Pasti bocah itu merindukan sosok ibu. Lian berbaring di samping Fellix sambil tangannya mengelus-elus rambut Fellix.

“Apa Fellix sering mimpi buruk?” Tanya Lian ditengah keheningan.

Fellix yang memang belum tertidurpun mendongakkan kepalanya sehingga bisa menatap wajah Lian yang selalu membuatnya nyaman. Dia melingkarkan tangannya pada perut Lian yang sukses membuat Lian terkejut. Lian menatap tangan kecil Fellix yang berada di perutnya. Kemudian tatapannya beralih pada Fellix yang sedang menyandarkan kepalanya di dada Lian. Wajah bocah itu terlihat damai. Membuat hati Lian menghangat.

“Aku sering mimpi buruk. Saat appa ada, dia yang menemani Fellix.” Jawab Fellix dengan suara paraunya. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk lagi.

Lian terenyuh mendengar ucapan Fellix. Diusianya yang masih dini bocah itu sudah merasa sangat kesepian. Ibunya meninggal dan ayahnya pasti sangat sibuk dengan pekerjaannya. Lian justru bertanya-tanya, kenapa Taehyung tidak mencari sosok pengganti untuk ibu Fellix? Menjadi single parent bukanlah hal yang mudah.

Beberapa menit kemudian, Lian dapat merasakan hembusan nafas teratur dari Fellix. Bocah itu sudah kembali tidur dengan nyenyak. Wajahnya benar-benar sangat menggemaskan dan damai. Kecintaan Lian pada bocah dingin ini semakin bertambah.

Have a sweat dream, boy.” Bisik Lian lalu mengecup kening Fellix.

Baru saja Lian hendak melepas pelukan Fellix pada perutnya, pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan munculnya sosok Taehyung di ambang pintu. Keduanya sama-sama terkejut di tempat masing-masing. Namun Taehyung langsung bisa mengendalikan ekspresinya. Dia awalnya terkejut saat melihat Lian berada di kamar Fellix dengan posisi saling memeluk. Namun kemudian dia ingat kalau putranya itu sudah menginap disini beberapa hari. Pasti keduanya semakin akrab.

Setiap langkah Taehyung semakin dekat, Lian dapat merasakan detak  jantungnya semakin meningkat. Dia bahkan bisa mendengar debarannya sendiri. Mata Lian terpaku pada sosok pria di depannya yang kini sudah duduk di samping Fellix. Rambut Taehyung masih basah. Lian bahkan bisa melihat tetesan itu yang mengalir di wajahnya.

So damn sexy!

Lian menggigit bibir bawahnya. Dia tidak tahu kalau berada di dekat Taehyung juga akan membuat otaknya bermasalah. Tapi, serius! Taehyung terlihat lebih seksi dengan rambut basah itu.

Lian harus menahan nafasnya saat tiba-tiba Taehyung mencondongkan wajahnya hendak mencium kening putranya. Dia berharap debaran jantungnya tidak terdengar oleh Taehyung. Wajah Lian memanas.

“Kupikir kau sudah tidur.” 

Suara bariton Taehyung menyadarkan Lian dari pikiran liarnya. Lian tampak salah tingkah karena Taehyung menatapnya.

“Fellix mimpi buruk tadi. Jadi aku menemaninya tidur.” Jawab Lian sambil menyingkirkan anak rambut yang menutupi kening Fellix.

Hal itu tidak lepas dari pandangan Taehyung. Dia dapat merasakan aura keibuan dalam diri Lian. Dan untuk pertama kalinya dia melihat sosok gadis yang mudah sekali akrab dengan anak kecil. Dalam hatinya, Taehyung berterimakasih karena putranya berubah sangat pesat.

“Aku sangat terkejut saat Fellix mengenalkanmu padaku. Dia tidak banyak bicara dan tidak mau berkomunikasi dengan orang asing. Dia berbeda dari anak kecil pada umumnya karena kehilangan ibunya.” Ucap Taehyung tiba-tiba. Kini matanya berpindah pada Fellix yang tampak pulas dalam tidurnya.

Lian juga ikut menatap Fellix. Tangannya bergerak mengusap-usap pipi Fellix, “Aku melihatnya menangis waktu itu. Dia berkata padaku kalau ayahnya koma. Saat itu juga aku langsung menyukai Fellix. Ah, bukan. Aku memang menyukai anak kecil tapi Fellix berbeda. Aku mencintai anakmu, kurasa.” Ucap Lian

Taehyung diam di tempatnya. Perasaannya menghangat mendengar kalau Lian mencintai putranya. Benar-benar gadis yang mulia.

“Kenapa kau mau membantuku mengurus Fellix? Padahal kau baru mengenal Fellix?” Tanya Taehyung

“Kenapa? Aku menyukai Fellix. Apa itu cukup untuk dijadikan alasan? Dia sangat cerdas dan menggemaskan.” Jawab Lian sambil memandang Taehyung.

Untuk beberapa saat, Taehyung dibuat terpukau dengan tatapan mata biru Lian. Mata biru itu membuatnya hampir terjatuh kalau saja dia ingat kalau dia tidak boleh terjatuh dalam pesona gadis di depannya.

“Sebenarnya masih banyak yang ingin kutanyakan. Tapi, sekarang sudah malam. Aku akan kembali ke kamarku. Selamat malam.” Ucap Taehyung

Lian hanya membalas ucapan Taehyung dengan senyum tipis. Pria itu kemudian keluar dari kamar Fellix setelah mendaratkan kecupan singkat pada dahi putranya. Lian menatap kepergian Taehyung dengan perasaan kecewa.

Kenapa hanya Fellix yang dicium?

**

Suasana pagi di rumah Lian terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Selain karena adanya Fellix, kehadiran Taehyung juga menjadi alasan utama kenapa suasana sangat berbeda. Bagaimana tidak? Lian bangun pagi dengan wajah berbinar. Gadis itu juga bersemangat memasak sarapan.

Di ruang makan, semua sudah berkumpul. Fellix tampak kaget saat melihat ayahnya yang sudah pulang. Namun kemudian, terjadilah adegan mengharukan antara ayah dan anak itu. Fellix terlihat sangat bahagia. Bahkan bocah lima tahun itu langsung bersikap manja pada ayahnya. Sejak tadi dia tidak mau turun dari pangkuan Taehyung.

Makanan sudah siap. Marcus, Fellix, dan Taehyung juga sudah berkumpul. Hingga akhirnya Lian sadar kalau ada yang kurang. Matanya tertuju pada kursi kosong yang selalu ditempati Jungkook. Dan seketika bayangan kejadian kemarin kembali melintas di kepalanya. Lian menunduk lesu tanpa menyadari kalau sedang menjadi pusat perhatian Taehyung dan Marcus.

“Bukankah kau masih marah dengan Jungkook? Kenapa kau sedih karena tidak bisa sarapan bersama dengannya?” Celetuk Marcus tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang dia pegang.

“Kau bosan hidup?” Desis Lian sambil bersiap melempari Marcus dengan apel.

Marcus hanya memeletkan lidahnya. Bukankah menyenangkan menggoda gadis itu saat moodnya berada diantara senang dan sedih.

Lian menatap kursi yang biasa diduduki Jungkook nanar, “apa dia sudah sarapan?” Gumamnya

“Telpon saja kalau kawatir.” Celetuk Marcus lagi.
Lian baru akan melempari Marcus pisang kalau saja Kate tidak menginterupsinya.

“Nona, ini apelnya. Dan juga saya sudah siapkan sarapan untuk tuan muda.” Ucap wanita usia pertengahan abad itu sambil meletakkan sepiring apel yang sudah dipotong-potong dan kotak makan.

“Terimakasih. Ah ya. Bisa tolong antarkan makanan ini ke rumah sakit? Harus kau. Dan pastikan kalau dia memakannya sampai habis. Katakan padanya untuk tidak pulang kalau menolak menghabiskan makanannya.” Cecar Lian yang kemudian dibalas anggukan patuh oleh Kate. Pandangannya beralih pada Marcus yang mencebik.

Ampuni dosa bujang tua itu!

Perhatian Lian teralihkan saat mendengar suara Fellix dan sang ayah yang sedang bercengkrama. Senyumnya makin lebar melihat keakraban ayah dan anak itu. Mereka terlihat saling menyayangi. Pantas saja kalau Fellix ketakutan saat ayahnya masih koma. Lian dapat melihat kalau Fellix sangat bergantung pada Taehyung.

Tak berlangsung lama, Lian sadar akan satu hal. Taehyung baru saja operasi. Lukanya pasti belum pulih benar. Tapi, Fellix sudah duduk di pangkuan pria itu dalam waktu yang lumayan lama. Bagaimana jika luka itu membuka lagi?

“Fellix, kenapa tidak duduk sendiri? Luka ayahmu belum sembuh. Sini, turun dan makan sarapanmu.” Tegur Lian pada Fellix yang masih tampak asik bermain ponsel ayahnya.

Seperti anak ayam, Fellixpun menuruti perkataan Lian dan langsung berpindah tempat duduk menjadi di samping Lian. Taehyung sampai melongo karena melihat putranya yang tiba-tiba menjadi penurut. Fellix tidak suka diperintah. Persis sepertinya.

Begitu Fellix duduk di samping Lian, gadis itu langsung dengan sigap mengambil nasi beserta lauk pauknya ke atas piring Fellix. Pemandangan itu tidak lepas dari mata Taehyung. Taehyung malah seperti melihat ibu yang sedang mengurus anaknya.

Suasana ruang makanpun kini berganti dengan suara denting sendok dan garpu yang saling bersahutan. Tidak ada yang bersuara. Kecuali kalau Fellix mengeluh karena menemukan sayuran di dalam makanannya dan berakhir dengan Lian yang memaksanya. Memang dasarnya sudah keras kepala. Fellix tetap menolak sayuran itu dan akhirnya Lian juga yang memakannya.

“Makannya pelan-pelan, sayang. Tidak ada yang mau mencurinya.” Nasihat Lian sambil membersihkan mulut Fellix.

“Fellix, jaga sopan santunmu.” Taehyung ikut menegur.

“Nona, baru saja saya mendapat kabar.” Ucap pelayan yang tiba-tiba datang dengan nafas terengah-engah.

Kedatangan pelayan itu sontak membuat kegiatan mereka terhenti. Tidak berlaku bagi Fellix. Bocah itu tampak masih asik dengan daging panggangnya. Lian menatap pelayannya heran dan memberi isyarat non-verbal untuk menjelaskan.

“Nona Boulstern kecelakaan. Sekarang berada di rumah sakit.”

To be continue~

Posted in Chapter, Family, Fool For You, Married Life

Fool For You Part 5

Fool For You Part 5

Author : brokenangel

Cast : Lian Jeon – Kim Taehyung – Fellix Kim – Jeon Jungkook – Bae Irene – Park Chanyeol – Park Jinyoung –  Anna Boulstern – Cho Kyuhyun – Lee Donghae – BTS Member – GOT7 Member

Genre : Romance, Action, Honor, Married Life

Rate : PG-15

.

.

.

.

.

Sudah lima hari sejak Lian kembali dari Swiss. Pekerjaannya semakin banyak. Baik Marcus maupun Aiden, dua pria itu juga sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Perusahaan memang sedang melaksanakan projek besar yang mengharuskan Lian ke luar kota untuk memantau pembangunan hotel tersebut. Karena hotel ini akan menjadi hotel bertaraf bintang lima internasional, Lian harus turun tangan untuk ikut serta memantau proses pembangunan tersebut. Dia tipe wanita yang menginginkan segala hal yang dia kerjakan sempurna. Jadi untuk projek pertamanya menjabat sebagai presdir, dia ingin kinerja yang membuat semua orang puas.

Tapi karena kesibukannya tersebut, membuat Lian sering pulang terlambat dan waktu istirahatnyapun tidak efektif. Dia harus bangun pagi untuk menyiapkan sarapan kemudian pulang hampir malam. Awalnya Lian masih bisa menghabiskan waktu dengan Fellix dan masih bisa menunggu Taehyung. Tapi sudah dua hari ini dia tidak punya waktu untuk Fellix dan jarang ke rumah sakit. Dia hanya bertemu Fellix hanya saat pagi dan malam, saat bocah itu akan tidur.

Selama tiga hari bersamanya, Fellix tidak pernah merepotkan. Bahkan bocah es itu bisa akrab dengan Yoongi dan Anna. Dia diantar jemput oleh Yoongi. Kemanapun dengan Yoongi. Fellix akan ke rumah sakit saat pukul tiga dan pulang saat pukul enam. Rutin seperti itu terus karena memang Taehyung yang menyuruhnya.

Seperti hari ini, Fellix baru saja pulang dari rumah sakit bersama Marcus. Bocah lima tahun itu tampak tertidur pulas di samping Marcus yang sedang menyetir. Kata Yoongi tadi, di sekolah Fellix ada acara perlombaan peringatan ulangtahun sekolah. Dan kebetulan Fellix mengikuti lomba lari. Pantas kalau saat ini dia kelelahan.

“Dia terlihat lelah. Tidurnya pulas sekali.” Ucap Marcus pada Lian di ujung telepon.

Tugasnya kali ini bertambah. Di samping menjaga Lian dan membantu Lian mengurus perusahaan, dia juga harus menjaga Fellix karena memang dia yang bertanggungjawab. Dia kadang yang menjemput Fellix dari rumah sakit. Seperti sekarang ini. Karena pekerjaannya sudah selesai, maka dialah yang menjemput Fellix di rumah sakit.

Sebenarnya tadi dia menawarkan diri untuk membantu pekerjaan Lian yang belum selesai. Tapi gadis perfectionist itu menolak dengan alasan idenya sedang mengalir deras. Jadinya, sepupu cantiknya itu masih mendekam di dalam ruang kerjanya sampai sekarang.

“Jangan kawatir. Kawatirkan saja dirimu. Kau sudah terlalu sering pulang malam. Lanjutkan saja pekerjaanmu besok.” Ucap Marcus

Akhir-akhir ini Marcus sering dibuat khawatir karena jadwal pekerjaan Lian yang menumpuk. Tidak adanya pemimpin di perusahaan kemarin, ternyata membuat semua karyawan kelimpungan. Hingga akhirnya Lian datang dan pekerjaan semua diambil alih oleh Lian.

“Dia sendirian. Temannya sedang ada acara keluarga jadi tidak bisa menemaninya.” Ucap Marcus lagi.

Bukan hanya pekerjannya yang bertambah. Tugas Lianpun juga bertambah untuk menjaga ayah Fellix karena Younbi sudah memberinya amanah. Hal itu mengharuskan Lian bolak-balik rumah-kantor-rumah sakit-rumah.

Marcus meletakkan ponselnya di dashboard mobil saat sambungan teleponnya dengan Lian sudah terputus. Dia menatap Fellix yang masih tidur pulas. Besok hari minggu dan di sekolah Fellix ada acara perayaan ulangtahun. Bocah kecil itu juga mempunyai banyak sekali tugas sekolah.

**

Lian memasukkan ponselnya ke dalam tas dan menunggu lift di depannya terbuka. Hari ini dia sendirian ke rumah sakit setelah sebelumnya pulang untuk mandi. Dia juga membawakan makan malam untuk Taehyung. Bukan apa-apa. Hanya saja Lian akan menemani Taehyung sehingga dia juga harus makan malam disini. Lian tidak bisa makan sendirian.

Berkali-kali dia menghembuskan nafas kesal karena lift tidak kunjung terbuka. Dia risih dengan tatapan para perawat dan dokter wanita. Mereka menatapnya dengan tatapan siap menerkam. Pasti mereka mengira kalau dia dan Jungkook menjalin suatu hubungan spesial mengingat kemarin Jungkook yang berjalan dengan menggandengnya dan mencium keningnya di depan umum. Karena kejadian kemarin dia sekarang mempunyai banyak musuh. Mereka salah paham.

Bisa saja Lian menggunakan lift khusus jajaran tinggi rumah sakit karena sebelumnya Jungkook pernah menyuruhnya. Tapi Lian tidak ingin membuat para penggemar Jungkook semakin membencinya. Andai saja Jungkook tahu apa yang mereka lakukan, Lian yakin Jungkook akan langsung marah.

Hah! Lian mendesah kasar. Seharian ini dia benar-benar kehilangan kabar Jungkook. Kakaknya itu sangat sibuk. Bahkan malam ini ada dua operasi yang dilakukan. Lian baru saja melihat jadwal Jungkook dalam data pribadi pria itu di rumah sakit. Lian meretas data rumah sakit demi untuk mengetahui data tentang Taehyung. Mungkin setelah ini Lian harus berterimakasih kepada teman kuliahnya dulu karena berkatnya, Lian bisa memanfaatkan teknologi dengan mudah.

Ting!

Nah, akhirnya lift yang ditunggu Lian terbuka. Keluarlah beberapa pengunjung rumah sakit lain. Lianpun segera masuk ke dalam lift setelah seluruhnya keluar dan menekan angka 26 dimana tempat Taehyung dirawat. Lian menyandarkan tubuhnya pada dinding lift. Sebenarnya dia lelah dan sangat ingin istirahat. Tapi dia masih punya tanggung jawab untuk menemani Taehyung. Dia tidak ingin membuat Younbi kehilangan kepercayaan padanya.

Rasanya sulit jika seseorang sudah menaruh kepercayaan. Lian tipe gadis yang profesional dalam segala hal. Dia pantang membuat orang lain kecewa

Tidak kurang dari satu menit, lift berhenti di lantai 26. Lian berjalan menyusuri koridor sepi khusus paseien VVIP dirawat. Setelah sampai di depan ruang 27, Lian langsung membukanya tanpa mengetuk pintu. Lagipula hanya ada Taehyung. Pemandangan pertama yang Lian lihat adalah ranjang kosong. Pasti Taehyung sedang berada di kamar mandi. Lianpun berjalan menuju sofa dan meletakkan makanan yang dia bawa di atas meja.

“Haruskah aku menginap disini?” Ucap Lian dalam hati sambil menatap langit-langit kamar rawat Taehyung. Lian tidak akan tega membiarkan Taehyung sendirian di rumah sakit. Bagaimanapun juga statusnya masih pasien.

“Lian-ssi, kau datang?” Tanya Taehyung retoris begitu keluar dari kamar mandi. Dia berjalan menuju ranjangnya sambil menggeret tiang infusnya.

Lian langsung menegakkan tubuhnya saat melihat Taehyung sudah keluar dari kamar mandi. Pria itu terlihat lebih mempesona setiap hari. Kini Lian tidak dapat menampik perasaannya. Lian jatuh cinta pada pandangan pertama.

“Kupikir kau tidak akan datang. Fellix baru saja pulang bersama Kyuhyun tadi.” Ucap Taehyung sambil berbaring di atas ranjang. Mempunyai jahitan di perutnya membuat gerakannya sangat terbatas. Meskipun sudah lima hari tapi tetap saja jahitan itu akan beresiko jika dia bergerak banyak.

“Apa akan terdengar lancang kalau aku mengatakan aku kesini untuk menemanimu?” Tanya Lian diiringi tawa garingnya. Dia benar-benar berusaha untuk bersikap layaknya orang yang baru mengenal. Memang kenyataannya mereka baru mengenal. Tapi Lian dituntut untuk bisa akrab dengannya.

Terdengar tawa ringan dari Taehyung. Dan sialnya, tawa itu semakin membuat pria satu anak itu terlihat lebih tampan. Tawa kotaknya benar-benar tidak ada duanya. Pria itu selalu berhasil menyedot seluruh atensi Lian. Dengan itu, Lian harus bisa mengontrol mimiknya agar tidak terlihat bodoh. Seperti kata Marcus. Dia menggurui Lian tentang cara bersikap di depan orang yang disukai. Salah satunya bersikaplah biasa.

“Kupikir kau kesini untuk menjemput Fellix.” Ucap Taehyung kemudian.

“Aku kesini untuk melihatmu, bodoh!” Ucap Lian dalam hati.

“Aku membawakanmu makan malam. Sebenarnya untuk kita karena aku juga belum makan. Itupun kalau kau bersedia memakan masakanku.” Lian mengeluarkan nasi dan lauk pauknya yang dia bawa dan menata di atas meja.

Taehyung menatap makanan yang ditata di atas meja dengan mata berbinar. Dia sangat bosan dengan makanan rumah sakit. Dan melihat makanan yang dibawa Lian membuatnya langsung merasa lapar. Tanpa menjawab ucapan Lian, dia langsung turun dari ranjang rumah sakit dan berjalan menuju sofa dengan menggeret tiang infusnya. Taehyung berharap dia bisa melepaskan benda satu ini, karena kehadirannya membuat Taehyung kesulitan.

“Kau tahu saja aku sedang bosan makanan rumah sakit.” Ucap Taehyung sambil mengambil sumpit di depannya.

“Astaga!” Pekik Lian kaget saat dia melihat Taehyung sudah duduk manis di depannya. Dia bahkan sampai memegang dadanya karena saking kagetnya.

Taehyung tampaknya tidak terlalu mempedulikan ekspresi terkejut Lian. Dia sudah asik memakan makanan yang dibawa oleh Lian. Dia terlihat antusias. Persis seperti orang kelaparan. Sementara itu Lian tampak mendengus sebal karena hampir saja jantungan. Dia menatap pria di depannya sebal karena diabaikan. Pria itu lebih asik dengan makanannya.

Jantung Lian mulai berpacu cepat saat melihat Taehyung dari jarak yang lebih dekat. Dia bahkan bisa mencium aroma maskulin dari Taehyung. Lian bisa melihat dengan jelas hidung Taehyung yang mancung dan rahangnya yang tegas. Bibirnya juga tebal. Benar-benar sangat menggoda. Apalagi dalam posisi sedang mengunyah. Tangan Lian sudah gatal ingin menyentuh wajah Taehyung. Dia bahkan menggenggam sumpitnya dengan erat karena sedang berusaha menahan keinginannya.

“Kau tidak makan?” Tanya Taehyung sambil menatap Lian heran.

Lian dibuat gelagapan saat kedapatan sedang memperhatikan Taehyung. Dan sekarang dia benar-benar terlihat seperti orang bodoh. Saat sedang menjawab, tahu-tahu Taehyung sudah menyodorkan sepotong bola daging kepada Lian dengan sumpitnya. Lian menatap sumpit di depannya dan Taehyung bergantian. Taehyung memberi isyarat dengan matanya agar dia memakannya. Akhirnya dengan ragu Lianpun menerima suapan itu.

Kaki Lian tampak melemas mendapat perlakuan yang tidak bisa dibilang spesial dari Taehyung. Tapi ketahuilah. Sekalipun itu perlakuan kecil asalkan itu dari orang yang spesial, akan terasa sangat spesial untuknya. Dan sekarang Lian melupakan pesan Marcus untuk bersikap biasa di depan Taehyung. Dia malah menatap Taehyung terang-terangan dengan hati yang berbunga-bunga.

“Masakanmu sangat lezat. Lebih lezat dari masakan restoran.” Puji Taehyung sambil menatap Lian dengan senyum lebarnya. Dia mengunyah dan tersenyum bersamaan. Dan itu sangat menggemaskan.

Lian mengedipkan matanya berkali-kali. Apa baru saja Taehyung memuji masakannya? Hati Lian benar-benar sudah memasuki musim semi. Bahkan pujian itu wajar ditujukan untuk wanita yang memang pandai memasak. Lian juga berani bertaruh kalau Taehyung pernah mengatakan hal itu pada mendiang istrinya. Tapi sekali lagi, bagi Lian apapun hal kecil yang diberikan Taehyung terasa sangat berarti untuknya.

“Aku harap itu bukan bualan.” Sahut Lian sambil memfokuskan perhatiannya pada makanan di depannya. Dia tidak ingin menjadi terlihat lebih bodoh karena terus memandangi Taehyung.

“Aku bukan pria pembual.” Ucap Taehyung

“Kau dan Fellix benar-benar mirip.”

“Apa kau memasukkan wortel disini?” Tanya Taehyung dengan nada yang agak tinggi. Wajahnya juga terlihat panik.

“Iya.” Jawab Lian santai. Seolah tidak terganggu dengan wajah panik Taehyung.

Taehyung buru-buru ingin berdiri untuk memuntahkan makanan yang baru saja dia makan. Dia tidak suka wortel. Tapi saat baru saja berdiri, tangannya sudah ditarik lagi sehingga dia kembali duduk. Dia menatap Lian geram. Rasanya sangat mual.

“Kau tidak bisa memuntahkannya. Aku akan terluka.” Ucap Lian dengan ekspresi yang dibuat-buat sedih. Dia berusaha menahan tawanya karena melihat wajah memerah Taehyung. Sekarang dia tahu kalau Fellix tidak suka sayur karena Taehyung juga tidak menyukainya.

Lian menutup mulut Taehyung dengan tangannya. Dia tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. Hanya gerakan spontan. “Kau harus memakannya.” Ucap Lian

Taehyungpun pasrah. Susah payah  dia menelan sayuran orange itu yang menurutnya sangat tidak enak. Senyum di wajah Lian mengembang. Selain karena berhasil menjaili Taehyung, dia juga bisa menyentuh wajah Taehyung. Setelah puas melihat wajah tersiksa Taehyung, Lian melepaskan bungkaman tangannya pada mulut Taehyung dan mengambilkan minum untuknya. Lian menahan senyum gelinya saat melihat ekspresi kesal Taehyung.

Taehyung langsung meneguk habis air putih yang disodorkan Lian. Wajahnya benar-benar merah karena menahan mual. Dia sangat tidak menyukai sayuran lonjong berwarna orange bernama wortel dan sayuran hijau tua menyerupai rumah jamur bernama brokoli.

Menggelikan.

Itulah komentar yang dia berikan setiap melihat dua sayuran itu. Ditambah dengan ekspresi gelinya yang membuat duda anak satu ini terlihat menggemaskan.

Lian kembali sibuk dengan makanannya dan menganggap seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal Lian hanya sedang menghilangkan debaran jantungnya menggila. Dia sampai takut kalau Taehyung akan mendengarnya karena saking kerasnya. Tangannya benar-benar bekerja diluar kendali. Lianpun menyesali tindakan gilanya barusan. Bagaimana bisa Lian menyentuhnyapun masih terus menjadi pertanyaan di kepalanya.

Lian tidak menyukai segala jenis sentuhan dengan orang asing. Laki-laki terutama. Tapi dengan gampangnya dia menjabat tangan Taehyung bahkan sampai menutup mulutnya.

“Apa baru saja aku memakan wortel?” Gumam Taehyung dengan wajah gelinya. Dia masih belum melupakan rupa wortel tadi.

Lian yang mendengarnya mau tidak mau menoleh. Dia terkekeh kecil melihat ekspresi Taehyung. “Apa yang salah dengan wortel? Kalian harus belajar mencintai wortel. Baik untuk mata. Kupikir kau pernah mendapat materi seperti itu dulu saat sekolah.” Timpal Lian sambil kembali fokus pada makan malamnya. Dia tidak ingin jantungnya kembali berulah karena melihat Taehyung terlalu lama. Meskipun hal itu mustahil, karena tubuhnya selalu bereaksi saat berada di dekat Taehyung.

Taehyung mencebik kesal. “Kau berani mengguruiku sekarang?” Ucapnya sewot.

“Kalian berdua memang sama-sama keras kepalanya.” Sahut Lian cuek.

**

“Apa?!” Pekik Marcus saat Kate memberitahunya kalau Lian ke rumah sakit seorang diri.

“Nona tidak mau diikuti pengawalnya. Dia bahkan mengancam kami akan mogok makan selama seminggu.” Jelas Kate lagi.

Marcus mengusap-usap wajahnya kasar. Ini memang bukan pertama kalinya Lian mengancam para pengawalnya agar dia dibebaskan keluar seorang diri. Tapi meskipun begitu tetap ada satu atau dua orang yang mengikutinya dari jarak jauh. Bukan seperti sekarang. Tidak ada satupun yang mengikuti Lian. Wajar memang kalau mereka hanya bisa pasrah setelah mendengar ancaman Lian. Terakhir Lian mengancam akan mengurung diri di kamar juga dia lakukan. Mereka cukup tahu dengan riwayat maag yang diderita Lian.

Marcus langsung mengambil ponselnya dan berniat menghubungi Aiden. Dia tidak bisa menyusul ke rumah sakit karena harus menjaga Fellix.

Hyung! Lian-”

“Arrayo. Aku yang menyuruh mereka untuk tidak mengikutinya.”

“Kau gila?! Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada Lian?”

“Wow! Calm down, dude. Kau tidak perlu kawatir. Aku berada di rumah sakit juga. Menemani eomma check up. Aku akan menjaganya. Lagipula Yoongi juga ada disini.” Terdengar kekehan dari ujung sana, membuat Marcus kesal.

“Kenapa tidak memberitahuku? Aku hampir jantungan.” Sungut Marcus lalu memutus sambungan sepihak.

“Apa makan malam sudah siap?” Tanya Marcus sambil berjalan menuju ruang tengah.

“Sudah, tuan. Nona Jeon yang memasak.” Jawab Kate

“Baiklah. Aku akan membangunkan Fellix dulu.” Sahut Marcus sambil beranjak menuju kamar sementara Fellix.

**

Kedatangan Lian di rumah sakit nampaknya sama sekali tidak mengurangi rasa bosan Taehyung. Setelah acara makan malam bersama mereka, Lian langsung sibuk dengan laptop di depannya. Mengabaikan Taehyung yang hanya diam saja di ranjangnya sambil mengamati Lian. Sudah hampir satu jam ruangan ini sunyi. Siapa yang tidak bosan? Gadis cantik itu bahkan tidak mengalihkan pandangannya dari layar laptop.

Taehyung sebenarnya sangat penasaran dengan apa yang dilakukan Lian. Wajah gadis itu terlihat serius dan kadang keningnya berkerut membuatnya terlihat semakin cantik. Bahkan Taehyung tidak dapat menutupi senyumnya saat melihat kening Lian berkerut. Sangat cantik. Menurut Taehyung, wajah Lian tidak pernah membosankan. Dengan berbagai ekspresi, Lian masih terlihat cantik.

Sudah malam. Dan Taehyung begitu merindukan suasana rumah. Dia sudah sangat bosan berada di rumah sakit. Tapi dokter belum mengijinkan pulang. Seketika itu juga Taehyung ingat perkataan Fellix tadi.

“Aku besok akan bermain piano. Tapi appa tidak bisa melihatku.”

Hati Taehyung mencelos. Besok penampilan perdana Fellix di depan teman-temanya. Taehyung bahkan masih sangat ingat dimana seminggu yang lalu Fellix masih berusaha keras berlatih dengannya. Dia bahkan sudah berjanji akan datang. Tapi kondisinya tidak memungkinkan. Taehyung tidak bisa membayangkan wajah kecewa Fellix meskipun putranya itu sudah berkata tidak apa-apa.

Lain halnya dengan Taehyung yang tengah sedih karena tidak bisa melihat putranya tampil. Lian tampak tersenyum penuh kemenangan saat berhasil meretas CCTV di bagian ruangan Jungkook. Dia ingin tahu apa saja yang dilakukan kakaknya itu jika sedang bekerja. Mempunyai kemampuan di bidang IT nampaknya sangat berguna bagi Lian. Dia bisa menyimpan data rahasia perusahaan sekaligus dapat melakukan hal-hal yang dia inginkan.

Nah! Yang ditunggu muncul. Jungkook masuk ke dalam ruangannya dengan wajah lelah. Senyum Lian makin mengembang. Memangnya hanya mereka yang bisa memata-matainya? Namun tidak lama kemudian, senyum di wajah Lian menghilang berganti dengan raut kaget. Seorang wanita yang… Astaga! Apa pantas dia ke rumah sakit dengan pakaian seperti itu? Apa yang dia lakukan di ruangan Jungkook? Mungkinkah pasiennya? Dan, lihat! Ekspresi Jungkook bahkan terlihat biasa. Apa dia sering mendapat pasien seperti itu?

Lian masih menunggu apa yang akan terjadi. Sejauh ini mereka masih berbincang biasa. Sial! Lian ingin mencakar wajah wanita itu. Tidak bisakah dia bersikap layaknya pasien? Dia cukup sehat untuk dibilang pasien. Dan dia juga cukup sehat untuk…

WHAT THE HELL?!” Pekik Lian sambil menutup mulutnya. 

Taehyung sampai terperanjat kaget karena lengkingannya. Dia mengelus-elus dadanya. Berharap jantungnya tidak lepas. Lalu pandangannya beralih pada Lian yang tampak sangat terkejut. Apa yang terjadi?

Mata Lian membulat lebar dan hampir keluar melihat layar di depannya. Apa seorang pasien bisa dengan seenaknya duduk di pangkuan dokternya? Tanpa pikir panjang, Lian langsung bangkit dari duduknya dan berlari menuju ruangan Jungkook. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak!

Sialan kau, Jeon Jungkook!

Sementara itu Taehyung hanya menatap kepergian Lian dengan tanda tanya besar. Apa yang terjadi? Kenapa dia langsung pergi tanpa membawa barang-barangnya?

**

Brak!

Suara pintu yang dibuka dengan paksa membuat dua manusia yang sedang melakukan hal tidak wajar itu langsung menghentikan aksi mereka dan menoleh ke sumber suara. Di ambang pintu, terlihat seorang gadis dengan nafas ngos-ngosan dan wajah merah padam. Jungkook mematung di tempatnya. Berbeda dengan gadis yang duduk di pangkuannya yang malah menatap Lian sinis. Merasa terganggu.

Lian berjalan cepat mendekati dua manusia itu dan dengan tanpa perasaan, dia menarik tangan wanita yang duduk di pangkuan Jungkook. Tidak peduli dengan kaki wanita itu yang membentur meja. Sementara itu Jungkook hanya bisa terdiam kaku. Dia bahkan tidak bisa bergerak. Persis seperti maling yang tertangkap basah. Dia menatap wajah marah Lian. Dan pertanyaannya adalah, bagaimana Lian bisa ada disini?

Lian menatap wanita seksi di depannya nyalang. Tangannya sudah sangat gatal ingin menjambak rambut wanita itu. Dia hanya bisa mengepalkan tangannya erat. Melihat tatapan meremehkan wanita di depannya membuatnya semakin marah.

“Kau siapa berani masuk ruangan ini sembarangan?” Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut wanita di depan Lian.

Jungkook memejamkan matanya sambil terus berdoa untuk keselamatan ruangannya. Dia tidak menyangka Lian akan datang. Dan menyaksikan adegan tidak wajar. Setelah ini dia akan menghadapi kemarahan Lian.

“Kau siapa berani menginjakkan kaki di rumah sakit ini?” Tanya Lian balik dengan nada sinis.

Jungkook dapat merasakan aura gelap di sekitar Lian. Adiknya itu sangat marah. Dia akan sulit meredakan kemarahan Lian.

“Kau ini siapa? Mengganggu saja!” Tanya wanita itu sewot. Bahkan dia tidak malu sama sekali setelah tertangkap sedang berbuat mesum.

“Mengganggu katamu? Cih! Menjijikan.” Desis Lian sambil tertawa sinis.

“Ya!”

“Yuju-ya, pulanglah. Ini sudah malam.” Jungkook mencoba peruntungan untuk memisahkan Lian dan Yuju, wanita yang sangat terobsesi padanya.

Lian menatap Jungkook sinis. Dia tidak menyangka kakaknya akan berbuat sejauh ini. Dia kecewa. Dan Jungkook hanya bisa menelan ludah pahit saat melihat tatapan mematikan Lian. Jungkook tidak lupa bagaimana menakutkannya Lian saat marah.

“Kau membela gadis pengganggu ini?!” Ucap Yuju sambil menunjuk Lian.

Lian tidak bisa menahan emosinya lebih lama. Dia memegang tangan Yuju dan memelintirnya ke belakang. Belum cukup dengan itu, dia menjambak rambut Yuju. Mengabaikan teriakan kesakitan dari wanita jalang ini. Jungkook menelan ludah kasar. Dia tidak bisa mencegah Lian karena dia tahu akibatnya. Adiknya itu tidak pernah main-main saat marah. Ini buktinya.

“Tidakkah kau bercermin dulu sebelum kesini? Apa kau yakin tujuanmu adalah ke rumah sakit ini? Apa kau berniat menjual tubuhmu untuk dokter-dokter disini?” Tanya Lian bengis. Dia mencengkram rambut Yuju dengan kuat.

“Lepaskan aku!” Teriak Yuju kesakitan.

“Kau hanya wanita rendahan. Bahkan sampahpun masih berguna daripada dirimu.” Desis Lian sambil mendorong Yuju dengan keras.

Yuju mengelus-elus lengannya yang sakit dan merapikan rambutnya. Dia menatap Lian dengan tajam. Tidak terima dengan semua hinaan Lian.

“Jangan pernah tunjukkan wajahmu di depanku! Pergi!” Teriak Lian

Yuju baru akan membalas perbuatan Lian saat Jungkook sudah menahannya dan memberi isyarat agar segera pergi. Dengan wajah kesal, Yujupun keluar dari ruangan Jungkook. Meninggalkan Jungkook yang diselimuti rasa takut. Dapat Jungkook rasakan aura mencekam di sekitarnya. Dia bahkan tidak berani menatap Lian.

Lian berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Dia baru merasakan nyeri di kakinya karena kesleo saat berlari tadi. Dia bahkan mengabaikan tatapan bingung para pengunjung rumah sakit dan perawat di luar sana. Benar, kan, dugaannya? Terjadi sesuatu yang tidak wajar. Kepala Lian pening karena terlalu jauh berlari. Selain itu dia kembali teringat saat dia hampir dilecehkan temannya di Swiss dulu.

Tanpa berkata-kata, Lian langsung keluar dari ruangan Jungkook. Dia sangat marah dan kecewa. Tidak menyangka kalau Jungkook akan berbuat sejauh itu. Meskipun dia tahu wajar bagi seorang yang sudah dewasa berbuat seperti itu mengingat dia tinggal di negara bebas. Tapi tidak bisakah mereka melakukan di tempat yang wajar? Mata Lian sudah berkaca-kaca karena saking kecewanya dengan Jungkook. Dia mengabaikan rasa sakit di kakinya.

Baby!” Jungkook mengejar Lian yang sudah lebih dulu pergi.

Mereka saat ini menjadi pusat perhatian semua orang yang berada disitu. Seorang presdir rumah sakit ini mengejar seorang gadis yang diduga kekasihnya. Jungkook berhasil menggapai tangan Lian. Dengan segala keberaniannya dia membalikkan tubuh Lian. Dia sadar sudah membuat adiknya ini kecewa. Diapun menyesali perbuatannya. Terlepas dari bagaimana Lian bisa tiba-tiba datang dengan wajah marah, Jungkook lebih takut jika tidak mendapat maaf dari Lian.

Lian menepis tangan Jungkook dengan kasar. Tidak peduli dimana dia sekarang. Dia menatap Jungkook tajam. “Kau… Memalukan.” Desis Lian dengan bibir yang bergetar.

Hati Jungkook bagai teriris mendengar ucapan Lian. Dia memang salah. Lian berhak marah. Tapi Jungkook tidak bisa melihat adiknya menangis. Apa lagi dia penyebabnya.

“Maafkan aku. Aku hanya-”

“Jangan diteruskan! Aku muak!” Potong Lian cepat. Dia bahkan menutup kedua telinganya dengan tangan.

Para pengunjung, perawat, dan dokter yang melihat mereka hanya saling berpandangan penasaran. Tapi tidak sedikit dari mereka yang kesal dengan Lian karena sudah berbuat kasar dengan Jungkook. Beberapa dari mereka beranggapan kalau mereka baru saja putus dan Lian tidak terima. Beberapa juga beranggapan kalau Lian hanya mencari perhatian. Intinya, mereka semua memojokkan Lian.

Jungkook menghela nafas panjang. Dia tidak peduli menjadi tontonan orang-orang. Mendapat maaf Lian lebih penting. Dia berusaha mendekati Lian namun Lian langsung mundur. Lagi-lagi Jungkook harus menelan pil pahit saat melihat penolakan dari Lian.

“Jangan mengejarku.” Ucap Lian sambil berjalan mundur.

Ucapan Lian bagaikan ultimatum untuknya. Jungkook hanya diam di tempatnya. Melihat Lian yang semakin menjauh. Namun baru beberapa langkah, Lian berhenti dan menatap kepada segerombolan perawat dan dokter wanita yang menatapnya sinis.

“Jangan kawatir. Dia kakak kandungku. Kalian tidak perlu menatapku seperti itu karena mengira sudah mengambil pria pujaan hati kalian. Memuakkan.” Ucap Lian dengan lantang. Setelah itu dia melanjutkan jalannya.

Semua orang yang mendengar tampak terkejut. Tidak menyangka kalau gadis yang mereka kira kekasih Jungkook adalah adik kandungnya. Perasaan bersalah langsung menyelimuti hati mereka. Bahkan mereka hanya menunduk karena takut Jungkook akan marah. Aiden yang hanya melihat dari jauh akhirnya mendekati Jungkook yang masih menatap kepergian Lian dengan nanar. Aiden tidak tahu apa yang terjadi sampai Lian bisa semarah itu. Tugasnyapun akan bertambah untuk membuat hubungan kakak-adik ini membaik.

Aiden menepuk pundak Jungkook. Membuat Jungkook sedikit terkejut. Dia menatap Aiden sendu.

“Penggemarmu sangat menakutkan.” Ucap Aiden mencoba mencairkan suasana.

Jungkook menghela nafas berat sambil menundukkan kepalanya. “Dia sangat marah.” Bisiknya

“Tidak akan lama.” Sahut Aiden tenang.

**

Taehyung terkejut saat Lian tiba-tiba masuk. Dia bahkan masih duduk di depan laptop Lian. Karena penasaran dengan apa yang dikerjakan Lian, akhirnya dia memilih untuk melihatnya sendiri. Namun dia malah dibuat bingung saat melihat tampilan layar yang menunjukkan tayangan CCTV di suatu ruangan. Yang membuatnya kaget adalah saat melihat adegan tidak wajar di dalamnya. Hingga akhirnya Lian datang dengan wajah marah dan menyerang wanita itu.

Taehyung melihat semuanya. Bagaimana marahnya Lian pada wanita itu. Bahkan dia sempat takut melihat wajah mengerikan Lian saat marah. Fokus Taehyung kembali pada Lian yang sedang bersandar pada pintu sambil mengatur nafasnya. Taehyung tidak tahu apa yang membuat Lian semurka itu saat melihat Jungkook bercumbu dengan wanita tadi. Tapi melihat bagaimana Lian sekarang membuat dia berkesimpulan kalau pasti ada alasan besar kenapa Lian marah.

Lian menghapus air matanya yang keluar melalu sudut matanya. Apa yang dia lihat tadi sangat melukai hatinya. Seharusnya Jungkook tidak seperti itu. Jungkook yang dia kenal adalah pria baik-baik. Tapi apa yang dia lihat tadi? Mengecewakan. Kalau dia tidak datang, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Lian tidak sanggup membayangkan. Dia menatap Taehyung yang juga sedang menatapnya. Pasti pria itu sudah tahu apa yang dia lakukan.

Lian berjalan gontai menuju sofa dengan langkah pincang. Baru terasa nyeri di kakinya karena kesleo tadi. Dia berusaha mengabaikan tatapan Taehyung. Gadis Kim itu merebahkan tubuhnya di sofa. Matanya memanas. Air matanya mendesak ingin keluar.

Benarkah tadi itu Jungkook? Kakaknya yang selalu dia banggakan?

Lian menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tidak peduli kalau Taehyung menatapnya bingung. Air matanya tidak bisa dia tahan lagi. Di sampingnya, Taehyung menatap Lian prihatin. Dia bingung harus berbuat apa. Hal ini sudah bukan lagi urusannya. Tapi melihat gadis di sampingnya menangis membuatnya ikut merasakan sedih.

“Lian-ssi? Kau baik-baik saja?” Tanyanya hati-hati. Tangannya sudah terangkat hendak menyentuh pundak Lian, namun dia urungkan. Apa haknya menyentuh Lian?

Tidak ada jawaban. Oke. Taehyung paham bagaimana perasaan Lian sekarang. Diapun memilih diam dan menunggu sampai gadis ini tenang. Aneh. Taehyung tidak pernah sepeduli ini dengan gadis yang baru saja dia kenal. Tapi Lian merubahnya menjadi sosok yang banyak bicara. Dia juga merasakan perasaan aneh saat sehari saja tidak melihat Lian. Puncaknya adalah detik ini. Dia merasa sedih melihat Lian menangis.

Hal ini tidak boleh terjadi. Taehyung berusaha menyangkal perasaan yang selalu mengganggunya. Dia tidak boleh jatuh cinta pada Lian.

.

.

.

Tbc~

Posted in Chapter, Hurt, Married Life

I Hate You, I Love You #2


I Hate You, I Love You #2

Author : brokenangel

Cast : Kim Lian, Park Chanyeol, Byun Baekhyun, Kim Taehyung, Jung Eunji

Category : Hurt, Married Life, Chapter

Rate : PG-17

.

.

.

.

.

Lian terbangun dari tidurnya dengan keringat dingin di keningnya. Nafasnya terengah-engah dan tangannya gemetar. Kenangan buruk itu kembali muncul di tidurnya. Bukan hanya dua kali. Tapi hampir setiap malam kenangan buruk itu muncul dalam tidurnya. Membuatnya takut untuk tidur dan memilih untuk terjaga. Sudah hampir sebulan ini mimpi itu selalu mengganggunya. Dan hal itu membuat Lian harus kembali mengingat kenangan pahit yang membuatnya kehilangan ibunya.

Lian berusaha mengatur nafasnya yang mulai tidak beraturan. Dia meminum air putih yang selalu disediakan di atas nakas untuk menenangkan dirinya.

Kejadian itu. Tangis Anna. Teriakan kemarahan Anna. Bentakan ayahnya. Tamparan ayahnya pada Anna. Lian ingat semuanya setelah sekian lama berusaha dia lupakan. Semua yang dilakukan Jeha pada ibunya hari itu tidak bisa Lian lupakan. Rasa nyeri selalu menggerogoti hatinya setiap kali mengingat tangisan Anna yang menyakitkan.

Wanita selingkuhan Jeha dan anaknya. Mereka penyebab keributan itu. Kedatangan mereka membuat Anna menangis dan mendapat tamparan dari Jeha. Lian mencengkram rambutnya erat saat kembali ingat dimana ayahnya lebih memilih wanita itu daripada Anna, sehingga Anna meninggalkannya. Selamanya.

Lian tidak tahu terbuat dari apa hati Anna. Saat Jeha sudah menyakitinya, bahkan dia masih sempat berpesan pada Lian agar tidak membenci pria yang membuatnya menangis. Tidak. Lian tidak bisa menjalankan pesan itu. Lian tidak bisa memaafkan mereka yang menyakiti Anna hingga akhirnya Anna meninggalkannya sendirian. Lian membenci mereka melebihi apapun. Kesalahan mereka tidak akan pernah termaafkan.

Eomma harus pergi jauh.

Seketika itu juga air mata Lian tumpah. Ibunya memang pergi jauh. Sangat jauh hingga sulit untuk dia gapai lagi. Betapa bodohnya Lian yang saat itu membiarkan Anna pergi. Tapi apalah daya seorang Kim Lian yang baru berumur tujuh tahun? Dia tidak pernah berpikir sejauh itu. Dia tidak pernah mengira kalau Anna akan pergi dari dunia ini.

Sejak saat itu hidup Lian benar-benar berubah. Tidak ada lagi Kim Lian yang manja, suka merajuk, pemarah, dan jail. Kim Lian menjadi sosok yang pendiam, kejam, misterius, pembangkang, dan dingin. Lian merasa hidupnya tidak berguna lagi karena mataharinya sudah pergi. Tidak ada lagi yang bisa meneranginya. Lian kehilangan segalanya. Ibunya, ayahnya, dan kebahagiannya.

Detik saat ibunya dinyatakan meninggal, saat itu juga Lian tidak pernah menganggap ayah dan keluarga barunya. Lian sangat membenci mereka. Seumur hidup akan selalu membenci mereka. Mereka merenggut kebahagiaannya.

Setelah dirasa dirinya lebih tenang, Lian turun dari ranjangnya. Sedikit melirik ke arah jam dan mendapati baru pukul setengah enam. Masih ada waktu untuk menyiapkan sarapan dan keperluan untuk sang suami. Lian menggelung rambutnya asal dan bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya.

**

“Nyonya? Kenapa Nyonya berada disini? Biarkan saya saja yang memasak untuk sarapan.” Rose terlihat kaget saat melihat majikannya yang sudah sibuk memasak di dapur.

Rosepun langsung menghampiri Lian dan membantu majikannya memasak. Lian sedang sakit dan Rose tidak mau mengambil resiko dipecat Chanyeol karena membiarkan Lian memasak. Rose adalah satu-satunya pelayan yang berada di satu rumah dengan Lian dan Chanyeol. Sedangkan pelayan lain tinggal di rumah yang terletak di belakang rumah ini.

Lian membiarkan Rose membantunya membuatkan menu sarapan untuk Chanyeol dan Baekhyun. Lian baru tahu kalau Baekhyun menginap disini karena dia tadi melihat kakak tirinya itu berada di ruang gym.

Setelah masakannya selesai, Lian kembali menuju kamarnya dan Chanyeol. Biarkan Rose yang menata makanan-makanan itu di meja makan. Tugas Lian saat ini adalah menyiapkan pakaian kerja Chanyeol. Setelah itu dia akan mandi. Rutinitasnya setiap pagi. Sebenci apapun Lian pada Chanyeol, Lian tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang istri.

Sesampainya di kamar, dia masih melihat suaminya yang masih tidur. Berusaha mengabaikan keinginannya untuk memandangi wajah Chanyeol lebih lama, Lian berjalan menuju walk in closet. Mencarikan pakaian kerja yang akan digunakan suaminya. Setelah siap, Lian keluar dengan membawa pakaian yang akan dia pakai sendiri dan masuk ke kamar mandi.

Tidak sampai dua puluh menit, Lian keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih fresh. Kemudian Lian berjalan menuju jendela kamarnya dan membuka tirainya. Membuat udara pagi hari masuk ke dalam kamarnya. Lian memejamkan matanya saat angin pagi menerpa wajahnya. Salah satu hal yang Lian suka. Udara di pagi hari. Dimana belum tercemar apapun.

“Kau sudah bangun?” Pertanyaan retoris itu keluar dari sosok yang baru saja bangun.

Lian tidak berniat untuk berbalik. Tepatnya berusaha untuk menahan keinginannya untuk berbalik. Lian tidak bisa melihat wajah Chanyeol. Dia akan ingat semua rasa sakit yang pernah dia rasakan sampai saat ini. Kemudian dia mendengar suara langkah kaki mendekatinya dan berhenti tepat di belakangnya. Sekon selanjutnya Lian sedikit terkejut saat merasakan sebuah tangan melingkar di perutnya. Dia menatap tangan yang melingkari perutnya itu dengan tatapan nanar.

Chanyeol memang tidak pernah tahu diri. Sudah tahu kalau Lian membencinya dan tidak suka disentuh, tapi Chanyeol tetap melakukannya. Larangan Lian malah seperti perintah untuk Chanyeol. Si keras kepala dan pemaksa. Wajar saja banyak pesaing bisnis yang selalu kalah dalam tender perusahaan. Tidak ada yang bisa mengalahkan mulut kejam dan otak brilian Chanyeol di Seoul. Semua orang tahu kalau Chanyeol adalah pebisnis muda yang tidak main-main dengan kecerdasaannya. Bukan hal yang sulit bagi Chanyeol untuk membuat sebuah perusahaan bangkrut.

Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu. Nampaknya Chanyeol sangat menikmati memeluk istri dari belakang sambil sesekali menciumi leher Lian yang wangi bunga mawar. Bau yang selalu membuat Chanyeol ketagihan. Dan membuatnya gila karena gairahnya yang selalu naik setiap kali mencium wangi istrinya. Chanyeol tidak tahu kalau Lian tengah menahan gejolak besar untuk mendorongnya menjauh dari tubuhnya. Mungkin Lian akan lebih puas kalau Chanyeol jatuh dari lantai dua rumah ini. Tapi sekali lagi. Tubuh Lian menginginkan sebaliknya. Lian harus mengutuk dirinya yang juga menikmati suasana intim pagi ini.

Cukup! Lian tidak bisa lagi berlama-lama lagi dengan posisi seperti ini. Lian masih waras. Harga dirinya bisa jatuh.

Lian melepas tangan Chanyeol yang melingkar di perutnya dan berbalik. Sedikit mundur karena dia tahu jarak mereka sangat dekat. Dia menatap Chanyeol datar. “Sarapan sudah siap. Sebaiknya kau mandi dan turun.” 

Lian baru akan melangkah pergi kalau saja Chanyeol tidak menahan lengannya. Dia menepis tangan Chanyeol yang memegang lengannya dan menatap suaminya sinis. Tapi nampaknya tatapan sinis itu tidak berpengaruh pada Chanyeol. Pria jangkung itu malah memegang kening Lian dan sedetik kemudian sebuah senyum terbit dari bibir tebalnya.

Hampir saja pertahanan Lian runtuh saat melihat senyum itu. Senyum yang dulu selalu membuatnya rajin berangkat ke kampus. Senyum yang selalu menjungkirbalikkan dirinya. Dulu sebelum fakta menyakitkan itu dia ketahui.

“Kau sudah baikan.” Ucap pria jangkung itu. Tangan Chanyeol berpindah ke pundak Lian. Tatapannya tertuju pada mata Lian. Detik selanjutnya, tubuh Lian sudah berada dalam pelukan hangat Chanyeol.

Lian masih diam mematung tanpa tahu harus berbuat apa. Lian tidak pernah suka sentuhan fisik sejak dia mengetahui kenyataan pahit itu. Hanya dengan Chanyeol. Lian tidak pernah mengijinkan pria itu menyentuhnya. Lian akan selalu menolak bahkan mengeluarkan kata pedas saat Chanyeol menyentuhnya. Tapi… Hari ini? Tubuh Lian seolah terkunci dalam pelukan suaminya. Organ geraknya seolah mati. Otak dan tubuhnya sangat berlawanan. Apa tubuhnya sedang melakukan pemberontakan?

Anggap saja Lian wanita munafik. Nyatanya saat ini tangannya sudah terangkat untuk membalas pelukan Chanyeol. Namun berhenti sebelum benar-benar menyentuh baju Chanyeol. Tangannya terkepal erat. Lian benar-benar sedang berperang dengan hatinya. Tidak. Lian tidak akan semudah itu luluh.

Biarkan aku tersiksa dengan rasa rinduku.

Nyatanya Lian benar-benar sangat membenci Chanyeol sehingga untuk menatap, mendengarkan, apalagi menyentuh suaminya saja dia tidak mau. Jangan lupakan lubang di dada Lian yang semakin menganga lebar karena pria itu.

“Jangan lakukan sesuatu yang berbahaya seperti kemarin lagi. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau kau kenapa-napa.” Bisik Chanyeol sambil mengelus-elus rambut Lian.

Lian menghitung dalam hati. Jika dalam hitungan kelima Chanyeol tidak melepas pelukannya, Lian benar-benar akan mendorong Chanyeol hingga jatuh. Atau justru membalas pelukannya? Kedua opsi itu bukan ide yang baik. Sedangkan hitungan Lian sudah sampai pada tiga.

Empat.

Lima.

Tepat pada hitungan kelima Chanyeol melepas pelukannya. Entah apa yang dirasakan Lian. Hampa dan lega secara bersamaan.

“Aku akan segera turun dan kita sarapan bersama.”

Itu perintah! Kemudian pria itu masuk ke dalam kamar mandi dengan meninggalkan Lian yang masih sibuk dengan pergolakan batinnya. Apa berenang selama empat jam di musim dingin sudah membuat otaknya geser? Lian yakin dia tidak pernah merasa sekacau ini saat ditinggal Chanyeol. Bahkan hanya untuk mandi. Lian masih merasakan hampa saat tiba-tiba Chanyeol melepas pelukannya.

Ini buruk. Apa sekarang hatinya mulai luluh? Atau… Luka itu sudah sembuh?

**

Suasana sarapan pagi ini masih sama seperti biasa. Sunyi. Kuburanpun tidak sesunyi itu. Setidaknya disana ada burung-burung dan beberapa peziarah atau para hantu yang berkomunikasi. Suasana tegang layak ditambahkan untuk mendeskripsikan bagaimana suasana di ruang makan itu. Setelah tiga tahun lamanya, Lian kembali berada satu meja makan dengan kakak tirinya. Terakhir mereka berada dalam satu meja makan, restoran pula, berakhir dengan aksi Lian membanting sebuah piring dan menyiramkan minuman ke wajah ibu tirinya. Belum sampai disitu. Lian menjatuhkan meja yang sudah berisi makanan makan malam mereka.

Lalu, apa yang akan terjadi pada ruang makan kali ini? Akankah Lian membakar meja?

Para pelayan menjadi saksi bisu bagaimana mencekamnya suasana ruang makan. Mereka selalu was-was dengan segala pergerakan Lian. Takut kalau tiba meja makan itu hancur tiba-tiba. Mereka tahu kalau nyonya mereka itu tidak akan repot-repot menyuruh orang untuk menghancurkan sebuah ruangan. Sudah ada bukti konkretnya. Perpustakaan pribadinya misalnya. Dalam hitungan menit, perpustakaan itu hancur dengan rak-rak yang sudah berjatuhan dan buku tersebar dimana-mana karena sebuah berita yang dia dapat bahwa Chanyeol membawa seorang jalang ke apartemennya.

Tangan Lian memang selalu bertindak lebih dulu daripada otak dan mulutnya.

“Aku akan ke Berlin.” Suara Baekhyun memecah kesunyian ruang makan itu.

Entah dengan siapa pria itu berbicara. Tapi Lian tidak tolol untuk tahu maksud kakak tirinya mengatakan itu. Tentu saja untuk memberitahunya. Lian pura-pura untuk tidak mendengarnya dan melanjutkan kegiatan makannya.

“Kenapa tiba-tiba?” Chanyeol bertanya.

Kenapa tidak dari dulu?

Dad sakit dan aku harus mengurus perusahaannya disana.” Jawab Baekhyun sambil melirik Lian. Berharap adik tirinya mengatakan sesuatu.

“Kenapa harus kau?” Chanyeol bertanya lagi.

Lian hampir saja memaki Chanyeol yang terlihat tidak rela kalau Baekhyun pergi. Kalau tidak rela ikut saja dan jangan kembali! 

“Karena hanya aku anak laki-lakinya.” Jawab Baekhyun

Ck. Lian berdecak cukup keras. Berhasil membuat Chanyeol dan Baekhyun menatapnya.

“Aku tidak yakin kalau kau hanya punya dua ayah. Apa ibumu memang mempunyai hobi menikahi pria beristri?” Ucap Lian dengan nada datar.

“Lian!”

Ucapan Lian sangat menohok hati Baekhyun. Dia memang sering mendapat kata-kata kasar dari Lian. Tapi tetap saja Baekhyun merasa sakit hati. Baekhyun tahu kalau Lian sangat membencinya dan ibunya. Bahkan dia sendiripun membenci kenyataan kalau kedatangannya dan ibunya malah membuat hidup Lian berantakan hingga Anna meninggal.

Tapi tidakkah sudah terlalu lama? Tidakkah pintu hati Lian terbuka untuk menerimanya dan ibunya? Baekhyun sangat berharap suatu hari dia bisa melihat adik tirinya itu tersenyum karenanya.

Lian menyudahi kegiatan makannya. Padahal makanannya belum sepenuhnya habis. Dia hanya terlalu muak berada satu meja dengan Baekhyun.

“Sarapanmu belum habis. Kau mau kemana?” Tanya Chanyeol sambil berdiri dan menahan tangan Lian.

Dengan kasar Lian menepis tangan Chanyeol. Dia menatap Chanyeol penuh kebencian. “Aku cukup kenyang untuk melihat wajahnya.” Jawab Lian

Lagi-lagi Baekhyun hanya bisa menahan nyeri di dadanya mendengar kata-kata pedas Lian. Dia menundukkan kepalanya menatap sisa sarapannya.

“Aku akan pergi sekarang.” Baekhyun kembali bersuara sambil berdiri. Dia tidak mungkin membiarkan adiknya yang masih sakit tidak menghabiskan sarapannya.

“Habiskan sarapanmu. Kau baru saja sembuh.”

“Sejak kapan kau peduli padaku? Bukankah kau hanya peduli dengan jalang-jalangmu di luar sana?” Balas Lian sinis.

Para pelayan yang paham akan situasi perlahan meninggalkan area ruang makan. Sadar kalau mereka tidak punya hak untuk tahu masalah rumah tangga majikan mereka.

Chanyeol mengurut pelipisnya yang terasa berdenyut. Menghadapi Lian memang harus sabar. Kalau Chanyeol terpancing sedikit saja, percayalah akan ada perang dunia ketiga. Kemudian dia kembali menatap Lian dengan tatapan lembut. Chanyeol sudah bertekad untuk memperbaiki hubungannya dengan Lian.

“Sekali ini saja turuti kataku. Kau harus habiskan sarapanmu. Aku dan Baekhyun akan berangkat sekarang.” Chanyeol menangkup wajah Lian. Suaranya bahkan sangat lembut.

Mendengar suara halus Chanyeol membuat Lian nyaris terlena. Dia mengangkat wajahnya menatap Chanyeol. Kenapa jantungnya berdenyut-denyut? Lian tidak mungkin luluh semudah itu.

“Aku akan pulang tepat waktu dan jangan lewatkan makan siangmu.”

Jangan lakukan ini, kumohon!

Lian memalingkan wajahnya ke arah lain agar tidak semakin jatuh pada tatapan Chanyeol. Lian yakin ada yang tidak beres dengan dirinya. Ditengah perang batinnya, Lian merasa kepalanya ditarik dan selanjutnya dia dapat merasakan bibir Chanyeol yang mendarat di bibirnya. Chanyeol sedikit melumat bibirnya sebelum akhirnya melepas ciuman singkat itu.

“Jaga dirimu baik-baik. Aku mencintaimu.” Bisik Chanyeol sambil mengusap pipi Lian dengan ibu jarinya.

Chanyeol dan Baekhyunpun pergi meninggalkan Lian sendiri di ruang makan. Di tempatnya, Lian masih diam mematung. Tangannya terangkat untuk memegang bibirnya yang baru saja dicium Chanyeol. Rasa manis itu masih meninggalkan sisa. Lian sedikit menyesal karena ciuman itu hanya sebentar.

Lian terduduk lemas di kursinya. Jika bertanya apa dia baik-baik saja, tentu saja jawabannya tidak. Kenapa Lian kembali merasakan saat dimana Chanyeol mencuri ciuman pertamanya? Jantungnya berdebar kencang. Kepalanyapun pening bukan main merasakan sisa-sisa sensasi yang diberikan Chanyeol beberapa menit yang lalu.

Rindu memang menyebalkan. Bisakah aku membuang harga diriku kali ini saja?

Lian menenggak habis air putihnya. Berusaha berpikir normal dan menghilangkan perasaan janggal.

“Nyonya?” Rose tiba-tiba saja sudah di samping Lian dan membuat wanita itu kaget.

Rose menggigit bibirnya takut. Takut mendapat amukan dari nyonyanya. Namun kemudian dia kembali memberanikan diri untuk bertanya, “Apa nyonya baik-baik saja? Ingin saya panggilkan dokter?” Tanyanya hati-hati.

“Tidak. Aku ingin pergi ke suatu tempat.” Jawab Lian sambil bangkit dari duduknya.

“Baik, nyonya. Aku akan menyuruh Landon bersiap-siap.” Sahut Rose dan langsung berlalu begitu saja untuk menemui Landon, supir sekaligus pengawal pribadi nyonyanya.

**

Lian berjalan sendiri menyusuri jalanan yang di kanan dan kirinya ditumbuhi pohon-pohon cemara yang sedang gugur. Di tangannya memegang sebuah bunga tulip putih. Udara dingin tidak menjadi penghalang bagi Lian untuk berjalan menyusuri jalanan kecil ini. Tidak akan ada halangan bagi Lian untuk mengunjungi makam ibunya. Mataharinya.

Kali ini Lian sendirian. Tidak ada Landon yang mengikuti di belakangnya. Lian memang menyuruh Landon untuk menunggu di parkiran karena dia benar-benar membutuhkan waktu pribadi dengan Anna.

Lian tidak pernah berkunjung ke makam ibunya kalau bukan saat hari ulangtahun Anna. Hari ini pertama kalinya Lian datang diwaktu yang bukan selalu Lian tetapkan. Banyak sekali yang ingin Lian katakan. Dengan siapa lagi dia bisa bercerita masalahnya kalau bukan dengan Anna? Lian sudah terlalu terbiasa bercerita seputar kehidupannya pada Anna. Hanya dengan Anna dia bisa jujur.

Kaki Lian berhenti di depan sebuah pohon yang di bawahnya terdapat nisan dengan nama ibunya. Lian meletakkan bunga yang tadi dia bawa di atas nisan itu. Tangannya mengelus-elus nisan Anna. Berkali-kali Lian menghela nafas panjang. Matanya mulai berkaca-kaca saat membaca nama ibunya di atas nisan itu.

“Sayang, Eomma ingin kau menjadi bintang.”

“Kenapa, Eomma? Aku ingin seperti Eomma. Menjadi matahari.”

“Kau tahu? Bintang itu tata surya paling indah. Dia bisa memancarkan cahaya sendiri. Tidak seperti bulan yang membutuhkan bantuan matahari untuk bersinar. Dan manusia juga selalu meminta harapan pada bintang saat dia jatuh.”

“Tapi bukankah bintang tidak sering muncul?”

“Dia hanya tertutup awan. Percayalah, sayang. Bintang tidak akan pernah meninggalkan langitnya.”

“Kalau begitu aku mau menjadi bintang!”

Potongan percakapan Lian dengan Anna pada suatu malam itu tiba-tiba melintas dalam kepala Lian. Lian merasa sangat bodoh saat ini. Dia paham maksud ungkapan kiasan Anna malam itu sekarang.

“Seharusnya aku menjadi bulan saja. Mungkin dengan begitu Eomma tidak akan pergi.” Lirih Lian sambil mengusap nisan Anna.

Lian mendongakkan kepalanya, berusaha menghalau air matanya yang sudah mulai mendesak ingin keluar. Kala itu Lian masih kecil hingga tidak berpikir sejauh itu tentang kiasan yang diberikan Anna. Lian bukan lagi bintang. Lian sekarang bukan apa-apa. Bukan bintang yang bisa bersinar sendiri dan menjadi tempat manusia menaruh harapan. Bukan meteor yang kata orang indah. Bukan juga bulan yang bersinar dengan bantuan matahari karena  mataharinya sudah lama pergi.

“Eomma…” Bisik Lian. Bahkan suaranya sangat pelan. Lebih mirip dengan bisikan angin 

Lian menghela nafas panjang. Dia bingung harus memulai ceritanya dari mana. Hampir lama Lian terdiam hingga akhirnya dia kembali membuka suara. “Apa yang harus aku lakukan? Aku sangat membencinya, tapi aku juga merindukannya. Eomma tahu rasanya? Sangat sakit, Eomma. Aku selalu ingat saat melihat dia pulang dengan bekas lipsctik di kemejanya dan bau parfum wanita lain. Aku merasa tidak berharga sebagai wanita dan istri.” Lian berhenti sejenak. Mencoba mengatur nafasnya yang semakin memburu.

Dia juga tidak mau repot-repot menghapus air matanya. Toh akan keluar juga pada akhirnya. Rasa sakit di dadanya memang selalu membuatnya tak berdaya. Semua ingatan kesakitan akibat suaminya kembali melintas di kepalanya. Lian memejamkan matanya dan berusaha mengatur deru nafasnya 

“Eomma, setiap kali melihat dia pulang dengan bau parfum wanita, aku ingat kejadian sore itu. Aku ingat saat wanita itu tiba-tiba datang dan membuat Eomma menangis. Aku ingat…” Lian menghentikan ucapannya karena suaranya tersendat isakannya. Lian membekap mulutnya. Berusaha menahan agar isakannya tidak terdengar.

Lian tidak bisa melanjutkan ceritanya. Kepalanya menunduk dengan tangan yang mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Lian rasa dia sudah mati rasa. Tapi nyatanya dia masih bisa merasakan sakit saat ingat tangisan Anna sore itu dan kelakuan suaminya. Dadanya sesak seperti terhempit beban berat. 

Lian pikir cinta akan membuat hidupnya kembali seperti dulu. Dia pikir bersama dengan orang yang dia cintai akan selalu membuatnya selalu tersenyum. Dia pikir imajinasinya tentang sosok pangeran berkuda putih yang membawa putrinya ke kehidupan indah akan menjadi kenyataan. Tapi kenapa justru perasaan cinta ini membuat hidupnya lebih kelam. Menyiksanya perlahan hingga rasanya mau mati.

Jadi, apa seperti ini yang Eomma rasakan dulu?

Dari kejauhan, tampak seorang pria paruh baya yang juga membawa tulip putih melihat tangis kesedihan Lian. Dia adalah Kim Jeha. Sosok yang dulunya menjadi pahlawan bagi Lian dan sekarang berubah menjadi sumber kesakitan Lian. Jeha turut menangis melihat betapa menderitanya hidup putri kecilnya akibat kelakuan bejatnya. Entah sudah berapa banyak kesedihan yang Lian rasakan karenanya. Jehapun bersedia untuk tidak dimaafkan karena kesalahannya begitu besar.

**

Suara denting piano itu semakin terdengar jelas di telinga Lian, membuat Lian terpaksa membuka matanya. Tidak ada siapapun di taman ini kecuali dia. Tapi kenapa ada suara piano yang dimainkan? Lianpun akhirnya bangkit dari duduknya dan mencari sumber suara tersebut. 

Semakin lama suara itu semakin jelas. Bunyi yang dimainkan sangat indah dan terasa emosional. Sebenarnya siapa yang memainkan music seindah indah ini? Instrumen ini terdengar menyayat hati. Pasti yang memainkan menggunakan hatinya.

Langkah Lian terhenti saat melihat sosok wanita yang sedang bermain grand piano berwarna putih. Wanita itu menggunakan gaun panjang berwarna putih. Kulitnya putih dan bersinar. Dia memainkan piano dengan penuh penghayatan. Dan wanita itu adalah Anna. Ibu Lian. Wanita yang sangat dia rindukan. Mataharinya.

Lian ingin mendekati ibunya yang tampak belum menyadari kehadirannya. Tapi kakinya sangat sulit digerakkan. Dia ingin memeluk Anna. Berkata kalau dia sangat merindukannya. Air mata Lian sudah keluar sejak dia melihat sosok itu. Akhirnya dia bisa melihat ibunya. 

“Eomma!” Seru Lian

Anna menyudahi permainannya dan menoleh ke sumber suara. Dia langsung tersenyum saat melihat bintangnya berdiri tidak jauh darinya. Kemudian dia berjalan mendekati Lian. Masih dengan senyum anggunnya.

“Eomma…” Lirih Lian dengan suara bergetar. Tanganya berusaha menyentuh wajah Anna namun tidak bisa.

“Putriku…” Bisik Anna sambil tersenyum hangat. Senyum yang selalu membuat Lian tenang. 

“Eomma, aku merindukanmu. Kenapa kau meninggalkanku sendirian? Aku sendirian, eomma.” Lian berkata disela isakannya. Dia masih berusaha untuk menyentuh wajah Anna, tapi tangannya menembus wajah cantik ibunya.

“Kenapa aku tidak bisa menyentuhmu? Eomma, bawa aku pergi. Aku ingin ikut bersamamu. Aku benar-benar sendirian, eomma.”

“Tidak, sayang. Ada appa, ibu barumu, Baekhyun, dan suamimu yang selalu menemanimu, bukan? Kita tidak bisa bersama, sayang. Dunia kita berbeda.” Ucap Anna sambil mengelus pipi Lian.

Ini aneh. Lian tidak bisa menyentuh Anna, tapi Anna bisa menyentuhnya. Lian sangat ingin menyentuh ibunya. Dia ingin memeluk Anna dengan erat agar Anna tidak pergi meninggalkannya lagi.

“Mereka semua tidak menyayangiku, eomma. Chanyeol tidak pernah mencintaiku. Appa juga tidak menyayangiku. Aku membenci mereka. Mereka membuatku kehilanganmu.”

“Sayang, eomma selalu bersamamu. Disini. Tidakkah kau merasakannya? Kau tahu? Eomma tidak pernah meninggalkanmu karena eomma sangat menyayangimu.” Anna berkata sambil menyentuh dada Lian. Tepat di jantungnya.

“Tapi kenapa aku tidak bisa melihatmu? Aku sangat ingin bertemu eomma setiap hari. Aku tidak bisa hidup tanpamu.”

“Kau hanya bisa merasakan kehadiran eomma, sayang. Di hatimu.”

“Aku tidak bisa, eomma. Ini menyakitkan.” Lirih Lian sambil menundukkan kepalanya. Bahunya berguncang hebat. Dadanyapun sangat sesak.

Anna mendongakkan kepala Lian. Menghapus air mata yang mengalir di kedua pipi putrinya sambil tetap tersenyum. “Belajarlah memaafkan mereka, sayang. Mereka sangat menyayangimu. Hanya saja hatimu sudah tertutup oleh kebencian. Buka hatimu dan maafkan mereka.”

“Tidak bisa, eomma. Terlalu banyak kesalahan untuk dimaafkan. Aku sangat membenci mereka sampai rasanya mau mati. Aku harus bagaimana, eomma?”

“Kau bisa, sayang. Eomma tahu kau mempunyai hati malaikat. Maafkanlah mereka dan hiduplah dengan baik. Eomma tidak ingin melihatmu menderita.”

“Tidak bisakah aku ikut denganmu? Kumohon, eomma.”

“Tidak, sayang. Tempatmu bersama Chanyeol. Belajarlah memaafkan mereka. Eomma tahu kau bisa. Eomma ingin kau bahagia, sayang.” Anna mengelus-elus pipi Lian.

“Kumohon, eomma.”

“Berbahagialah, sayang.” Perlahan Anna mulai menghilang.

“Eomma!” Seru Lian sambil berusaha mengejar Anna. Namun kakinya tidak bisa digerakkan. Anna semakin menjauh.

“Eomma…”

**

.

.

.

.

.

Tbc~

Posted in Chapter, Family, Fool For You

Fool For You Part 4



Fool For You Part 4

Author : brokenangel

Cast : Lian Jeon – Kim Taehyung – Fellix Kim – Jeon Jungkook – Bae Irene – Park Chanyeol – Park Jinyoung –  Anna Boulstern – Cho Kyuhyun – Lee Donghae – BTS Member – GOT7 Member

Genre : Romance, Action, Angst, Honor, Married Life

Rate : PG-15

.

.

.

.

.

Lian dan Marcus masih menemani Fellix untuk menjaga ayahnya. Fellix sudah menghabiskan makanannya dan saat ini bocah lima tahun itu terlihat mengantuk karena hanya diam saja sambil duduk di samping ayahnya. Sementara itu Lian dan Marcus sedang mengobrol sambil duduk di sofa tanpa tahu kalau Fellix sedang mengantuk dan bisa kapan saja tertidur. Dua orang dewasa itu nampaknya sedang membicarakan masalah pekerjaan. Tiba-tiba saja Lian mendapat email masuk dari Jinyoung tentang file berisikan kerja sama dengan TJ Group. Lian yang memang pada dasarnya masih malas untuk mengurusi pekerjaan akhirnya meminta bantuan Marcus agar membantunya.Sudah hampir satu jam tapi kakek dan nenek Fellix belum juga kembali. Sebenarnya tidak masalah bagi Lian karena dia masih ingin bersama Fellix dan sekaligus alasan agar dia bisa melihat wajah damai Taehyung yang masih tidak sadarkan diri. Lian tidak bisa menyangkal lagi perihal ketertarikannya pada ayah Fellix. Entah hanya ketertarikan sesaat atau bukan. Yang jelas Lian masih ingin menuntaskan rasa ingin tahunya.

Sepanjang menyuapi Fellix sampai sekarang, Lian masih menalar kira-kira apa yang terjadi padanya? Lian tidak pernah merasa sekacau ini hanya karena seorang yang baru saja dia lihat. Matanya seolah memaksanya untuk selalu menatap sosok Taehyung yang masih terbaring. Seperti dia akan melewatkan hal penting kalau tidak menatapnya. Makanya sejak tadi Lian mencuri pandang pada Taehyung.

Anggap saja dia seperti remaja labil. Nampaknya gelagat anehnya itu mampu ditangkap Marcus yang notabene adalah seorang player. Dalam hatinya, Marcus hanya tersenyum penuh arti. Tidak menyangka kalau gadis otoriter seperti Lian bisa tertarik pada pria.

“Jangan menatapnya terus. Dia tidak akan lari.” Ucap Marcus menyadarkan Lian yang tengah terang-terangan memperhatikan Taehyung. Dia gelagapan sambil pura-pura merapikan rambutnya.

“Sampai mana tadi?” Tanyanya sambil kembali mengalihkan perhatiannya pada layar ponselnya. Dia sangat malu karena tertangkap basah oleh Marcus sedang memperhatikan Taehyung.

“Pikiranmu tidak disini. Lihat! Fellix bisa jatuh kalau tidur seperti itu.” Sahut Marcus sambil menunjuk Fellix yang sudah menyandarkan kepalanya pada tepi ranjang rumah sakit ayahnya.

Lian melototkan matanya dan langsung mendekati Fellix. Lian mengguncang bahu Fellix pelan agar bocah itu tidak terkejut. Fellix mengangkat kepalanya dan menatap Lian dengan pandangan sayu.

“Kau mengantuk, sayang?” Tanya Lian sambil mengelus-elus rambut Fellix.

Hati Fellix menghangat mendengar panggilan sayang dari Lian. Sudah lama Fellix tidak mendengar panggilan sayang dari ibu maupun neneknya. Mendengar Lian memanggilnya sayang, entah mengapa membuatnya ingin tidur dalam pelukan Lian. Pasti akan hangat.

“Kemarilah, brother! Kau bisa tidur di pahaku.” Ucap Marcus sambil menepuk pahanya.

Fellix hanya menggelengkan kepalanya. Dia kembali menatap wajah pucat ayahnya dengan tatapan sedih. “Aku takut kalau aku tidur, aku tidak bisa menjadi orang pertama yang melihat Appa bangun.” Lirihnya yang masih bisa didengar Lian.

Lian tersenyum nanar dan mengelus-elus rambut Fellix dengan sayang. “Kalau begitu duduk saja di sofa agar kau lebih nyaman. Kau bisa bermain game dengan Marcus kalau bosan.” Ucap Lian

Tanpa membalas ucapan Lian, Fellix langsung berdiri dan mendekati Marcus. Seperti yang dikatakan Lian, dia meminta Marcus agar menemaninya bermain game melalui tabletnya. Setelahnya, dua pria itu asik dengan dunia mereka. Sesekali terdengar ejekan dari keduanya saat salah satu dari mereka kalah atau salah umpan.

Lian tersenyum tipis melihat keakraban antara Fellix dan Marcus. Dia senang karena Marcus yang tadinya tidak menyukai anak kecil menjadi sangat akrab dengan Fellix. Dalam hati Lian, dia berdoa agar Marcus cepat punya istri dan mereka bisa mempunyai anak sehingga ketidaksukaan Marcus pada anak kecil dapat menghilang. Marcus sudah cukup umur untuk menikah dan Lian tidak ingin sepupunya yang itu semakin banyak menjadikan para wanita sebagai korbannya.

Tatapan Lian beralih pada ayah Fellix. Sebenarnya apa yang menarik dari seorang pria yang sedang koma? Tidak ada. Tapi Lian merasa ingin terus melihat wajah damai Taehyung. Hidung dan bibirnya menjadi salah satu favorite Lian. Dia ingin sekali menyentuh dua benda itu. Tapi Lian tidak gila sehingga dia nekat menuruti keinginannya. Kenal namanya saja tidak, kenapa sudah berani menyentuh?

Entah kenapa Lian malah kesal saat dia belum mengetahui siapa nama ayah Fellix. Lagipula apa haknya untuk tahu namanya? Yang ada Marcus akan menggodanya habis-habisan dan bisa dipastikan pria bawel itu mengadu pada Jungkook. Kalau Jungkook tahu dia menyukai seorang pria, jelas dia akan mendapat pidato panjang dari Jungkook yang Lian sudah hapal isinya.

Lian menatap nanar wajah Taehyung. Sebenarnya dia penasaran kenapa Taehyung bisa koma? Tapi sekali lagi. Dia baru saja mengenal Fellix. Dia sadar untuk tidak terlalu mencampuri urusan keluarga Fellix. Lagipula, setelah ayah Fellix sembuh, Lian yakin kalau dia tidak akan bertemu Fellix lagi. Tidak ada alasan bagi mereka untuk bertemu.

Hembusan nafas berat keluar dari mulut Lian. Dia menundukkan kepalanya. Menatap tangan Taehyung yang terpasang infus. Benar juga. Setelah ayah Fellix sembuh mereka tidak akan bertemu lagi. Lian akan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Kenapa Lian merasa tidak rela jika harus berpisah dengan Fellix? Selain itu tidak ada lagi alasan untuknya agar bisa melihat pria yang mampu membuat hatinya berdebar untuk pertama kalinya.

Lian tersentak kaget saat mendengar suara nyaring dari monitor pendeteksi jantung. Astaga! Apa yang terjadi? Lian bangkit dari duduknya untuk melihat apa yang terjadi.

Appa!” Tahu-tahu Fellix sudah memekik kaget dengan mata berkaca-kaca.

Lian tidak bisa berkata-kata dan hanya diam mematung sambil menatap kosong pria di depannya yang mulai megap-megap. Pikiran Lian melayang dan kosong. Setelahnya Lian tidak tahu apa yang terjadi karena dia sudah digeret Marcus untuk minggir dan membiarkan para dokter memeriksa keadaan Taehyung. Tunggu! Sejak kapan dokter masuk? Tanpa terasa tangan Lian bergetar dan jantungnya mulai berdetak kencang. Dia tidak ingin menyaksikan kematian seseorang lagi. Tidak.

“Kumohon bertahanlah! Demi Fellix. Kumohon!” Jerit Lian dalam hati. Lian tidak tahu kenapa dia sangat peduli dengan pria yang tidak dia kenal itu. Salah satu alasannya adalah karena Fellix. Dia tidak ingin Fellix kehilangan ayahnya. Dan… Dia masih ingin mengenal pria itu.

Pintu ruang inap ini kembali dibuka dengan kasar oleh Taejun yang tiba-tiba datang bersama Younbi dengan tergesa-gesa. Wajah Younbi sudah penuh air mata. Tangisnya pecah saat melihat beberapa dokter dan perawat yang masuk ke dalam ruangan putranya dengan terburu-buru.

“Apa yang terjadi?” Tanya Younbi

“Kami tidak tahu, nyonya. Tiba-tiba saja seperti itu.” Jawab Marcus

“Astaga! Taehyung-a.” Younbi lemas dan beruntung langsung ditangkap Taejun. Kemudian Taejun menggiring Younbi untuk duduk di sofa.

Lian menundukkan kepalanya sambil menyatukan kedua tangannya. Dia tidak berhenti berdoa agar ayah Fellix dapat bertahan. Lian tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Fellix kalau ayahnya pergi disaat sebentar lagi bocah itu akan berulangtahun. Lian tidak ingin Fellix mengalami hal yang sama sepertinya. Lian tidak sadar kalau pipinya sudah basah oleh air mata. Bahkan dadanya mulai sesak karena suara dari monitor itu makin nyaring.

“Ya tuhan, kumohon jangan ambil ayah Fellix. Kumohon. Kasihan bocah malang itu.” Lian terus berucap dalam hati.

Marcus merangkul pundak Lian dan mengusap-usapnya. Dia tahu apa yang Lian rasakan. Makanya tadi dia langsung menyeret Lian menjauh dari Taehyung. Marcus sedikit takut kalau sepupunya ini tiba-tiba pingsan karena suara monitor yang masih berbunyi nyaring. Lian sangat takut dengan segala jenis suara seperti itu dan sirine. Karena kejadian sebelas tahun yang lalu, Lian mempunyai banyak ketakutan. Bayangkan saja seorang anak melihat kejadian menyeramkan di depan matanya.

“Kau harus terlihat kuat di depan Fellix. Dia membutuhkanmu, Li.” Bisik Marcus

Seketika Lian tersadar. Benar! Fellix. Astaga, dia melupakan Fellix karena terlalu kalut. Matanya mencari sosok Fellix yang ternyata berdiri kaku di samping Marcus. Hati Lian mencelos. Bahkan Fellix tidak menangis disaat kondisi ayahnya sedang kritis. Wajahnya tanpa ekspresi.

“Sstt. Jangan menangis. Kau hanya akan membuat Fellix takut.” Bisik Marcus lagi sambil menghapus air mata Lian.

Setelah dirinya cukup tenang, Lian mendekati Fellix yang tampak menatap kosong para dokter yang sedang memeriksa Taehyung. Lian jongkok di samping Fellix dan mengusap-usap kepala Fellix. Lian berusaha menahan air matanya yang mendesak ingin keluar demi untuk menguatkan Fellix. Malang sekali nasib bocah kecil ini. Dia harus melihat ayahnya berjuang.

Lian mendongakkan kepalanya saat merasakan usapan lembut di bahunya. Ternyata Marcus sudah berdiri di sampingnya sambil tersenyum hangat. Melihat senyum Marcus membuat Lian sedikit tenang. Pandangannya kembali pada Fellix yang masih diam mematung dengan tatapan kosong pada sosok ayahnya yang masih dikelilingi dokter.

Lian menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya berani untuk menenangkan Fellix. Tapi belum sempat Lian mengatakan sesuatu, Fellix lebih dulu berucap yang membuatnya makin sedih.

“Apa kali ini Appa akan pergi meninggalkan Fellix?” Lirih bocah kecil itu sambil menundukkan kepalanya.

Lian menelan ludahnya susah payah. Tidak. Dia tidak akan menangis lagi. “Fellix, ayahmu tidak akan kemana-mana. Percaya padaku kalau ayahmu akan bangun.” Lian berucap pelan sambil memaksakan senyum. Dia mengelus-elus rambut kecoklatan milil Fellix. “Kau jagoan, bukan? Jangan putus asa. Ayahmu akan bangun.” Ucap Lian lagi yakin.

Bahu Fellix bergetar menandakan kalau bocah itu menangis. Menangis tanpa suara. Dia sudah berusaha untuk menahannya tapi tetap tidak bisa. Fellix takut. Sangat takut kalau dia akan kehilangan ayahnya. Secara mengejutkan, Fellix langsung memeluk Lian. Menyembunyikan wajahnya pada bahu Lian. Fellix tidak pernah merasa senyaman ini saat bersama orang lain. Tapi dengan Lian entah kenapa dia merasa aman dan tenang.

Lian agak kaget saat Fellix tiba-tiba memeluknya. Dia bisa mendengar isak tangan Fellix dengan jelas. Lian tidak bisa untuk tidak menangis. Andai saja bisa Lian akan membuat ayah Fellix bangun agar bocah kecil ini tidak menangis. Lian tidak pernah merasakan sesakit ini hanya karena mendengar suara tangisan anak kecil. Fellix benar-benar sangat membawa dampak untuknya.

Everything will be fine, Fellix. Sstt! Jangan menangis, sayang. Kau membuatku sedih.” Bisik Lian sambil mengelus-elus kepala Fellix penuh sayang.

Taejun dan Younbi yang menyaksikan hal itu hanya bisa terdiam. Mereka sama-sama berdoa dalam hati untuk keselamatan putranya.

“Taehyung-a, kumohon! Bertahanlah demi anakmu.” Ucap Taejun dalam hati sambil menatap putranya nanar.

Cukup lama para dokter itu memeriksa keadaan Taehyung, membuat mereka yang menunggu semakin cemas dan takut. Fellix sudah lebih tenang saat ini. Dia duduk di pangkuan Lian sambil memeluk leher Lian. Bocah itu kelelahan dan mengantuk tapi memaksakan diri untuk melihat ayahnya. Lian tidak henti-hentinya menghibur Fellix. Entah kenapa dia punya keyakinan besar kalau ayah Fellix akan sadar.

“Bagaimana bisa?” Ucap salah satu dokter tiba-tiba.

Mendengar ucapan dokter, Taejun dan Lian dengan Fellix di gendongannya langsung mendekati sang dokter. Suara monitor itu kembali normal.

Appa?” Lirih Fellix saat melihat ayahnya sudah membuka matanya. Dia langsung meminta untuk turun dari gendongan Lian dan mendekati ranjang Taehyung.

“Tuan, putra anda berhasil melewati masa kritisnya. Kami bahkan terkejut saat melihat putra anda sadar. Sepertinya dia ingin bertemu putranya.” Ucap dokter dengan senyum bahagia saat melihat pasiennya sadar.

Ucapan lega lolos dari.bibir Taejun dan Younbi. Younbi mendekati ranjang putranya. Dan benar. Taehyung sudah membuka matanya. Younbi tidak bisa menahan tangis bahagianya melihat Taehyung sadar. Dia menggenggam tangan Taehyung sambil terus mengucapkan terimakasih.

“Tapi kenapa dia hanya diam saja, dok?” Tanya Younbi saat menyadari kalau Taehyung tidak merespon.

Fellix langsung menatap dokter yang memeriksa ayahnya. Sejak tadi itu yang ingin dia tanyakan. Tapi mulutnya seolah terkunci. Dia terlalu bahagia karena ayahnya bangun. Fellix menggenggam tangan dingin Taehyung yang membuat Taehyung sedikit merespon karena sekarang dia menatap Fellix. Fellix tersenyum haru begitu ayahnya merespon.

Appa?” Panggilnya pelan.

“Hanya karena obat bius. Tidak akan lama. Dokter sebenarnya pasien ini akan kembali memeriksanya. Dia saat ini sedang memeriksa pasien lain. Kalau begitu, kami permisi.” Ucap dokter itu sambil menepuk pundak Taejun. Taejun dan Marcus membungkuk sambil mengucapkan terimakasih pada dokter dan para perawat yang sudah keluar dari ruangan ini.

Lian mematung di tempatnya. Matanya tidak lepas dari sosok yang menarik hatinya yang kini sudah membuka matanya. Jantung Lian berdetak lebih cepat dari biasanya saat melihat mata itu.

Indah.

**

“Sudah berapa lama dia sadar?” Tanya Jungkook pada perawat yang mengikutinya. Dia sedang menuju ruang VVIP tempat dimana pasiennya dirawat.

“Sekitar satu jam, dokter.” Jawab perawat itu.

Dia baru saja selesai melakukan operasi sehingga tadi saat ada panggilan emergency dia menyuruh rekan dokternya. Begitu dia selesai melakukan operasi yang memang tidak terlalu besar, Jungkook langsung bergegas menuju ruangan pasien VVIPnya. Dia lega karena pasiennya itu akhirnya bangun. Entah kenapa saat pertama kali melihat wajah pasiennya itu, Jungkook langsung merasa iba sehingga dia menjadi dokter pasien itu.

**

Suasana di kamar VVIP 27 saat ini berbeda dengan dua hari kemarin. Perasaan bahagia menyelimuti orang-orang yang berada di dalamnya. Bagaimana tidak? Orang yang mereka tunggu-tunggu agar cepat sadar kini sudah bisa berkomunikasi. Ditambah lagi dengan kelakuan polos seorang bocah kecil yang bisa dibilang menjadi orang yang paling bahagia.

Appa masih ingat Fellix, kan?” Pertanyaan polos itu tiba-tiba keluar dari bibir kecil Fellix. Bocah kecil itu masih belum percaya kalau ayahnya sudah sadar.

“Tentu saja. Kau putra Appa yang sangat nakal.” Jawab Taehyung sambil mengacak-acak rambut Fellix.

“Aku janji tidak akan nakal lagi, asalkan Appa tidak tidur lama sekali.” Ucap Fellix sambil menundukkan kepalanya.

Arraseo. Appa tidak akan tidur lama lagi.” Sahut Taehyung

Taehyung sangat senang karena dapat membuka matanya lagi. Dia akhirnya bisa kembali melihat orangtuanya dan putra kesayangannya. Taehyung bahagia. Apalagi melihat perubahan Fellix. Fellix banyak bicara dan tersenyum. Diapun sebenarnya penasaran kemana wajah dingin dan suara datar putranya?

Taejun dan Younbi hanya tersenyum tipis melihat keakraban Fellix dan Taehyung yang sudah lama tidak mereka lihat. Berbeda dengan Marcus dan Lian. Mereka hanya diam saja sambil melihat keluarga bahagia itu. Tentu saja mereka juga merasa bahagia. Terutama Lian. Dia sendiripun tidak tahu kenapa dia sangat senang melihat ayah Fellix sadar.

Noona, ahjussi! Kenapa diam saja? Kemarilah.” Ucap Fellix sedikit membuat Lian kaget.

Lian langsung salah tingkah saat tak sengaja dia bersitatap dengan Taehyung. Tatapannya sangat mengintimidasi. Ah! Jadi, Fellix mempunyai tatapan intimidasi itu dari Taehyung. Kalau dilihat dengan seksama, pasangan ayah dan anak itu benar-benar sama kalau saja bibir Fellix sesensual milik Taehyung. Bibir pria itu sangat menggoda kaum hawa untuk menciumnya.

Lian menggeleng-gelengkan kepalanya saat pikiran liar itu mulai muncul. Pria itu membuatku kacau. Batin Lian sambil mendengus. Lian tidak pernah mengira kalau hanya karena tatapan intimidasi bisa membuatnya kalang kabut. Dia ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini agar pikirannya tidak kemana-mana. Di sampingnya, tampak Marcus yang sedang menahan senyum karena tingkah sepupu cantiknya itu. Melihat wajah gugup Lian saat pandangannya bertemu dengan Taehyung benar-benar menjadi hiburan untuk Marcus.

Hah! Marcus ingin segera pulang dan menceritakan hal ini pada dua sepupunya. Membayangkan bagaimana reaksi Jungkook saja sudah membuatnya geli. Sepupunya itu memang sangat protektif dalam menjaga Lian.

Noona! Jangan diam saja. Ayo sini! Kau harus berkenalan dengan Appa.” Tiba-tiba saja Fellix sudah di depan Lian dan menarik tangan Lian agar berdiri di dekat Taehyung.

Lian sama sekali belum siap. Kalau saja Fellix bukan anak kecil dan disini tidak ada orangtua Taehyung, sudah bisa dipastikan Lian akan mengeluarkan seluruh kamus umpatannya. Dia menatap Marcus dengan tatapan meminta tolong tapi Marcus kelihatan acuh dan mengangkat kedua bahunya. Lian hanya mendesah pasrah.

Kau bahkan tidak berani mengangkat kepalamu, Li! Memalukan! Jerit Lian dalam hati.

Appa, ini Lian noona. Temanku. Noona ini appa. Taehyung Appa.” Fellix memperkenalkan Lian pada ayahnya, begitu juga sebaliknya.

Taehyung mengamati dengan seksama gadis di depannya. Cantik. Manis. Itulah yang pertama kali terbesit di kepala Taehyung saat melihat Lian berada di dekatnya. Tunggu! Taehyung merasa ada yang aneh. Fellix. Ya! Taehyung tidak pernah melihat putranya tersenyum lebar seperti saat ini. Fellix juga bukan anak yang suka beradaptasi dengan orang asing. Taehyung yakin seratus persen kalau Fellix dan Lian baru saja bertemu karena dia juga baru pertama melihat Lian.

Appa! Aku tahu noona sangat cantik, tapi jangan melihatnya berlebihan.” Fellix membuyarkan lamunan Taehyung.

Mendengar ucapan polos membuat Taehyung dan Lian salah tingkah. Taejun dan Younbi saling berpandangan penuh arti melihat adegan di depan mereka. Pasangan suami istri itu sepertinya mempunyai pemikiran yang sama.

Mereka sangat cocok.

Taehyung mengulurkan tangannya pada Lian. “Kim Taehyung, ayah Fellix.” Ucap pria berhidung mancung itu.

Lian mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali saat melihat uluran tangan itu. Suaranya. Astaga! Lian benar-benar gila karena menganggap suara bariton Taehyung sangat seksi. Dengan ragu, Lian menerima uluran tangan itu. Seperti dialiri listrik. Lian dapat merasakan perutnya bergejolak. Jantungnya berdetak lebih kencang. Bahkan lidahnya terasa kelu.

Marcus menepuk jidatnya saat melihat Lian diam saja dengan wajah konyol. Mungkin setelah ini dia akan mengajari Lian agar terbiasa dengan orang yang disukai.

“Lian Jeon.” Sahut Lian pelan. Dia sangat gugup.

Taehyung sangat menikmati wajah merona alami Lian. Apa dia yang membuat Fellix berubah? Dia tidak sadar kalau tangannya masih menggenggam tangan Lian. Tangan Lian terasa pas digenggamannya.

Appa! Lepaskan tangan noona!” Seru Fellix sambil melepaskan tangan Taehyung yang masih menggenggam tangan Lian. Dia menatap ayahnya sebal.

Ditengah situasi canggung antara Lian dan Taehyung, ponsel Taejun tiba-tiba berbunyi. Taejun menyingkir sebentar untuk mengangkat telepon.

Aigooo Tuan Muda Kim sudah bisa merajuk sekarang.” Ucap Taehyung gemas sambil mengacak-acak rambut Fellix.

“Jangan menggodanya, Tae.” Younbi yang sejak tadi hanya diam kini angkat suara.

Taejun kembali setelah selesai menerima telepon. Tapi wajahnya terlihat cemas.

“Ada apa, yeobo?” Tanya Younbi agak gusar saat melihat wajah cemas sang suami.

Aboeji sakit. Kita harus kesana sekarang.” Jawab pria berumur setengah abad itu.

“Tapi bagaimana dengan Taehyung?”

Eomma, aku baik-baik saja. Haraboeji lebih membutuhkan kalian. Pergilah. Aku akan menyuruh Hobie Hyung untuk menemaniku.” Taehyung menyela percakapan antara kedua orangtuanya.

“Fellix ikut kami, ya?” Taejun beralih pada cucunya. Tidak sesuai harapan, Fellix menggeleng dengan tegas.

“Aku ingin bersama Appa.” Ucap bocah kecil itu.

“Tak apa, Appa. Biarkan Fellix disini. Biar dia bersama noona nanti.” Ucap Taehyung

“Tidak bisa. Sohyun sudah dalam perjalanan kesana bersama suaminya.” Taejun menjawab cepat.

“Aku tidak mau ikut!” Seru Fellix dengan wajah kesalnya.

“Hey, boy! Jangan seperti itu.” Lian menegur Fellix yang baru saja membentak kakeknya.

“Maaf, tuan. Begini saja. Fellix bisa bersama kami kalau kalian mengijinkan. Saya akan jamin kalau dia akan aman.” Marcus tiba-tiba menginterupsi.

“Cho!” Lian memekik kaget. Dia menatap Marcus protes. Tapi Marcus malah mengabaikannya.

Sebenarnya Lian tidak masalah kalau Fellix ikut bersamanya. Tapi bagaimana dengan Jungkook dan Taehyung? Lagipula kenapa tiba-tiba Marcus bersedia menjaga Fellix? Memangnya mereka tidak mempunyai keluarga lain di Seoul? Sementara itu, Taejun dan Younbi tampak berpikir. Sepertinya memang ide yang bagus. Menguntungkan bagi Fellix tentunya.

“Baiklah, nak. Kami percaya dengan kalian. Kami tidak punya saudara di Seoul. Semua keluarga berada Daegu dan Busan.” Putus Taejun akhirnya.

Mendengar jawaban sang kakek langsung membuat Fellix tersenyum lebar. Dia berlari mendekati kakek dan neneknya lalu memeluk mereka. Lain halnya dengan Taehyung. Dia masih bingung akan sesuatu. Kenapa Fellix seakan menurut kata-kata dua orang asing itu? Sebenarnya apa saja yang terjadi selama dia koma? Fellix terlihat sangat akrab dengan mereka.

Akhirnya mau tidak mau Lian menyetujui usul Marcus. Toh tidak ada salahnya kalau Fellix ikut bersamanya. Masalah Jungkook akan dia urus. Lagipula dia bisa punya kesempatan untuk bertemu Taehyung.

“Jaga dirimu baik-baik, Taehyung-a. Kami tidak akan lama.” Ucap Taejun pada putranya.

Sementara itu Younbi tampak mendekati Lian. “Nak, jaga putra dan cucuku. Aku tidak tahu kenapa sangat mempercayaimu tapi kumohon aku titip mereka.” Ucap wanita paruh baya itu sambil menggenggam tangan Lian.

“Aku akan menjaga mereka, nyonya.” Sahut Lian dengan senyum hangatnya.

Taehyung dibuat tertegun oleh pemandangan di depannya. Benar-benar sesuatu telah terjadi saat dia koma. Dan sekarang Fellix bahkan kedua orangtuanya sangat akrab dengan gadis bermata biru itu. Setelah kedua orangtuanya berpamitan dan keluar dari kamar rawatnya, suasana menjadi sepi. Tidak ada yang bicara.

Taehyung menatap ketiga orang di depannya bergantian. Banyak sekali yang ingin dia ketahui. Kemudian tatapannya beralih pada Fellix. Taehyung masih tidak menyangka kalau Fellix berubah sangat pesat. Bocah itu menjadi lebih banyak bicara dan tersenyum. Tidak ada lagi wajah dinginnya. Sebenarnya Taehyung senang karena putranya kembali menjadi anak kecil pada umumnya. Tapi di kepalanya masih banyak pertanyaan.

Tatapan Taehyung beralih pada gadis yang membuatnya terkejut karena sifat keibuannya. Dia masih ingat cara Lian menegur Fellix tadi. Apa benar gadis itu yang membuat Fellix berubah? Kalau iya, Taehyung akan sangat berterimakasih. Keningnya berkerut saat melihat Lian dan pria di sampingnya sedang melempar isyarat dengan tatapan mata. Dia berusaha menahan senyumnya saat melihat wajah menggemaskan Lian yang tengah mempelototi pria itu.

Perhatian keempat manusia itu tertuju pada pintu saat mendengar pintu terbuka. Muncullah sosok pria berjas putih bersama seorang perawat wanita. Lian dan Marcus membulatkan mata mereka saat mengetahui siapa sosok berjas putih itu. Jeon Jungkook. Dia berjalan tergesa-gesa mendekati Taehyung tanpa sadar kalau adik dan sepupunya juga disitu.

Marcus dan Lian saling bertatapan. Benarkah itu Jungkook? Mereka kembali menatap Jungkook yang saat ini sibuk menginterogasi pasiennya. Selang beberapa menit, pintu kembali terbuka dan muncullah sosok pria yang seumuran dengan Taehyung. Pria itu tampak melempar senyum pada Lian dan Marcus dan mendekati Taehyung dan Fellix.

“Hipotesisku memang selalu benar. Aku tahu kau akan sadar hari ini.” Ucap Jungkook setelah selesai memeriksa Taehyung. Dia bahkan sudah tidak lagi memakai bahasa formal. Hanya berbicara layaknya teman.

“Terimakasih, dok. Aku tahu putraku sedang menunggu.” Sahut Taehyung sambil mengelus-elus kepala Fellix.

“Bagaimana keadaannya, dok? Apa otaknya masih berfungsi?” Tanya seseorang yang tiba-tiba datang.

Hyung!

“Paman!”

Ayah dan anak itu memekik girang dengan panggilan berbeda. Hoseok atau yang akrab dipanggil Hobie itu hanya menunjukkan cengirannya.

“Hai, Fellix.” Sapanya pada Fellix.

“Hai, paman.” Sahut Fellix dengan senyum lebarnya. Hoseok sampai terkejut saat melihat senyum Fellix. Mungkin karena ayahnya sadar makanya dia senang.

“Jadi bagaimana, dok?” Hoseok kembali bertanya pada Jungkook.

Hyung! Yang tertembak itu perutku!” Sungut Taehyung

“Maka dari itu! Kau orang gila yang mendapat dua peluru di perutnya.” Balas Hoseok sambil melepas kacamatanya dan disangkutkan pada saku kemejanya.

“Tolong jangan banyak bergerak, tuan. Perawat akan datang setiap sore untuk mengganti perban. Kalau begitu saya permisi.” Pamit Jungkook

“Terimakasih, dok.” Ucap Fellix dengan senyum manisnya.

Jungkook hanya tersenyum sambil mengacak-acak rambut Fellix. Diapun berbalik untuk keluar dari kamar rawat Taehyung. Namun begitu dia berbalik, matanya langsung membulat lebar saat melihat dua orang yang sangat dia kenal berdiri di depannya.

Baby?!” Pekik Jungkook sambil berjalan mendekati Lian dengan langkah cepat.

Taehyung, Hoseok, dan Fellix sangat terkejut saat mendengar Jungkook memekik keras. Bukan hanya mereka. Tapi juga perawat yang bersama Jungkook tadi. Tapi bukan itu saja yang membuat mereka terkejut. Melainkan panggilan Jungkook yang ditujukan pada Lian. Tunggu! Baby? Apa mereka sepasang kekasih? Itulah yang pertama kali mereka pikirkan.

“Ternyata sudah memiliki kekasih. Benar-benar pasangan serasi.” Ucap Taehyung dalam hati. Namun di kalimat keduanya dia menggunakan nada sewot.

Fellix langsung menunduk sedih saat mendengar panggilan yang ditujukan Jungkook pada Lian. Dia sering melihat di drama kalau seseorang yang memanggil baby itu sepasang kekasih atau suami-istri. Dia tidak akan rela jika Lian sudah dimiliki orang lain. Sama halnya dengan Fellix. Perawat itu sedih dan senang secara bersamaan. Sedih karena idola para perawat sudah memiliki kekasih dan senang karena dia menjadi satu-satunya yang tahu kalau atasannya tersebut sudah memiliki kekasih. Dia bisa pamer dengan para penggemar Jungkook.

Kembali lagi pada Jungkook. Dia sangat kaget melihat Lian dan Marcus berada di tempat yang sama dengannya. Dia tidak tahu kalau Lian maupun Marcus berteman dengan pasiennya. Lian juga tidak memberitahunya kalau dia akan datang.

“Kau… Apa yang kau lakukan disini? Dan kau! Kenapa mau menurutinya untuk keluar? Seharusnya kau menolak.” Jungkook langsung menyalahkan Marcus.

“Seandainya kau tahu bagaimana caranya membawaku keluar.” Sahut  Marcus cuek.

Jungkook kembali menatap Lian.  Dia menuntut penjelasan dari adiknya. “Kenapa kau kesini? Bagaimana pekerjaanmu? Kenapa kau meninggalkan pekerjaanmu?” Tanya Jungkook beruntun. Dia sepertinya lupa tempat.

Fellix mendengus sebal saat mendengar pertanyaan beruntun dari Jungkook. Dia tidak suka Jungkook. Jungkook sudah mengambil miliknya.

“Apa aku harus punya alasan untuk menemui orang yang aku rindukan.” Jawab Lian sambil tersenyum miring. Dia melipat tangannya di depan dada.

So sweat.” Gumam Hoseok sambil menggigit jarinya. Taehyung yang mendengarnya hanya mendesis sebal.

“Apa mereka sedang pamer kemesraan disini? Menyebalkan.” Gerutu Taehyung dalam hati sambil menatap sebal Jungkook dan Lian.

“Aku serius, baby!

“Aku juga, Jeon Jungkook.” Balas Lian cuek.

“Ah! Bukan sepasang kekasih tetapi suami-istri.” Ucap Taehyung dalam hati saat tahu kalau mereka mempunyai marga yang sama.

Bukan hanya Taehyung yang beranggapan seperti itu. Tapi perawat itu juga. Dia memekik girang. Akan menjadi hot news di rumah sakit ini saat semua orang tahu presiden direktur mereka sudah beristri.

“Selesaikan urusan kalian di tempat lain. Bukankah pasien membutuhkan ketenangan, Presdir Jeon?”  Marcus menampilkan seringainya yang dihadiahi kedipan dari Lian.

Jungkook mendengus sebal dan langsung menarik Lian untuk diajak ke ruangannya tanpa mempedulikan semua orang yang menatap mereka bingung. Marcus menghela nafas. Pasti setelah ini Lian akan diinterogasi Jungkook. Marcus baru sadar kalau dia saat ini tengah menjadi pusat perhatian. Pasti mereka salah paham dengan hubungan Lian dan Jungkook.

“Mereka sepupuku. Maafkan kelakuan mereka.” Ucap Marcus ditengah kecanggungan yang terjadi.

“Jadi mereka saudara?” Tanya Hoseok retoris.

Marcus mengangguk. “Kakak beradik yang terlihat seperti suami-istri memang.” Jawabnya asal.

Mendengar ucapan Marcus kalau Lian dan Jungkook yang hanya kakak-adik, rupanya membuat sedikit perasaan Taehyung lega. Berbeda dengan Fellix. Bocah itu masih kesal karena panggilan yang ditujukan Jungkook untuk Lian. Kalau kakak-adik kenapa memanggil baby? Pikirnya.

Marcus nampaknya menyadari wajah kesal Fellix. Bocah kecil itu benar-benar sangat menyukai Lian. Terbukti saat dia mencium kening Lian tadi dan saat Jungkook memanggil Lian dengan panggilan baby. Sebenarnya apa yang membuat Fellix sangat menyukai Lian? Marcuspun heran. Sepupunya yang bar-bar, bermulut tajam, dan manja itu bisa membuat hati para anak kecil luluh. Tapi memang Lian bisa membuat siapa saja merasa nyaman. Marcus akui itu. Diapun juga. Maka dari itu keinginan untuk menjaga dan melindungi Lian sangatlah besar.

**

“Jelaskan!” Hardik Jungkook saat dia sudah membawa Lian ke ruangannya. Ruangan presiden direktur.

Lian tidak langsung menjawab. Dia melenggang menuju sofa empuk berwarna abu-abu itu dan merebahkan tubuhnya. Sebenarnya dia hanya bingung ingin menjelaskan dari mana.

“Lian Jeon?” Ucap Jungkook tidak sabar.

Lian menatap kakaknya sebal. Kalau Jungkook sudah memanggil nama panjangnya itu artinya Jungkook sangat kesal. Tapi apa yang membuatnya kesal? Seharusnya Lian yang kesal karena Jungkook pergi tanpa pamit. “Kau bisa sabar tidak, sih?” Sewot Lian

Jungkook menghela nafas panjang lalu duduk di samping Lian. Langsung saja dia merangkul pundak Lian posesif. Astaga, Jeon Jungkook! Dia benar-benar seperti seorang suami yang mengkhawatirkan istrinya.

“Kau terlihat sangat kesal denganku. Kenapa? Apa karena aku menyeretmu kesini dan kau tidak bisa melihat pasienku? Sebenarnya kalian ada hubungan apa? Kenapa kau bisa ada disi-”

Oh god! Jung, please! Aku akan menjelaskan semuanya. Dan ya! Aku kesal padamu karena kau pergi tanpa berpamitan denganku.” Lian memotong ucapan Jungkook dengan kesal.

Jungkook mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Dia menunggu sampai akhirnya adiknya itu mau bercerita. Tapi Lian hanya diam saja sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Melihatnya malah membuat Jungkook semakin penasaran. Dan, ya. Memang tadi pagi dia tidak berpamitan dengan Lian. Siapa yang tega mengusik tidur nyenyak Lian yang jarang sekali Jungkool lihat? Dia bahkan hanya membuka pintu kamar Lian setelah itu langsung menuju rumah sakit karena ada operasi darurat.

Oppa?” Lian memanggil kakaknya pelan.

Mendengar Lian memanggilnya dengan nada lembut sontak membuat Jungkook menoleh dan mengangkat sebelas alisnya. Bertanya melalui tatapan matanya yang berkata kenapa? Setahu Jungkook, Lian bukan gadis yang suka basa-basi.

“Apa kau akan marah kalau bocah yang tadi berada di ruangan pasienmu menginap di rumah kita?” Tanya Lian hati-hati. Takut kalau Jungkook tidak mengijinkan. Kalaupun tidak mengijinkan, Lian tetap akan membawa Fellix ke rumahnya. Jangan lupa kalau Lian gadis nekat yang tidak suka dibantah.

“Jangan basa-basi! Katakan yang sesungguhnya!” Ucap Jungkook tegas. Dia tidak suka Lian yang terlalu mengulur waktu.

Lian menghembuskan nafasnya panjang. Lalu dia menceritakan semuanya pada Jungkook. Dari saat pertama kalinya dia melihat Fellix kemarin, kemudian pertemuannya dengan Fellix hari ini hingga akhirnya dia bisa berada di ruangan itu dan terakhir Fellix yang ditinggal kakek dan neneknya ke Daegu. Semuanya dia ceritakan tanpa terkecuali. Ah! Tidak untuk ketertarikannya dengan Taehyung. Akan panjang urusannya jika dia menceritakan tentang pria itu.

Jungkook mendengarkan penjelasan adiknya dengan serius. Dia bisa melihat raut kesedihan saat Lian bercerita tentang Fellix yang sudah kehilangan ibunya. Sama seperti mereka. Dan Jungkook bisa menyimpulkan kalau Lian sudah jatuh cinta dengam bocah kecil itu. Dia tahu kalau adiknya mempunyai rasa sayang yang besar pada anak kecil. Apalagi Fellix yang bernasib sama dengannya.

“Tidak masalah. Aku juga menyukai Fellix.” Ucap Jungkook akhirnya.

Senyum di wajah Lian merekah. Dia baru akan berterimakasih saat kemudian Jungkook berkata, “Lalu siapa yang akan mengurus mereka? Kau harus bekerja. Begitu juga dengan Marcus dan Aiden. Anna? Aku tidak yakin gadis manja itu mau.”

Lian terdiam. Benar juga. Kenapa Marcus tidak berpikir sejauh itu? Dia lupa kalau sekarang sudah menjadi wanita sibuk. Pekerjaan menantinya dan dia tidak bisa menunda mereka.

“Tidak bisakah aku menyerahkan pekerjaanku pada Aiden untuk sementara waktu?” Gumam Lian putus asa.

Jungkook mengelus-elus rambut Lian. “Aku akan menyuruh Yoongi Hyung menjaga Fellix selama pulang sekolah.”

“Tapi, oppa, Fellix tidak suka bersosialisasi dengan orang asing.” Sahut Lian cepat. Masih jelas di ingatannya pertemuan pertama Marcus dan Fellix tadi siang.

Okay. Aku tetap akan bekerja. Tapi saat jam tiga, aku akan kesini untuk mengecek keadaannya. Kalau perlu aku akan membawa pelerjaanku kesini. Fellix akan kubujuk untuk bisa bersama Yoongi Oppa.” Putus Lian

“Oh, baby. Kau benar-benar mengagumkan. Saat-saat seperti ini aku malah ingin menjadikanmu istriku.” Sahut Jungkook sambil mencubit pipi Lian gemas.

“Urusi saja para penggemarmu! Apa kau selalu berpenampilan seperti ini? Penampilanmu ini bisa membuat para wanita meneteskan air liur. Kau ini sengaja atau tidak, sih?” Ucap Lian sebal sambil mengancingkan satu kancing kemeja Jungkook yang terbuka.

“Aku sudah terbiasa seperti ini, baby!” Jungkook hendak membuka kembali kancing bajunya. Namun Lian langsung memukul tangannya dan menunjukkan wajah tidak setujunya.

“Akan kubunuh wanita-wanita yang berani menggodamu.” Desis Lian dengan tatapan tajamnya.

**

Karena hari sudah larut, Jungkook dan Lian memutuskan untuk pulang setelah banyak berbincang-bincang di ruangan Jungkook. Mereka tidak hanya berdua. Tapi juga dengan Jimin meskipun tidak lama karena Jimin harus memeriksa pasiennya. Jungkook sudah memarahi Jimin karena mengatakan hal yang tidak-tidak di depan para perawat dan dokter. Beruntung Lian membela Jimin yang memang tidak tahu kalau Marcus adalah sepupunya.

Sepanjang perjalan menuju parkiran, Jungkook dan Lian selalu berpas-pasan dengan dokter lain yang kebanyakan dokter senior. Jungkook memperkenalkan Lian kepada mereka sebagai adiknya. Dan melihat hal itu secara langsung jelas membuat Lian merasa bangga dan senang. Dia bangga mempunyai kakak yang hebat dan cerdas seperti Jungkook. Diusianya yang masih muda Jungkook bisa menjadi dokter sekaligus memimpin rumah sakit milik keluarganya tersebut.

“Astaga!” Pekik Lian sambil menepuk jidatnya saat dia ingat sesuatu.

“Kenapa?” Tanya Jungkook sambil menghentikan langkahnya dan menatap Lian heran.

“Tasku dan mantelku tertinggal di ruangan Taehyung. Aku akan mengambilnya sebentar.” Jawab Lian dan pergi begitu saja meninggalkan Jungkook.

Jungkook membiarkan adiknya mengambil tasnya sendiri. Lagipula dia lelah kalau harus ikut mengambilnya. Diapun menunggu di dalam mobil tanpa tahu kalau seseorang mengikuti Lian.

**

Lian berhenti di depan ruangan Taehyung. Bahkan dia masih berada di luar ruangan tapi jantungnya sudah berdetak kencang. Tangannyapun gemetar saat hendak menyentuh knop pintu. Dia persis seperti remaja labil yang baru jatuh cinta yang hendak menemui pujaan hatinya. Kau hanya perlu masuk, mengambil tasmu, lalu pergi. Batin Lian berkata seperti itu. Tapi tubuhnya seolah kaku untuk sekedar digerakkan.

Lian menghembuskan nafas panjang berkali-kali. Berusaha menormalkan detak jantungnya dan menghilangkan rasa gugupnya. Tangannya sudah memutar knop pintu. Sangat pelan. Diapun masuk ke dalam ruangan Taehyung dengan perasaan yang tidak karuan. Sepi. Dimana Marcus dan Fellix? Jangan katakan kalau dia hanya sendirian!

Mendengar suara pintu dibuka membuat Taehyung mengalihkan pandangannya dan handphone ke arah pintu. Dia sedikit terkejut saat melihat Lian yang masuk sendirian. Namun sedetik kemudian dia sudah memasang senyumnya. Berusaha menghilangkan segala perasaan aneh yang tiba-tiba melandanya.

Lian hampir memekik kaget saat mendapati Taehyung yang ternyata sedang menatapnya dengan senyuman. Astaga! Senyum itu justru membuat Lian semakin gugup. Hatinya meleleh dan dia rasa kakinya sudah akan berubah menjadi jeli. Kenapa senyum bisa membawa dampak yang begitu hebat?

Good evening.” Sapa Lian sambil sedikit membungkuk dan memamerkan senyum manisnya. Dan Lian baru merasa kalau sapaannya barusan terdengar sangat konyol. Dia merutuki dirinya sendiri yang mengucapkan selamat sore. Memangnya dia petugas toko?

Lian berjalan canggung masuk ke ruangan VVIP itu. Tatapan Taehyung tidak lepas dari Lian. Seolah siap menerkamnya kapan saja dia mau. Dan itu membuat Lian makin tidak karuan. Taehyung berusaha menahan senyumnya saat melihat wajah gugup gadis manis itu. Lian mempunyai wajah yang enak dipandang.

Sangat terasa suasana canggung di dalam ruangan itu. Baik keduanya masih belum ada yang berniat untuk membuka pembicaraan. Lian yang sedang sibuk menutupi kegugupannya sedangkan Taehyung masih menikmati wajah gugup Lian yang membuatnya semakin cantik. Saking gugupnya, Lian sampai lupa apa tujuannya kemari. Dia melupakan sugestinya yang segera mengambil tas lalu pergi. Yang ada sekarang dia sibuk mengatur detak jantungnya.

“Sepupumu sudah pergi bersama Fellix untuk mengambil keperlian Fellix selama di rumahmu.” Taehyung akhirnya membuka pembicaraan. Matanya masih tidak lepas dari Lian.

“Aku kesini untuk mengambil tasku.” Sahut Lian yang saat itu langsung sadar apa tujuannya kemari. Diapun segera mengambil tasnya yang berada di atas sofa.

Lian mengecek isi tasnya. Bukan dia curiga kalau barang-barangnya akan hilang. Kalaupun hilang, tentu Lian tahu siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Marcus yang sangat suka mengambil ponselnya untuk membajak akun SNSnya. Sepupunya yang satu itu memang tidak diragukan lagi kejailannya. Sikapnya tidak mencerminkan usianya yang sudah dua puluh delapan.

Masih ada. Ponselnya juga masih ada. Namun dia tetap mengecek ponselnya. Dan ternyata ada beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Aiden dan Anna. Apa ada sesuatu yang penting? Tanpa mempedulikan Taehyung yang masih menikmati wajahnya, Lian menekan speed dial nomor 6 yang langsung terhubung dengan Aiden. Lian kembali mengobrak-abrik tasnya guna mencari tabletnya.

Taehyung mengerutkan keningnya saat melihat gadis di depannya yang mendadak sibuk sendiri. Dan, sial! Wajah seriusnya benar-benar seksi di mata Taehyung. Taehyung yakin ada yang aneh dalam dirinya. Tidak mungkin koma selama dua hari membuat otaknya sedikit geser.

“Ada apa? Aku tidak bisa kembali ke kantor karena ada situasi mendesak.”

Ucapan Lian membuyarkan lamunan Taehyung. Dan dia kembali melihat Lian yang sibuk dengan tabletnya. Dia penasaran seperti apa gadis di depannya ini? Apa yang membuatnya begitu sibuk? Dan… Apa yang istimewa dari Lian hingga putra dinginnya bisa luluh?

No! Aiden, I know you can handle that! Sekretaris Park bisa membantumu. Aku tidak suka bernegosiasi.” Ucap Lian yang masih sibuk dengan tablet di tangannya. Banyak sekali email masuk dari Jinyoung dan Aiden tentang beberapa proposal pengajuan kerja sama bersama perusahaannya. Melihatnya saja membuat Lian pusing.

“Aiden, tidakkah kau kasihan padaku? Aku baru saja kembali dari Swiss. Bisakah kalian membiarkanku bernafas paling tidak tiga hari?” Lian terdengar frustasi karena Aiden tetap memaksanya untuk mau bertemu dengan CEO dari salah satu perusahaan yang menginginkan kerja sama dengannya.

Taehyung tidak bisa lagu menutupi senyumnya. Menarik. Benar-benar menarik. Terlihat sekali kalau gadis di depannya ini seorang tipikal yang tegas. Tapi dia sedikit penasaran. Apa yang dia lakukan di Swiss? Dan mendengar ucapan Lian bersama seseorang di ujung telepon membuat Taehyung yakin kalau dia bukan gadis main-main.

“Terserah!” Lian mengakhiri panggilannya dengan kesal. Dia memasukkan ponselnya dengan asal dan juga tabletnya. Saat itu juga dia baru sadar kalau masih berada di ruang rawat Taehyung. Dia menatap Taehyung yang sedang menatapnya dengan heran.

“Maaf. Kau pasti terganggu.” Ucap Lian kikuk.

“Tak apa.” Sahut Taehyung singkat. Dia berusaha menghilangkan rasa gugupnya karena ketahuan tengah menatap Lian.

“Kalau begitu aku pergi sekarang. Tenang saja. Fellix akan aman bersamaku.” Ucap Lian sambil menyampirkan tasnya ke lengannya.

“Ah, ya. Terimakasih sebelumnya.” Sahut Taehyung kikuk. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Aku senang bisa membantu. Hope you better soon, Tuan Kim.” Balas Lian sambil sedikit membungkukkan badannya. Kemudian dia keluar dari kamar rawat Taehyung.

Taehyung masih menatap kepergian Lian sampai pintu kamar rawatnya tertutup. Rasa penasaran Taehyung akan sosok Lian makin besar. Dia ingin tahu apa yang dilakukan Lian hingga bisa meluluhkan hati Fellix yang sudah sedingin kutub selatan. Taehyung yang statusnya ayah saja tidak bisa mencairkan hati Fellix.

Apapun yang dilakukan Lian, Taehyung sangat berterimakasih. Dan mulai sekarang dia harus belajar berbicara lancar di depan Lian. Gadis itu sungguh membuat Taehyung kacau. Kata-katanya hilang semua.

Mimpi itu sangat nyata.

.

.

.

.

.

.

To  be continue~

Posted in Chapter, Family, Fool For You, Married Life

Fool For You Part 3


Fool For You Part 3

Author : brokenangel

Cast : Lian Jeon – Kim Taehyung – Fellix Kim – Jeon Jungkook – Bae Irene – Park Chanyeol – Park Jinyoung –  Anna Boulstern – BTS Member – GOT7 Member

Genre : Romance, Action, Honor, Married Life

Rate : PG-15

.

.

.

.

.

“Apa yang kau lakukan disini sendirian, boy?” Tanya Lian mencoba menutupi rasa gugupnya.

Fellix kembali menundukkan wajahnya. Seolah enggan menanggapi Lian. Lian hanya mengangkat sebelah alisnya karena diabaikan oleh Fellix. “Siapa yang menjemputmu?” Tanya Lian lagi.

“Eomma.” Lirihnya sambil menggenggam ponselnya erat. Lian semakin dibuat bingung dan sedih dalam waktu yang bersamaan.

“Apa Eommamu sudah datang? Kalau belum, aku akan menemanimu.”

“Eomma tidak akan datang.” Sahut Fellix cepat.

Lian mendelik kaget. Apa maksudnya? Sejenak Lian menatap Marcus yang menunggu di mobil. Dia memberi isyarat agar menunggunya sebentar.

“Eomma sudah meninggal.”

Story Begin~

Mendengar tiga kalimat itu langsung membuat Lian mematung seketika. Suara bising di sekitarnya tidak bisa tertangkap indera pendengarannya. Pandangan Lian kosong. Pikirannya kacau. Tiga kalimat yang terucap dari bibir seorang bocah lima tahun yang berhasil membuat Lian kacau. Hati dan pikirannya. Semua ingatan kelam sebelas tahun silam kembali memenuhi kepalanya. Sekali lagi, sebuah kenyataan pahit menghantamnya cukup keras.

Lena sudah meninggal mengenaskan di depan matanya dengan genangan darah dimana-mana. 

Eomma sudah meninggal.

Tiga kalimat itu terus berputar di kepala Lian. Nada datar dan wajah sedih seorang bocah lima tahun di depannya menjadi pusat perhatiannya saat ini. Air mata sudah menggenang di sudut matanya. Jeritan Lena bercampur suara petir, bunyi pedang yang saling beradu, gemuruh hujan, dan suasana gelap itu kembali memenuhi kepala Lian. Tatapan sayu Lena dan hembusan nafas terakhirnya. Lian hampir gila setiap kali mengingat kejadian itu. Dia berulang kali memaki tindakan heroik Lena malam itu.

Seharusnya mereka kabur atau bersembunyi. Bukan malah Lena yang menyembunyikannya di bawah ranjang dan bertarung dengan para penjahat itu. Lian selalu menyalahkan dirinya yang tidak bisa membantu Lena. Disaat Lena sedang bertaruh dengan nyawanya untuk melindunginya, justru dia hanya menyaksikan sambil menangis.

Entah sejak kapan air mata sialan ini jatuh. Lian bahkan tidak sadar kalau saat ini dia masih berada di tempat umum. Seluruh perhatiannya hanya terpusat pada bocah malang di depannya yang tengah menundukkan kepalanya sambil mengusap-usap layar ponselnya. Membayangkan bocah sekecil Fellix yang sudah tidak mempunyai ibu membuat Lian makin merasakan nyeri di dadanya. Hingga sebuah spekulasi itu muncul di kepalanya begitu saja.

Mungkinkah senyum bocah lima tahun ini hilang karena kepergian ibunya? Kepergian ibunya pasti juga membawa serta senyum Fellix sehingga Fellix hanya menampilkan wajah dinginnya. Pasti Fellix sangat kesepian. Diumurnya yang masih kecil seharusnya dia bisa merasakan bagaimana diantar dan dijemput oleh sosok ibu tapi Fellix bahkan tidak pernah merasakannya sekalipun.

Lian merasa kecil seketika. Dia lebih beruntung dari Fellix. Tapi dia tidak lebih kuat dari bocah kecil itu. Lian hanya sibuk menyalahkan diri sendiri dan menghindar dari ketakutan. Bukannya menerima kenyataan. Tangan Lian terulur untuk mengelus-elus rambut coklat Fellix. Rasa ingin berada di samping Fellix tiba-tiba saja muncul. Lian ingin mengembalikan senyum Fellix.

Merasakan sebuah usapan hangat di kepalanya, Fellix langsung mendongakkan wajahnya. Dan betapa terkejutnya dia saat melihat Lian menangis. Fellix langsung menangkup wajah Lian dengan tangan mungilnya. “Noona? Kenapa noona menangis?” Tanyanya cemas.

Lian tidak dapat menahan senyumnya melihat wajah cemas Fellix. Bagus. Dia bisa melihat ekspresi Fellix yang lain. Lian memegang tangan kecil Fellix yang menangkup wajahnya sambil menghapus air matanya. “Aku teringat dengan Mom.” Jawab Lian jujur sambil berusaha memaksakan senyum.

“Pasti Fellix membuat noona sedih.” Ujar Fellix pelan sambil mengangkat tangannya untuk menghapus air mata Lian. “Dimana ibu noona?” Tanya bocah kecil itu kemudian.

Mendengar pertanyaan Fellix membuat Lian harus kembali menahan air matanya yang siap meledak. Dia harus kuat. “Mom sudah meninggal.”

Fellix sedikit membulatkan matanya begitu mendengar ucapan Lian. Kemudian terlihat jelas sekali wajah penyesalan dari Fellix. “Mianhae, noona. Aku tidak bermaksud membuat noona menangis.” Lirihnya sambil menundukkan kepalanya.

Lian tersenyum tipis melihat penyesalan dari Fellix. Dia mengusap-usap kepala Fellix membuat Fellix kembali mendongak menatapnya. “I’m fine, boy. Hey! Jangan merasa bersalah.”

“Tapi noona menangis. Aku tidak suka melihat noona menangis.” Sahut Fellix masih dengan wajah penyesalannya. Lian bahkan dibuat gemas melihatnya. Fellix terlihat lebih tampan jika ekspresif.

Sudah hampir setengah jam Marcus menunggu sepupunya itu di dalam mobil. Diapun masih bingung ada hubungan apa Lian dengan bocah kecil itu sampai Lian rela turun dari mobil. Seingatnya Lian tidak mempunyai teman di Korea karena memang ini hari pertama Lian di Korea setelah beranjak dewasa. Jadi mana mungkin Lian punya hubungan dengan bocah lima tahun itu. Dia mengenal Lian dengan baik dan hampir semua teman-teman Lian dia tahu.

Siapapun bocah itu, Marcus tidak terlalu mau ambil pusing. Matanya tetap awas memperhatikan suasana sekitar. Suasana ramai seperti ini biasanya akan mudah bagi musuh untuk memata-matai atau parahnya berbuat jahat. Jadi, Marcus tetap harus siaga dibantu beberapa kawannya yang berada tak jauh dari mobilnya.

Marcus kembali mengawasi Lian. Sebuah senyum tipis terbit dari bibir tebalnya. Lian benar-benar penyayang anak kecil. Lian bisa tersenyum lebar ketika bersama anak kecil. Seumur hidupnya, Marcus tidak pernah menemukan manusia berhati mulai dan mempunyai jiwa sosial tinggi seperti Lian Jeon. Jiwa sosial Lian tidak main-main. Apalagi dengan anak kecil dan manula. Lian sangat ringan tangan. Bahkan Jungkook sampai takut kalau Lian dimanfaatkan karena saking baiknya.

Marcus baru akan memejamkan matanya saat matanya menangkap sesuatu yang membuatnya melotot kaget. Ini buruk! Apa yang terjadi sampai membuat Lian menangis di depan umum? Bagi siapapun yang mengenal Lian dengan baik -seperti Jungkook, Frank, Anna, Aiden, dia, Kate, Jin, dan teman-teman dekat lainnya- tidak ada yang lebih buruk dari melihat Lian menangis. Mereka sangat tahu bagaimana terpuruknya gadis itu saat kematian Lena hingga membuat Lian harus terbaring di rumah sakit selama tiga hari dengan vonis tifus.

Marcus memakai kaca mata hitamnya dan turun dari mobil. Pekikan dari para gadis langsung terdengar begitu Marcus keluar dengan penampilan yang bisa membuat pada gadis meneteskan air liur. Marcus tidak mempunyai waktu untuk meladeni mereka. Dia melangkah lebar mendekati Lian.

“Siapa yang menjemputmu? Kenapa kau disini sendirian?” Tanya Lian begitu sadar kalau Fellix hanya seorang diri.

“Aku memang sendiri. Noona mau pergi kemana?” Jawab dan tanya balik Fellix.

“Li? Are you okay?” Pertanyaan Marcus menginterupsi pembicaraan Lian dan Fellix. Dia memegang pundak Lian dan menatap Lian cemas.

Lian balas menatap Marcus dengan tatapan protes seolah mengatakan, ‘bukankah aku bilang tunggu sebentar?’. Tapi sarkasmenya tersebut tidak membuat kecemasan Marcus berkurang. Bahkan dia tidak peduli dengan tatapan protes Lian. Sementara itu Fellix tampak menatap Marcus dengan tatapan tidak suka. Dia tidak suka Marcus yang tiba-tiba datang dan mengganggu pembicaraannya dengan Lian.

Tatapan Marcus beralih pada bocah kecil di samping Lian yang menatapnya dingin. Rasa sebal langsung saja menyerangnya. “Kau yang membuat Lian menangis?” Todongnya dengan wajah segarang mungkin.

“Ya, Marcus!” Lian memukul lengan Marcus.

Fellix memutar bola matanya malas. Dia balas menatap Marcus tanpa rasa takut sedikitpun. “Kau siapa?” Tanyanya datar.

Marcus tercengang mendengar pertanyaan singkat bocah lima tahun itu. Bagaimana bisa bocah sekecil itu tidak takut dengannya? Dan bagaimana bisa dia mati kutu hanya karena pertanyaan dingin dari seorang bocah lima tahun? Lian spontan menutup mulutnya agar tawanya tidak menyembur begitu melihat wajah tercengang Marcus. Baru kali ini seorang Marcus Cho atau Cho Kyuhyun dibuat tidak bisa berkata-kata.

Tentu saja Lian tidak lupa kalau Marcus mempunyai rasa tidak suka yang teramat besar pada makhluk polos tak berdosa yang bernama anak kecil.

Mereka merepotkan.

Sebuah alasan tidak masuk akal dari seorang Marcus. Diusianya yang dua puluh delapan, seharusnya Marcus sudah bisa menggendong bayi. Tapi nyatanya pada makhluk tak berdosa itu saja Marcus sangat tidak menyukainya.

“Ya! Kau…”

“Fellix, dia sepupuku. Namanya Cho Kyuhyun.” Lian memotong ucapan Marcus. Dia sedikit memberikan pelototan pada Marcus untuk menjaga sikapnya pada anak-anak.

Diam-diam Fellix bernafas lega mendengar kalau pria itu ternyata sepupu Lian. Bukan seseorang yang Fellix tidak harapkan. Kekasih mungkin. Karena entah mengapa sejak pertama kali melihat Lian, Fellix langsung ingin menjadikan Lian sebagai seseorang yang bisa selalu dekat dengannya. Yang jelas hanya menjadi miliknya seorang.

Beralih dari Fellix yang berhasil membuatnya tercengang beberapa saat, Marcus kembali menatap Lian cemas. Dia menangkup kedua pipi Lian. Membuat Lian mendelik kaget. “Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis? Siapa yang menyakitimu?” Tanya Marcus beruntun.

Lian mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekelilingnya dan sadar kalau saat ini tengah menjadi pusat perhatian. “Aku baik-baik saja. Dan lepaskan tanganmu. Kita dilihat banyak orang.” Desis Lian geram.

Marcus melihat sekitarnya dan langsung meringis saat tahu kalau mereka menjadi pusat perhatian. Diapun melepaskan tangannya dari pipi Lian. Sementara itu Lian hanya bersungut-sungut karena dia menjadi pusat perhatian saat ini. Pasti mereka mengira kalau dia dan Marcus suami-istri sedangkan Fellix anak mereka.

Lian sudah kebal menjadi kekasih bayangan Marcus. Dia selalu dikira kekasih Marcus karena memang saat di kampus dulu mereka selalu bersama. Berangkat, pulang, makan, dan melakukan aktivitas lain bersama-sama. Apalagi sikap Marcus yang sangat protektif dan jail membuat anggapan kalau mereka sepasang kekasih semakin kuat. Dan Lian harus menjadi bulan-bulanan para penggemar Marcus. Dia mendapat teror dimana-mana.

Marcus memang playboy cap kadal. Dia suka tebar pesona. Berbeda dengan Aiden yang kalem dan berwibawa. Membuat pria itu juga menjadi idola di universitasnya. Marcus dan Aiden memang beda universitas.

“Tunggu saja di mobil.” Ucap Lian kesal.

“Oke! Dan kau anak kecil! Jangan membuat Lian menangis.” Marcus berucap sewot pada Fellix.

“Ya! Kau harus ber-”

Ucapan Lian terhenti seketika saat dia merasakan ciuman hangat di keningnya. Pekikan heboh dari para gadis yang melihat langsung terdengar. Dengan gerakan slow motion Lian mendongakkan kepalanya menatap Marcus yang tersenyum miring menatapnya. Mulut Lian masih setengah terbuka.

“Memberi mereka tontonan sedikit sepertinya menyenangkan.” Bisik Marcus sambil mengacak-acak rambut Lian. Lalu dia meninggalkan Lian yang masih membeku di tempatnya.

Marcus tersenyum penuh kemenangan melihat wajah shock Fellix dan Lian. Desas-desus dari para gadis tentang betapa romantisnya dia masih terdengar. Dan itu membuat Marcus semakin besar kepala. Sementara itu Fellix juga masih tampak kaget setelah melihat adegan beberapa detik yang lalu. Benarkah mereka bersaudara? Itulah yang tiba-tiba muncul di kepalanya.

Lian seolah tersadar dari lamunannya. Dia memberikan death glare pada Marcus. Aish! Sekarang dia benar-benar menjadi pusat perhatian. Lihat! Bahkan beberapa gadis menatapnya sinis. Marcus benar-benar keterlaluan. Memang dasar playboy ulung. Tidak cukup dengan para gadis di luar sana, sekarang suadaranya juga dirayu.

Lian beralih menatap Fellix yang masih tampak kaget. What the…!!! Fellix yang masih kecilpun melihatnya. Sekarang apa yang harus Lian katakan padanya? Lian menghembuskan nafas panjang dan berusaha tersenyum.

“Benarkah kalian hanya bersaudara?” Tanya Fellix tiba-tiba.

“Ya?” Lian spontan memekik. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Marcus memang seperti itu. Lupakan saja.” Jawab Lian kikuk.

Fellix beralih menatap Marcus sebal. Dia tidak terima kalau Lian dicium orang lain.

“Fellix, dimana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang.” Lian mengalihkan topik pembicaraan.

“Aku tidak ingin pulang.” Ucap Fellix pelan sambil menundukkan kepalanya. Detik itu juga layar handphone Fellix berkedip tanda ada panggilan masuk. Tapi Fellix tidak langsung menjawab panggilan itu. Hanya memandanginya sendu.

“Kenapa tidak dijawab?” Tanya Lian sambil memegang pundak Fellix. Sekilas dia membaca nama ‘Haraboeji‘ tertera di layar ponsel Fellix. Pasti kakek Fellix kawatir.

“Bagaimana kalau kau ikut kami saja? Kau tidak boleh pergi sendirian di tempat ramai. Kakekmu pasti sangat kawatir sekarang.”

Fellix mengangkat kepalanya dan menatap Lian dengan ekspresi tak terbaca. Namun kemudian bocah lima tahun itu berdiri dan menggandeng tangan Lian. Menandakan kalau dia menerima ajakan Lian. Lian tersenyum senang dan langsung menuju mobil bersama Fellix.

**

Di tempat lain, Taejun tampak sangat kawatir karena Fellix tidak bisa dihubungi. Cucunya itu tiba-tiba menghilang saat supir menjemputnya. Dan saat ini Fellix tidak menjawab telepon darinya. Semua guru, teman-teman Fellix, dan Sohyun, kakak Taehyung, juga sudah Taejun hubungi. Tapi mereka tidak tahu keberadaan Fellix.

Fellix masih kecil jika harus berkeliaran sendiri di tempat ramai. Bocah itu tidak pandai berkomunikasi. Taejun takut kalau Fellix akan dibawa orang jahat. Cucunya masih sangat polos untuk tahu dunia luar yang kejam. Taejun sudah memerintahkan beberapa orang-orang kepercayaannya untuk ikut mencari Fellix. Tapi sampai saat ini belum ada kabar baik.

Younbi tak kalah cemasnya. Bahkan wanita paruh baya itu sudah menangis sejak supir mereka memberitahu kalau cucunya tidak ada di tempat murid menunggu jemputan. Younbi sangat takut kalau cucunya diculik oleh pesaing bisnis Taehyung. Hal itu bisa saja terjadi mengingat kondisi Taehyung yang seperti ini juga karena mereka. Kalau Taehyung tahu putranya hilang pasti dia akan sangat marah.

Yeobo, apa belum ada kabar?” Tanya Younbi lagi.

“Bersabarlah. Fellix akan baik-baik saja.” Jawaban yang sama yang diberikan Taejun saat Younbi bertanya.

Jawaban itu tidak membuat Younbi lebih baik. Justru dia semakin takut kalau tebakannya benar. “Cucuku…” Gumam Younbi sambil meremas-remas jarinya.

“Halo?” Younbi langsung mengangkat kepalanya saat mendengar suara suaminya menjawab telepon. Dia langsung mendekati Taejun.

“Astaga! Apa Fellix baik-baik saja, nak?” Tanya Taejun

Younbi menatap suaminya penasaran. Apa Fellix baik-baik saja?

“Lalu dimana dia sekarang?” Tanya Taejun lagi. Dia memberikan isyarat pada sang istri kalau Fellix baik-baik saja. Younbi sedikit bisa bernafas lega. Setidaknya Fellix baik-baik saja.

“Fellix sedang membeli makanan, sir. Kami akan ke rumah sakit setelah ini.”

“Syukurlah kalau Fellix bersamamu. Terimakasih, nak. Kami sangat takut kalau terjadi hal buruk pada Fellix. Tapi sekarang aku lega karena Fellix bersama gadis baik sepertimu.” Ucap Taejun

“No problem, sir. Aku senang bisa bertemu Fellix.”

“Kalau begitu kami tunggu kedatangan kalian. Sekali lagi terimakasih.”

Taejun bernafas panjang setelah sambungan telepon terputus. Dia menatap Younbi dengan senyum lebar. “Gadis itu benar-benar istimewa.”

**

Lian memasukkan ponsel Fellix ke dalam tasnya. Kakek Fellix pasti sangat kawatir tadi. Pandangan Lian beralih pada Fellix yang sedang membeli makanan bersama Marcus di sebuah restoran. Saat sedang menunggu mereka, tiba-tiba saja ponsel Fellix yang tertinggal bergetar. Tanpa pikir panjang Lian langsung mengangkat panggilan itu. Dia tidak mau membuat kakek Fellix semakin kawatir.

“Seminggu lagi aku ulangtahun tapi Appa belum bangun. Setiap kali aku pulang aku ingat Appa. Aku takut kalau Appa tidak bangun. Fellix memang tidak pernah menuruti kata Appa, tapi Fellix sangat mencintai Appa.”

Lian masih ingat ucapan Fellix tadi. Wajah sedih dan takut dari seorang bocah lima tahun. Lian semakin merasa ingin menjaga Fellix dan membuat bocah itu tersenyum. Bagaimanapun juga Lian pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan dan takut. Dan perasaan itu juga dirasakan Fellix yang masih kecil.

Ucapan Fellix tadi juga membuat seorang Marcus luluh dengan anak kecil. Wajah kasihan Marcus pada Fellix masih Lian ingat betul. Hingga akhirnya kedua pria berbeda umur itu berada di restoran menunggu makanan pesanan mereka. Marcus tiba-tiba saja mengajak Fellix untuk membeli es krim yang kemudian langsung disetujui Fellix. Lian sengaja menolak untuk ikut turun dengan alasan lelah. Padahal dia ingin mengakrabkan Marcus dengan Fellix.

Lamunan Lian terbuyar saat mendengar teriakan Marcus. Rupanya mereka sudah selesai membeli makanan.

“Hey, anak nakal! Jangan berlari! Kau bisa jatuh.” Tegur Marcus pada Fellix yang sedang berlari menuruni tangga.

Mendengar teguran Marcus, Fellix langsung berhenti. Dia menunggu Marcus tiba di sampingnya. Tangannya memegang sebuah es krim cone rasa coklat yang hampir meleleh. Sedari tadi Fellix ingin menanyakan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Namun ragu.

Ahjussi!” Panggil Fellix

“Apa?” Sahut Marcus ketus.

“Kenapa ahjussi mencium noona? Bukankah kalian bersaudara?” Tanya Fellix dengan wajah sedikit kesalnya.

Marcus yang mendengar pertanyaan Fellix spontan tertawa. Dia sudah menduga kalau Fellix akan bertanya seperti itu. Lalu dia jongkok di depan Fellix dan mengacak-acak rambut Fellix gemas. “Aku menciumnya karena menyayanginya.” Jawab Marcus

“Tapi kenapa harus mencium?” Tanya Fellix sewot.

“Ada tiga jenis ciuman. Kening, pipi, dan bibir. Ciuman di kening menandakan kalau kau menyayanginya. Tapi kalau ciuman di bibir dan pipi menandakan kalau kau mencintainya.” Jawab Marcus enteng. Seolah sedang menjelaskan pada teman sebayanya. Padahal yang saat ini bersamanya adalah Fellix. Seorang bocah lima tahun. Dan Marcus membicarakan ciuman dan cinta.

Fellix mengerutkan keningnya bingung. Dia tidak paham sama sekali. “Memangnya cinta dan sayang berbeda?” Tanya Fellix lagi. Dia melupakan es krimnya yang susag mencair dan mengotori tangannya.

“Sayang itu perasaan yang dimiliki semua orang. Misalnya kau menyayangi Lian. Tapi cinta-”

“Apa kalian akan membuatku menunggu lama?”

Seruan Lian memotong pemjelasan Marcus. Dan hal itu membuat Fellix sedikit kecewa. Dia masih penasaran akan satu hal itu.

“Nah, tuan putriku sudah menunggu. Kau harus cari tahu sendiri apa itu cinta. Kau akan menemukan jawabannya dengan mudah. Tapi, jangan tanyakan pada Lian. Aku bisa masuk rumah sakit kalau kau bertanya padanya. Arraseo?” Marcus mengacak-acak rambut Fellix gemas. “Kajja!” Seru Marcus sambil menggandeng tangan Fellix.

**

Tidak membutuhkan waktu lama, merekapun sampai di rumah sakit. Mereka langsung berjalan beriringan menuju lantai dua puluh enam tempat para pasien VVIP dirawat. Sepanjang lobi, mereka menjadi pusat perhatian para pengunjung rumah sakit dan beberapa perawat. Tak sedikit yang berdecak iri dengan keharmonisan mereka. Mereka berpikir kalau mereka adalah keluarga.

Lian mencoba untuk mengabaikan tatapan para pengunjung rumah sakit. Dia hampir gila karena mendengar bisikan mereka yang malah terdengar seperti jeritan bagi Lian. Kalau saja bukan di tempat umum, Lian sudah dapat memastikan kalau wajah Marcus yang selalu diagung-agungkan para kaum hawa itu hancur.

Ingin rasanya Lian cepat sampai di ruangan tempat ayah Fellix dirawat. Setelah itu dia ingin menemui Jungkook dan mengadu perbuatan Marcus padanya. Selain itu dia ingin protes karena Jungkook pergi begitu saja tanpa berpamitan padanya.

Terlalu banyak berpikir membuat Lian tidak sadar kalau dia sudah berada di depan pintu kamar VVIP 27. Kemudian Marcus membuka pintu itu. Seperti dugaan Lian. Di dalam ada kakek dan nenek Fellix dan seorang pria seumuran Jimin terbaring di ranjang rumah sakit dengan beberapa alat medis yang terpasang di tubuhnya. Seperti judulnya. Kamar VVIP ini memang sangat luas dan dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap. Hanya manusia berdompet tebal yang dapat berada di kamar mewah ini.

Marcus dan Lian membungkuk hormat sambil mengucapkan salam kepada kakek dan nenek Fellix. Merekapun masuk ke dalam kamar itu. Suara nyaring pendeteksi jantung itu langsung terdengar.

“Fellix sayang! Kau dari mana saja? Astaga!” Nenek Fellix langsung mendekati Fellix dan memeluknya. “Kau tidak terluka, kan? Tidak ada yang menyakitimu? Cucuku! Halmoei sangat takut kau kenapa-napa.” Younbi memeluk Fellix dengan erat.

Mianhae, halmoeni. Aku janji tidak akan mengulangi lagi.” Ucap Fellix pelan sambil menundukkan kepalanya.

“Sudah kubilang cucuku akan baik-baik saja.” Taejun mengusap-usap kepala Fellix gemas.

Younbi berdiri dan beralih mendekati Lian. Lalu wanita paruh baya itu memeluk Lian tiba-tiba. Membuat Lian sedikit kaget.

“Terimakasih, nak. Terimakasih sudah membawa cucuku dengan selamat.” Ucap Younbi

Dengan canggung, Lian mengelus-elus punggung Younbi sambil berbisik sama-sama. Berada dalam pelukan nenek Fellix tiba-tiba saja membuat Lian ingat dengan Lena. Lagi. Matanya sudah memanas dan kalau berkedip sekali saja, Lian yakin air matanya akan keluar. Marcus langsung menggelengkan kepalanya saat tahu kalau sepupunya itu akan menangis.

Halmoeni, jangan memeluk noona terlalu lama. Noona bisa sesak nafas.” Celetuk Fellix yang kemudian membuat Younbi melepas pelukannya pada Lian dan menatap Fellix dengan mata berkaca-kaca.

Benarkah yang baru saja berbicara padanya Fellix? Cucunya? Nyatakah yang saat ini dia lihat? Younbi kembali melihat wajah berbinar Fellix setelah tiga tahun kematian Yomi, ibu Fellix. Selama ini Fellix tidak pernah bicara lebih dari tiga kata kepada siapapun. Bahkan bocah lima tahun itu tidak pernah mau menatap lawan bicaranya saat bicara. Tapi kali ini Younbi melihat sesuatu yang berbeda dari cucunya.

Younbi tidak bisa berkata-kata dan hanya bisa mengelus-elus kepala Fellix. Dalam hatinya dia sangat berterimakasih karena cucunya kembali seperti dulu.

“Apa itu ayahmu? Kau tidak menyapanya?” Marcus berusaha mencairkan suasana dengan bertanya pada Fellix.

Mendengar pertanyaan Marcus, sontak seluruh perhatian langsung tertuju pada sosok pria yang terbaring tanpa terusik sedikitpun. Fellix berjalan mendekati ayahnya dan langsung menggenggam tangan Taehyung. Keempat manusia dewasa itu juga ikut mengelilingi ranjang Taehyung.

Appa, mianhae karena aku pulang terlambat. Tapi aku baik-baik saja. Aku juga mengajak teman baruku. Appa harus bangun agar aku bisa mengenalkan Appa pada Lian noona.” Ucap Fellix sambil menatap ayahnya dengan sedih. Lian yang mendengar ucapan Fellix hanya tersenyum pilu.

Appa, Lian noona sangat baik dan cantik. Bahkan dia juga mengantar Fellix sampai sini. Appa akan menyesal kalau tidak melihat Lian noona.” Kali ini Fellix berbicara dengan wajah binar. Bocah lima tahun itu terlihat antusias saat menceritakan sosok Lian.

Siapapun yang mendengar ucapan Fellix pasti akan langsung merasa iba. Bahkan Younbi tidak bisa lagi menahan air matanya saat melihat cucunya berceloteh panjang lebar pada Taehyung. Di sampingnya, Taejun mengelus-elus pundak Younbi. Menenangkan istrinya. Marcus dan Lian nampaknya juga merasakan hal yang sama dengan Younbi. Lian bahkan hanya menundukkan kepalanya, tidak sanggup melihat pemandangan di depannya.

“Putraku, cepatlah sadar. Kau harus melihat putramu tersenyum bahagia. Dia sangat bahagia. Kau harus segera sadar, nak. Demi putramu.” Ucap Younbi dalam hati.

“Taehyung-a, tidakkah kau ingin melihat senyum manis putramu? Putramu bisa tersenyum lagi. Dia menemukan kebahagiaannya, Taehyung-a. Cepatlah sadar. Kau harus melihat gadis pembawa kebahagiaan Fellix.” Ucap Taejun dalam hati.

“Nak, apa aku bisa merepotkan kalian lagi?” Taejun memecah keheningan. Dia menatap Lian dan Marcus bergantian.

“Jangan sungkan, tuan. Kami memang  sedang membolos kerja.” Jawab Marcus sambil sedikit bergurau. Dia melirik Lian yang tampak tidak fokus.

“Kami akan makan siang sebentar. Bisakah kalian menjaga putraku dan Fellix sebentar?” Tanya Taejun

“Tentu, tuan. Kami akan menjaga mereka.” Jawab Marcus

“Terimakasih, nak. Kalau begitu kami pergi dulu.” Ucap Taejun

Marcus membungkukkan badannya sebelum pasangan suami istri itu pergi. Kemudian pandangannya beralih pada sepupunya yang tampak tidak fokus. Dia menghela nafas panjang saat tahu kalau Lian fokus menatap pada sosok di depannya yang terbaring di ranjang. Diapun memutuskan untuk duduk di sofa sampai Lian tersadar dari lamunannya.

Marcus bukan orang awam mengenai cintai dan teman-temannya. Dia tahu arti tatapan Lian. Tatapan yang tidak lepas dari sosok itu dan berhasil menyedot perhatiannya.

Lian tidak tahu apa yang terjadi padanya. Semua inderanya tidak berfungsi dengan baik saat matanya melihat wajah pucat dari pria di depannya yang masih terpejam.  Pusat perhatiannya tertarik pada Taehyung yang bahkan masih dalam posisi koma. Lian dapat melihat kalau Fellix mempunyai bentuk hidung dan mata yang sama dengan ayahnya. Semua yang ada pada wajah Taehyung tergambar sempurna. Bibir tebalnya, hidung mancung, rahang tegas, dan bola mata yang tertutu itu. Pasti di dalamnya mempunyai warna yang indah.

Lian menggeleng-gelengkan kepalanya saat mulai berkhayal yang tidak-tidak. Mana mungkin dia tertarik pada pria yang bahkan sedang koma? Lian tidak pernah merasa penasaran pada pria. Dia tidak pernah terang-terangan menatap pria. Tapi kali ini seorang pria yang bahkan sedang koma mampu menyedot perhatiannya.

Noona?” Panggil Fellix sambil menarik kemeja Lian.

Entah karena suara Fellix yang terlalu kencang atau memang reaksi Lian yang berlebihan. Tapi yang jelas Fellix memanggilnya tidak terlalu kencang. Lian terlalu fokus memperhatikan Taehyung hingga dia sangat kaget saat Fellix memanggilnya. Dia bahkan memegang dadanya karena saking kagetnya.

“Ya?” Sahut Lian gugup sambil mengusap-usap kepala Fellix.

Di tempatnya, Marcus menahan tawanya melihat ekspresi Lian yang gugup karena kedapatan Fellix sedang melihat ayahnya. Marcus yakin setelah ini akan ada sesuatu yang terjadi pada Lian.

Noona melamun? Apa yang noona pikirkan?” Tanya Fellix polos.

“Tidak. Aku tidak memikirkan apa-apa. Ah! Bukankah kau belum makan siang? Ayo makan dulu.” Lian mengalihkan pembicaraan dan segera menggandeng tangan Fellix untuk bergabung bersama Marcus.

“Apa noona mau menyuapi Fellix?” Tanya Fellix sambil menatap Lian penuh harap.

“Tentu saja.” Jawab Lian sambil membuka makanan yang dibeli Marcus dan Fellix tadi.

**

“Jeon Jungkook!” Seru Jimin dambil membuka ruangan dokter Jungkook dengan kasar.

Jimin mengumpat kala tidak mendapati Jungkook di ruangannya. Dia menelusuri ruangan Jungkook yang lebih luas dari ruangannya. Lagi-lagi Jimin mengumpat saat sadar kalau ruangan Jungkook memiliki fasilitas lengkap. Bahkan ruangannya tidak memiliki kulkas dan sofa empuk seperti yang dimiliki Jungkook. Mungkin setelah ini dia akan minta kulkas untuk ruangannya.

Kembali lagi pada Jimin. Pria berwajah baby face itu membuka kamar mandi di ruangan ini dengan kasar tanpa peduli apa di dalam ada orang atau tidak. Di kamar mandipun tidak ada sosok yang dia cari. Dengan langkah terburu-buru, Jimin keluar dari ruangan Jungkook dan mencari di tempat lain.

Sial. Saat ada berita penting saja Jungkook sangat sulit ditemukan. Pria yang lebih muda darinya dua tahun itu memang mempunyai kesibukan yang tiada duanya.

Jimin mendekati sekumpulan perawat dan dokter yang sedang bergosip di meja resepsionist.

“Oh, Dokter Park! Ada apa? Kau terlihat terburu-buru?” Tanya salah satu dokter.

“Kalian lihat Jungkook?” Tanya Jimin tanpa basa-basa dan tanpa dosa.

Bukannya langsung menjawab, para perawat dan dokter itu malah saling bertatapan. Benarkah Jimin mengatakan Jungkook? Presdir mereka? Orang yang paling dihormati di rumah sakit ini?

“Apa maksudmu Presdir Jeon?” Tanya salah satu perawat.

Jimin menatap perawat itu geram. “Terserah kalian memanggilnya siapa! Kalian lihat Jungkook tidak?” Tanyanya lagi jengkel.

Sekali lagi mereka saling berpandangan. Kenapa dia? Pikir mereka dalam hati. Dari sekian banyak dokter baru kali ini mereka menemukan dokter seperti Jimin yang cenderung tidak mau tahu dan terkesan kurang ajar. Bahkan baru saja dia memanggil presdirnya hanya dengan nama.

Bohong kalau mereka tidak takut dengan Jimin. Pasalnya ayah Jimin adalah salah satu dokter senior terbaik sekaligus ketua manager di rumah sakit. Siapa yang berani main-main dengan anak orang penting rumah sakit ini? Tapi sekalipun Jimin adalah anak dari ketua manager rumah sakit ini, tetap saja Jimin harus hormat dengan presdirnya. Ayahnya saja sangat menghormati Jungkook. Kenapa Jimin tidak?

Jimin mulai hilang kesabaran saat yang dia mintai jawaban hanya diam saja. “Ya! Kalian mendengarku tidak?” Serunya

“Itu…” Jawab perawat yang lain sambil menunjuk ke belakang.

Jimin berbalik dan melotot sebal saat melihat Jungkook baru saja keluar dari ruang operasi. “Ya! Jeon Jungkook!” Serunya sambil berjalan cepat menghampiri Jungkook yang sedang melepas masker, kaus tangan, dan jas operasinya.

Para perawat dan dokter yang mendengar bagaimana Jimin memanggil Jungkook hanya memekik kaget. Mereka hanya bisa berdoa dalam hati agar dokter muda satu itu bisa tetap bekerja di rumah sakit ini.

Jungkook berjingkat kaget saat mendengar namanya dipanggil dengan nyaring. Dia mengelus-elus dadanya dan menatap jengkel pada Jimin yang sudah berada di depannya dengan nafas ngos-ngosan.

“Ada apa, Dokter Park?” Tanya Jungkook berusaha terlihat wibawa.Bukan berusaha. Memang perawakannya sudah wibawa.

“Aku tahu kalau Lian hanya gadis polos dan baik. Dan aku juga tahu kalau kau sangat menjaga Lian. Tapi-”

Hyung! Bisakah langsung pada intinya?” Potong Jungkook sebal.

Dia takut terjadi sesuatu pada Lian karena wajah Jimin yang terlihat sangat serius.

Para perawat dan dokter tampak dibuat terkejut lagi saat mendengar Jungkook memanggil Jimin dengan sebutan hyung. Apa mereka sedekat itu hingga hanya berbicara informal? Banyak sekali yang ada di kepala mereka.

Kenapa mereka sangat akrab?

Siapa Lian?

Apakah presdir punya kekasih?

“Aku melihat Lian.”

“Dimana?” Potong Jungkook lagi. Wajahnya memperlihatkan ketidaksabarannya.

Apa yang dilakukan Lian di rumah sakit? Kenapa tidak ada satupun orang yang memberitahunya?

Jungkook mendengus sebal saat Jimin tidak kunjung menjawabnya. Diapun menendang kaki Jimin.

“YA! KAU! ARGH SIALAN!” Pekik Jimin sambil mengangkat kakinya yang baru saja ditendang Jungkook.

Entah sudah berapa kali para perawat dan dokter dibuat dengan kelakuan Jimin? Apa Jimin baru saja mengatai atasannya?

“Aku melihat Lian kesini bersama seorang pria dan bocah kecil! Apa Lian sudah menikah dan mempunyai anak? Kenapa kau tidak memberitahuku kalau Lian sudah meni-”

“Apa?! Ya! Kau ini bicara apa? Lian belum menikah dan punya anak!” Potong Jungkook sebal. Sahabatnya ini sepertinya butuh psikiater. Bahkan Jungkook tidak pernah mendengar kalau Lian menyukai seorang pria.

Mereka nampaknya tidak sadar kalau sedang menjadi pusat perhatian. Beberapa tampak berdecak kagum karena bisa melihat ekspresi kesal Jungkook yang semakin membuat pria bergigi kelinci itu tampan. Tapi mereka juga masih dibuat penasaran dengan sosok yang saat ini dua pria itu bicarakan.

“Kalau tidak percaya, tanya saja pada Lian! Aku merasa dikhianati, tahu?!” Sungut Jimin lalu berlalu begitu saja dari hadapan Jungkook.

“Ya, Park Jimin! Kau masih hutang penjelasan padaku!” Teriak Jungkook kesal.

Jimin tidak menjawab dan hanya melambaikan tangannya.

“Kau kupecat!”

“Aku sangat berterimakasih!” Balas Jimin

.

.

.

.

.

To be continue~

Posted in Chapter, Hurt, I Hate You, I Love You, Married Life

I Hate You, I Love You #1

I Hate You, I Love You #1

Author : brokenangel

Cast : Kim Lian – Park Chanyeol – Byun Baekhyun – Kim Taehyung – Jung Eunji

Category : Hurt, Married Life

Rate : PG-15

“Kebencianmu hanya akan menjebakmu dalam sebuah perasaan dalam yang perlahan mematikan seluruh kinerja syaraf.”

**

Kim Lian sudah lama sekali kehilangan kehidupan indahnya. Semuanya pergi satu per satu dengan membawa senyum dan semua kenangan indah. Hingga kini, tidak ada kenangan yang bisa Lian kenang selain saat orang-orang berharga menghilang satu per satu. Setiap detik yang Lian jalani tidak pernah bermakna dan Lian tidak pernah membuatnya bermakna. Hidupnya sudah kelabu. Warna itu direnggut satu-satunya orang yang dia harapkan dapat membahagiakannya. Menggantikan beribu kesedihan yang selama ini dia rasakan.

Kim Lian tidak percaya semua orang. Karena saat kau menaruh kepercayaan kepada seseorang, kau akan merasa tersakiti. Lian hanya menganggap hidupnya hanya tinggal menunggu hitungan detik. Hidup Lian sudah hancur. Dan Lian tidak pernah mempunyai niatan untuk memperbaikinya.

Kim Lian sangat berarti untuk semua orang. Gadis dua puluh lima tahun itu memiliki banyak sekali orang yang menyayanginya. Hanya saja hatinya sudah lama mati. Benda itu sudah tidak lagi berfungsi. Lian mati rasa. Hidupnya hanya dipenuhi dengan kebencian. Kebencian pada dirinya sendiri dan semua orang.

Tapi percayalah, dalam hati Lian yang sembilan puluh sembilan persen beku dan usang itu, masih tersisa sedikit rasa cinta. Cinta untuk pria brengsek yang dia temui tujuh tahun yang lalu. Jika saja Lian punya mesin waktu, hal pertama yang akan Lian lakukan adalah kembali pada tujuh tahun yang lalu kemudian dia akan merubah jalannya agar tidak bertemu pria brengsek yang selalu menyiksa batinnya.

Kim Lian membenci kenyataan kalau pria brengsek yang dia cintai itu sudah terikat dengannya. Detik saat dia terikat saat itu adalah detik saat dunia Lian runtuh seketika. Hidupnya lebih tidak berharga. Terlambat. Andai saja Lian tahu lebih awal kalau pria brengsek yang menyandang status sebagai suaminya itu hanya mempermainkamnya.

Hanya kata ‘andai’ yang selalu menjadi penyesalan Lian.

Entah sudah berapa lamanya Lian tidak merasakan sakit baik fisik maupun batin. Seperti saat ini. Tidak terhitung berapa lama gadis dua puluh lima tahun ini berenang di kolam renang rumahnya. Bukan. Rumah mereka. Lian dan suami brengseknya. Berenang adalah salah satu ekspresi pelampiasan perasaan yang melandanya. Baik senang maupun sedih. Tapi, bukankah Lian sudah lama mati rasa?

Benar. Maka dari itu tidak ada yang tahu bagaimana jalan pikiran gadis kepala dua ini. Di cuaca yang sangat dingin ini, tidakkah mereka memilih duduk di depan perapian bersama orang terkasih? Bukan berenang di malam hari seperti yang dilakukan Lian. Di sekeliling kolam renang, para pelayan dan penjaga rumah sudah berkeliling dengan tatapan cemas. Mereka cukup tahu untuk tetap diam dan membiarkan majikan mereka melakukan hal ekstrem itu. Bagi mereka, diam adalah satu hal penting yang harus dilakukan selama bersama Kim Lian.

Satu-satunya yang mereka harapkan saat ini adalah agar Tuan mereka segera pulang. Hanya sang suamilah yang bisa menghentikan aksi nekat Lian. Rose, satu-satunya pelayan yang lumayan dekat dengan Lian, akhirnya mendekat ke arah kolam renang. Dia sudah cukup dibuat serangan jantung saat tiba-tiba Nyonyanya itu menceburkan diri ke dalam kolam renang. Sekarang dia tidak bisa diam saja. Bagaimana kalau gadis rapuh itu sakit?

“Nyonya, sebaiknya Nyonya berhenti berenang. Nyonya bisa sakit kalau tidak keluar dari kolam renang.” Suara Rose terdengar bergetar. Antara kedinginan dan takut.

Seharusnya Rose tahu kalau ucapannya hanya akan dianggap angin lewat oleh Lian. Buktinya gadis -ah sekarang tidak lagi, Lian tetap menyusuri kolam renang seluas 70×55 meter itu.

Lian sudah berusaha untuk menulikan telinganya. Dia bukan tidak tahu kalau para pelayan dan penjaganya sudah sangat mengkhawatirkannya. Tapi, tidak ada cara lain untuk menyembunyikan air mata kesakitannya. Setidaknya air kolam ini bisa menyembunyikan air matanya. Air dingin ini sebenarnya menyakiti Lian. Rasa sakit itu menembus hingga ke tulang.

Tidak ada lagi rasa sakit yang lebih menyakitkan dari rasa sakit yang kau berikan.

Lian terus berenang dari ujung kembali lagi ke ujung. Pinggir, tengah, ujung, kembali lagi pinggir. Seperti itu terus yang dilakukan Lian selama hampir tiga jam ini.

Suara hentakkan sepatu terdengar sangat tergesa-gesa dan membuat semua pelayan dan penjaga menoleh. Setelah melihat siapa yang datang, mereka langsung menyingkir. Aura gelap langsung mereka rasakan saat pria dengan setelan jas armani itu berjalan menuju halaman samping. Matanya memerah dengan rahang mengeras dan tangan terkepal erat.

Chanyeol tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat istrinya itu menurut. Jangankan menurut, mendengarkan orang lain saja enggan. Dia cukup paham bagaimana keras kepala dan dinginnya wanita itu. Bahkan secara tidak langsung, sikap keras kepala dan tidak mau tahunya Lian sering membuat orang-orang serangan jantung. Bukan satu dua kali.

Chanyeol tidak bisa menyalahkan orang masa lalu Lian karena membuat Lian berubah drastis. Dia juga sadar kalau dia sendiri salah satu diantara orang-orang itu yang membuat hidup wanitanya hancur. Tapi tidakkah tindakan Lian terlalu berbahaya?

Nafas Chanyeol tercekat saat melihat istrinya yang berenang kesana kemari tanpa peduli berapa suhu malam ini. Dengan langkah tergesa dia berlari menuju pinggir kolam renang. Tatapan menghunusnya membuat semua pelayan takut.

“Kalian bisa masuk.” Suara rendah seseorang membuat para pelayan masuk ke dalam rumah dan kembali melakukan pekerjaan mereka. Hanya beberapa yang tinggal karena membawakan handuk dan mantel tebal untuk Lian.

Baekhyun menatap adik tirinya nanar. Hatinya nyeri melihat aksi nekat Lian yang berakhir melukai diri Lian. Dia berdiri di belakang Chanyeol. Membiarkan sahabatnya itu mengurus adik tirinya.

Chanyeol masih menunggu sampai Lian lewat di depannya. Hanya berada di luar saja sudah membuatnya menggigil. Apalagi saat menyentuh air kolam.

“Berhenti, Park Lian.” Chanyeol berucap rendah saat Lian sudah melewatinya.

Chanyeol harus menahan emosinya saat Lian melewatinya begitu saja. Giginya sudah mulai bergemeletuk. Sungguh Chanyeol merasa kesabarannya mulai habis. Dia sangat ketakutan kalau Lian akan hipotermia.

“KUBILANG BERHENTI, PARK LIAN!” Chanyeol tidak bisa lagi menahan emosinya. Suaranya menggelegar memenuhi seluruh penjuru rumah. Bahkan semua pelayan dibuat berjingkat kaget.

Dengan segala kekuatannya, Chanyeol menarik tangan Lian sehingga kepala Lian terangkat dari air. Nafas Chanyeol sudah sangat memburu. See! Bahkan tangan yang saat ini dia pegang sudah sedingin es. Wajah istrinya yang selalu dia agung-agungkan, sudah sangat pucat dengan bibir yang bergetar.

Baekhyun menatap Lian nanar. Apa yang bisa dia lakukan? Bahkan dia tidak punya nyali untuk menunjukkan wajahnya di depan adik tirinya. Dia adalah salah satu sumber kesakitan Lian.

Lian merasa air matanya sudah habis. Tapi dia belum siap untuk melihat wajah suami brengseknya. Bukan. Lian muak melihatnya.

Shit! Lian mengumpat dalam hati saat tulang belulangnya makin ngilu karena kedinginan. Tapi Lian ya Lian. Tidak ada ekspresi lain yang dia keluarkan kecuali ekspresi datarnya. Topeng yang selama ini menutupi ketidakberdayaannya.

Kesadaran Lian mulai berkurang. Oh! Dia tidak pernah mengira kalau efeknya akan seperti ini. Sejak kapan dan bagaimana dia sudah keluar dari kolam renang diapun tidak tahu. Tubuhnya sudah terbalut handuk dan mantel tebal. Di depannya, pria yang selama ini memenuhi otaknya menatapnya nyalang. Siap untuk menelannya hidup-hidup.

Satu per satu pelayan yang masih tertinggal meninggalkan halaman samping. Disusul Baekhyun. Melihat Lian keluar dari kolam renang itupun sudah membuatnya lega.

“Kau pikir apa yang kau lakukan di cuaca dingin seperti ini?” Suara rendah dan mengintimidasi Chanyeol kembali terdengar.

Lian hanya mencibir sinis sambil memalingkan wajahnya. Namun kemudian dia kembali menatap pria brengsek di depannya. “Kau pikir apa yang kau lakukan di cuaca dingin seperti ini?” Lian mengatakan hal yang sama kepada Chanyeol. Hanya saja nada bicaranya terkesan datar. Khas seorang Kim Lian.

“Jangan memancing emosiku, Li!” Sentak Chanyeol

“Bukankah kau sudah emosi?” Balas Lian bengis. Tatapannya masih sama. Datar.

Chanyeol sudah cukup waras untuk tidak terpancing amarahnya. Sumpah demi apapun! Chanyeol sangat mengkhawatirkan kondisi Lian. Bibir wanita itu mulai membiru.

“Masuk!” Titahnya dengan suara rendah.

“Kali ini siapa lagi?” Tanya Lian yang membuat Chanyeol mengurungkan niatnya untuk melangkah. “Wanita mana lagi yang kau tiduri?” Sambung wanita bermarga Kim itu.

“Jangan mulai, Lian.”

“Cih! Bahkan wanita jalang itu meninggalkan bekas lipstiknya.” Desis Lian sambil memalingkan wajahnya.

Tangan Chanyeol terkepal erat. Bahkan buku-buku jarinya terlihat memutih. Dia marah dan menyesal secara bersamaan. Seharusnya dia tidak lupa kalau istrinya ini mempunyai banyak mata.

Kau menyakitinya lagi, bajingan!

“Kau tidak mendengarku? Kubilang masuk!” Kembali Chanyeol berucap tak terbantahkan. Tangannya menggenggam tangan Lian dan sedikit menyeretnya masuk.

“Jangan menyentuhku, brengsek.” Suara rendah Lian membuat Chanyeol menghentikan langkahnya. Otomatis langkah Lian ikut terhenti.

Chanyeol menatap Lian tajam. Tangannya masih menggenggam tangan Lian. Bahkan kali ini lebih erat. Rahangnya mengetat.

Kau lihat? Istrimu bahkan tidak sudi kau sentuh.

“Kali ini tidak lagi, Li. Kau. Harus menuruti kataku. Sekali saja.” Chanyeol berusaha menekan egonya demi kondisi Lian yang makin mengkhawatirkan.

“Jangan ikut campur urusanku. Urusi saja wanita-wanita jalangmu itu.”

“Bisakah kau tidak merendahkanku sekali saja?!” Sentak Chanyeol dengan nafas memburu.

“Aku. Bicara. Kenyataan. Singkirkan tanganm-”

Ucapan Lian langsung terhenti saat bibirnya dibungkam dengan bibir Chanyeol. Sejak tadi pria itu sudah cukup bersabar menghadapi istrinya yang keras kepalanya tidak ada yang menandingi. Bahkan dia meninggalkan klien kerjanya yang datang jauh-jauh dari Jerman karena sebuah pesan yang detik itu juga berhasil membuatnya memecahkan sebuah vas.

Tangan Lian terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Dia masih cukup sadar saat bibir Chanyeol menempel di bibirnya. Rasa sakit itu kembali menggerogotinya. Mati-matian Lian menahan air matanya yang siap tumpah. Semua sumpah serapah dia ucapkan dalam hati kepada pria yang saat ini masih menciumnya. Lian bisa saja mendorong Chanyeol agar menjauh. Tapi hatinya berkata lain.

Biarkan sekali saja aku melukai harga diriku. Aku merindukannya.

Lian memejamkan matanya. Membiarkan rasa sakit itu memakan habis hatinya. Toh, benda satu itu tidak lagi berguna untuknya. Lian membiarkan Chanyeol melumat bibirnya. Menyecapi rasa manis bibirnya yang kini bergetar hebat karena kedinginan dan menahan perih.

Chanyeol tidak peduli kalaupun Lian akan marah. Tindakan gilanya ini pasti menimbulkan luka lagi dalam hati Lian. Biarkan saja. Chanyeol ingin menghilangkan warna kebiruan di bibir sang istri akibat kedinginan. Selain itu, dia merindukan rasa manis bibir cherry istrinya. Dia memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan guna mencari posisi nyaman sekaligus agar Lian tidak kehilangan pasokan udara. Lian hanya diam mematung dalam setiap lumatan yang diberikan Chanyeol.

Hingga akhirnya Chanyeol merasakan tubuh istrinya melemah. Dengan sigap dia menahan pinggang Lian dengan kedua tangannya. Dia menjauhkan wajahnya dan mendapati wajah pucat pasi Lian dengan bibir yang bergetar. Mata Chanyeol membola lebar.

“Jangan menyentuhku, brengsek. Aku tidak sudi disentuh tangan kotormu.” Ucap Lian lirih dengan mata nyaris terpejam. Tatapan matanya mengisyaratkan kebencian.

“Jangan bicara. Kau menggigil, Li.” Ucap Chanyeol panik.

“Jangan pedulikan aku.”

“KAU BISA MATI, PARK LIAN!” Teriak Chanyeol saking cemasnya.

Tanpa mempedulikan Lian yang terus memberontak, dia mengangkat tubuh Lian yang makin kurus ke kamar mereka.

“BAEKHYUN, PANGGIL DOKTER!” Teriak Chanyeol saat kakinya berlari menyusuri tangga.

Para pelayan terkejut saat melihat majikan mereka berlarian dengan sang istri yang sudah tak sadarkan diri. Di tempatnya, Baekhyun diam mematung melihat Lian yang pingsan. Bukan yang pertama kalinya Lian melukai dirinya sendiri. Dan Baekhyun merasa sangat tidak berguna karena selama ini dia gagal menjaga adik tirinya.

**

Setelah mengganti semua pakaian Lian yang basah dengan pakaian yang lebih hangat, Chanyeol menyelimuti tubuh menggigil Lian. Dia terus menyalahkan dirinya sendiri yang kembali membuat istrinya harus berurusan dengan dokter. Sungguh Chanyeol sangat mencintai wanita yang saat ini berada di pelukannya. Tapi memang predikat brengsek dan bajingan tidak bisa lepas dari seorang Park Chanyeol.

Park Chanyeol adalah seorang pria yang ambisius, ditaktor, dan harus dapat apa yang dia inginkan. Termasuk dalam hubungan seks. Bukan hal yang sulit bagi Chanyeol untuk mendapatkan wanita yang dengan rela menyerahkan lubang mereka untuk Chanyeol. Sekali tatap, wanita-wanita seksi akan langsung bisa dia ajak naik ke atas ranjang.

Bagi Chanyeol, nafsu nomor satu kemudian hati. Dia selalu mengesampingkan fakta kalau dia sudah beristri saat sudah bersama para jalang. Kenapa tidak meminta Lian saja? Sudah. Hanya saja Lian sudah tidak sudi menyerahkan tubuhnya untuk seorang bajingan seperti Chanyeol. Cukup tiga kali saja bagi Lian sebelum akhirnya wanita malang itu tahu bagaimana bejatnya sang suami.

Setidaknya kenyataan bahwa sang suami pernah menghamili salah satu simpanannya sudah menjadi kenyataan paling pahit bagi Lian. Lian sudah tersakiti terlalu dalam. Dan sejak itu dia muak melihat suami brengseknya. Belum cukup dengan menjadikannya mainan, hingga akhirnya Chanyeol membuat jalangnya hamil yang kemudian janin haram itu meninggal saat masih berusia tiga bulan.

Chanyeol bangun dari berbaringnya saat pintu terbuka dan menampilkan Baekhyun dengan penampilan kusutnya.

“Dokter sudah datang.” Ucap Baekhyun sesaat kemudian.

Chanyeol menyingkir dari ranjang dan berjalan menuju pintu. Baekhyun memberikan jalan untuk dokter masuk. Saat itu juga, mata Chanyeol langsung melotot tajam. Tangannya terkepal erat dan rahangnya mengeras. Dia berjalan cepat guna bisa mencapai dokter itu. Chanyeol mencengkram kerah kemeja sang dokter.

“Apa yang ada di otakmu sampai kau berani masuk ke dalam rumahku, sialan?” Desis Chanyeol dengan mata menyalang ke arah dokter di depannya.

Taehyung, dokter pribadi keluarga Lian sekaligus seseorang di masa lalu Lian, menepis tangan Chanyeol dengan kasar. Wajahnya datar. Taehyung menatap Chanyeol tak kalah tajam.

“Dari semua dokter di Seoul, kenapa harus kau yang datang?!” Sentak Chanyeol

“Kau pikir kau siapa? Urusi saja jalang-jalangmu itu.” Sahut Taehyung tenang.

Chanyeol tidak bisa lagi menahan emosinya. Baru saja dia hendak melayangkan tinju untuk Taehyung, sebuah tangan sudah menahannya. Dilihatnya Baekhyun dengan wajah lelahnya.

“Tidak tahukah kalian kalau adikku sedang sekarat?” Lirihnya sambil menatap Chanyeol dan Taehyung bergantian.

Tanpa mempedulikan tatapan bengis Chanyeol, Taehyung berjalan menuju ranjang tempat dimana wanita yang dulu pernah dia cintai terbaring. Dia meringis saat melihat wajah pucat Lian. Kemudian dokter muda itu mulai mengeluarkan alat-alat periksanya.

“Kupikir dengan aku melepasmu kau akan bahagia.” Ucap Taehyung dalam hati. Kemudian dia mulai memeriksa kondisi Lian.

Taehyung meringis saat kulitnya bersentuhan dengan kulit Lian. Sebenarnya apa yang terjadi? Itulah yang sejak tadi memenuhi kepalanya saat tiba-tiba Baekhyun menghubunginya bahwa Lian sakit. Lian yang sekarang sangat berbeda dengan Lian yang dia temui sembilan tahun yang lalu. Setidaknya, dulu dia masih bisa melihat senyum tipis Lian yang berhasil membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.

Dia pikir dengan merelakan Lian kepada Chanyeol, hidup gadis itu akan berubah. Dia menaruh harapan besar pada Chanyeol karena Lian selalu antusias saat bercerita tentang pertemuan mereka. Bahkan Taehyung harus rela menelan pahitnya cinta bertepuk sebelah tangan. Namun apa yang terjadi? Lian kembali dilukai. Chanyeol menjadikan Lian taruhan sekaligus berselingkuh di belakang Lian.

Detik saat Taehyung mengetahui fakta itu, detik itu juga Chanyeol langsung terbaring di rumah sakit karena mendapat pukulan membabibuta darinya. Usia pernikahan mereka saat itu masih berusia dua bulan. Pernikahan mereka bukan murni atas kemauan mereka. Melainkan perjodohan.

Taehyung melepaskan stetoskopnya dan kemudian membereskan alat-alatnya. Dia menatap Lian sekali lagi sebelum dia benar-benar harus pergi.

“Berbahagialah, Li. Agar aku tenang saat jauh darimu.” Ucap Taehyung dalam hati sambil mengelus-elus kepala Lian.

Lagi-lagi Chanyeol harus dibuat marah saat melihat Taehyung menyentuh istrinya. Dia memilih untuk memalingkan wajahnya daripada harus menyaksikan pemandangan menyakitkan di depannya. Chanyeol sadar seratus persen kalau rasa sakit yang Lian rasakan lebih dari rasa sakitnya.

“Bagaimana? Apakah ada yang serius?” Tanya Baekhyun sambil berjalan mendekati Taehyung.

“Apa lagi yang dilakukan si brengsek itu sampai membuat Lian seperti ini?” Ucap Taehyung pelan. Dia hendak berdiri namun tangannya ditahan oleh Lian.

Taehyung menatap tangannya dan Lian bergantian. Dia bernafas lega saat melihat mata Lian terbuka. “Li? Kau sadar?” Bisik Taehyung

Baekhyun dan Chanyeol yang mendengar ucapan Taehyung langsung beringsut mendekat. Keduanya bernafas lega saat melihat mata Lian yang sepenuhnya sudah terbuka. Chanyeol hendak duduk di samping Lian, namun tertahan saat melihat tatapan terluka Lian. Siapa yang tahan dengan tatapan terluka itu?

“Apa yang kau lakukan sampai kau kedinginan seperti ini?” Tanya Taehyung dengan nada kawatirnya. Tangannya mengusap-usap pipi Lian.

Nan gwaenchanha.” Ucap Lian pelan.

“Aku sangat kawatir, Li. Kumohon jangan sakit lagi.” Lirih Taehyung dengan nada meminta.

“Pulanglah. Kau sangat kelelahan.”

“Aku akan menemanimu sampai kau tidur.”

“Aku ingin sendiri. Jangan khawatirkan aku.” Tolak Lian

Taehyung menghela nafas pasrah. Sekalipun Lian tidak pernah berkata kasar padanya, dia tetap tidak berani untuk membantah. “Baiklah. Segeralah sembuh.” Ucap Taehyung sambil mengelus-elus kepala Lian. Lian hanya membalas dengan anggukan pelan.

Kemudian Taehyung pergi dengan diantar Baekhyun. Selepas kepergian Taehyung dan Baekhyun, Chanyeol langsung duduk di samping Lian. Bohong kalau dia tidak khawatir. Dia sangat khawatir. Hanya saja Chanyeol tipe orang yang sulit mengekspresikan perasaannya. Bodohnya lagi, dia tidak bisa berhenti melukai istrinya.

Lian kembali membuka matanya saat merasakan usapan lembut di pipinya. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah khawatir Chanyeol. Lian memalingkan wajahnya. Melihat wajah Chanyeol hanya akan membuatnya lemah.

“Maafkan aku.” Ucap Chanyeol pelan.

“Aku bosan mendengar permintaan maafmu.” Sahut Lian dengan suara paraunya.

Chanyeol menghela nafas panjang. Lalu dia berbaring di samping Lian dan menjadikan lengannya sebagai bantal untuk sang istri. Tidak ada penolakan seperti biasanya. “Tidurlah.” Bisiknya sambil membenarkan selimut Lian.

Lian membiarkan tangan Chanyeol memeluknya. Biarkan sekali saja dia melukai harga dirinya. Dia terlalu merindukan Chanyeol. Suami brengseknya. Maka, dia ingin merasakan hangatnya pelukan Chanyeol di sekitar perutnya. Merasakan hangatnya deru nafas Chanyeol yang menerpa wajahnya. Nyaman. Masih sama.

Lian bergerak gelisah dalam pelukan Chanyeol. Ternyata membiarkan Chanyeol memeluknya merupakan opsi buruk. Lian kembali ingat kalau tangan yang saat ini melingkari perutnya adalah tangan yang juga digunakan untuk menjamah tubuh para jalang di luar sana. Mengingat itu semua membuat Lian harus kembali menekan rasa nyeri di dadanya. Andai saja dia punya kekuatan lebih dan ego tidak sedang menguasainya, Lian akan menepis dengan kasar tangan Chanyeol.

Merasakan pergerakan gelisah dari istrinya, Chanyeol membuka matanya. Dia menatap Lian cemas. “Sayang? Ada apa?” Tanyanya cemas sambil membawa kepala Lian untuk bersandar pada dadanya.

Sekali lagi air mata itu kembali mengalir di pipi Lian. Sekuat dan sedingin apapun seorang Kim Lian, pertahanannya akan runtuh saat benar-benar merasa lelah.

“Aku membencimu, sialan.” Desis Lian dengan suara bergetar.

Chanyeol menghela nafas panjang. Tangannya tidak berhenti mengelus-elus rambut sang istri. “Aku mencintaimu.” Balas Chanyeol lalu mencium puncak kepala Lian.

**

“Setelah adanya mereka kau masih bisa mengelak?”

“Bukan begitu. Aku-“

“Bahkan kalian sudah berselingkuh sebelum kita menikah?!”

“Dengarkan aku dulu.”

“Apa yang harus kudengarkan?! Kau membohongiku! Kau mengkhianatiku!”

Lian bersembunyi di balik dinding saat melihat kedua orangtuanya bertengkar hebat. Disana dia juga melihat seorang wanita yang tengah menggandeng seorang anak laki-laki. Siapapun mereka, yang jelas Lian membencinya karena kedua orangtuanya mulai bertengkar saat dua orang itu datang.

Ingin rasanya Lian keluar dari persembunyiannya dan memeluk ibunya. Dia tidak suka melihat ibunya menangis. Ibunya adalah mataharinya. Bukankah matahari tidak pernah mengeluarkan air? Tapi apalah daya dia yang hanya seorang gadis kecil berumur tujuh tahun?

Jadi, Lian hanya bisa menunggu ibunya datang menghampirinya. Memeluknya. Mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja.

“Sekarang kau yang tentukan! Aku dan Lian pergi atau kau mengusir mereka!” Ibu Lian nampak murka dengan wajah penuh air mata sambil menunjuk wanita yang berada di samping Ayah Lian.

Lian tidak bisa lagi menahan air matanya untuk tidak keluar. Dia takut. Dia tidak ingin pergi dari rumah. Dia ingin tinggal bersama ayah dan ibunya.

“Tidak bisa.” Suara lemah Ayah Lian terdengar.

“Baik. Aku dan Lian akan meninggalkan rumah ini.” Ibu Lian hendak melangkah pergi namun ditahan Ayah Lian.

“Tidak bisa! Kalian tidak boleh meninggalkan rumah ini!” Teriak Ayah Lian

“Kalau begitu suruh jalangmu itu pergi!”

Plak!

Lian melotot kaget saat Ayahnya menampar Ibunya. Selama ini Ayahnya tidak pernah berbuat kasar. Tapi kenapa sekarang dia malah menampar ibunya? Kaki Lian tidak bisa dicegah untuk berhenti. Dia berlari mendekati sang ibu yang tengah menangis sambil memegangi pipinya.

Lian memeluk kaki Ibunya. Dia ikut menangis. Takut dan kecewa bercampur jadi satu.

Kim Jeha, Ayah Lian, tampak kaget saat tiba-tiba putri kecilnya datang. Dia menatap tangannya yang bergetar dengan penuh penyesalan. Putri kecilnya pasti sangat ketakutan.

“Eomma…” Bisik Lian ditengah isakannya.

Anna, Ibu Lian, jongkok dan memeluk putri kesayangannya. “Tak apa, sayang.” Bisiknya sambil mencium puncak kepala Lian.

Lian beralih menatap ayahnya sengit. Dia kecewa karena pria yang selama ini dia banggakan melukai ibunya. Bahkan saat Jeha hendak menyentuhnya, dia langsung menghindar.

“Sayang?”

“Appa jahat! Appa memukul Eomma! Aku benci Appa!” Jerit Lian

“Sttt, sayang, jangan seperti itu. Eomma baik-baik saja.”

“Tapi Appa menyakiti Eomma. Mereka juga membuat Appa dan Eomma bertengkar. Aku benci mereka.” Lian menunjuk wanita yang berada di samping ayahnya dan juga bocah kecil itu.

“Lian!”

“Jangan membentak putriku!” Anna balas membentak Jeha karena tidak terima putrinya dibentak.

“Eomma…” Lian semakin menangis tersedu-sedu saat ayahnya baru saja membentaknya.

“Maafkan Appa, sayang.” Jeha kembali berusaha menyentuh putrinya. Namun lagi-lagi Lian menghindar. Lian sangat takut dengan ayahnya saat ini.

“Sayang, apa kau mau ikut Eomma ke rumah Eomma? Kita tinggal disana berdua.” Ucap Anna hati-hati.

“Lian tidak mau! Lian hanya mau tinggal disini bertiga! Appa, suruh mereka pergi! Mereka membuat Eomma menangis.”

“Tidak, sayang. Kita akan pergi.” Paksa Anna

“Anna, kumohon.” Pinta Jeha dengan wajah penyesalannya.

“Seharusnya kau berpikir dulu saat ingin menikahiku dulu. Aku menyesal. Ayo, sayang.” Anna menggandeng tangan Lian hendak pergi.

“Biarkan aku saja yang pergi.” Akhirnya wanita itu angkat suara.

“Tidak! Kalian semua harus tetap disini!” Seru Jeha frustasi.

“Eomma, aku takut.” Lirih Lian

“Kau menakuti putrimu! Terserah apa maumu! Aku akan pergi bersama Lian!” Ucap Anna sambil kembali menggandeng Lian untuk pergi.

“Eonni, jangan pergi.” Wanita itu menahan lengan Anna. 

Melihat tangannya dipegang oleh wanita selingkuhan suaminya, langsung saja Anna menepisnya dengan kasar hingga wanita itu tersungkur ke lantai.

“Jangan gunakan tangan kotormu itu untuk menyentuhku, jalang!” Desis Anna

“Jaga bicaramu, Anna!” Sentak Jeha lagi sambil membantu wanita itu berdiri.

“Kalau kau mau pergi, pergilah! Tapi jangan pernah membawa Lian!”

“Jadi kau memilih wanita itu? Sebegitu tidak berharganyakah aku di matamu? Kau bahkan memilih wanita itu daripada istrimu sendiri!” Air mata Anna semakin deras mengalir.

Lian hanya diam terisak melihat orangtuanya saling berteriak. Dia sangat takut.

“Baiklah. Aku akan pergi. Kita bercerai.” Putus Anna

Mendengar kata cerai dari mulut sang istri langsung membuat Jeha melotot kaget. Dari semua kata yang ada, dia menghindari kata maksiat itu agar tidak keluar dari mulut Anna. Cerai berarti kiamat. Dia tidak bisa. Dia terlalu mencintai Anna.

“Sayang, kau tidak bisa mengambil keputusan gegabah.”

“Kau juga tidak bisa menyakitiku! Lian sayang, tetaplah disini. Jangan ikuti Eomma.” Anna menghapus air mata putrinya.

“Eomma, aku takut.”

“Tak apa, sayang. Semuanya akan baik-baik saja. Jangan menangis. Kau gadis yang kuat. Kau harus menjadi wanita kuat, sayang. Jangan lemah seperti Eomma.”

“Anna-“

“Eomma mencintaimu. Eomma akan selalu datang untuk melihatmu. Berjanjilah pada Eomma kalau kau tidak akan membenci mereka. Mereka akan menyayangimu seperti halnya Eomma.”

“Eomma, aku juga menyayangimu. Aku ingin bersama Eomma terus.” Lian memeluk ibunya dengan erat.

“Tidak bisa, sayang. Eomma harus pergi jauh. Lian disini bersama Appa, ahjumma, dan ahjussi. Mereka berdua juga akan menjadi keluargamu.” Susah payah Anna mengatakan itu semua. Dia berusaha melawan rasa sakitnya agar putrinya tidak takut.

“Eonni-“

“Eomma mencintai Lian.” Bisik Anna lalu mencium kening Lian cukup lama.

Jeha hanya diam mematung di tempatnya. Bahkan dia ikut menangis. Otaknya tidak bisa bekerja dengan baik.

“Ahjumma!” Anna memanggil pelayan rumah mereka.

“Ya, nyonya?”

“Tolong jaga putriku. Aku harus pergi sekarang.” Anna menyerahkan Lian pada pelayan rumah mereka.

Shin Ahjumma hanya menuruti perintah majikannya. Dia hanya pelayan dan tidak berhak ikut campur. Dia juga tidak tuli untuk mendengar semua pertengkaran itu. Air mata Shin Ahjumma juga ikut mengalir.

Kemudian Annapun mulai melangkah pergi meninggalkan Lian yang masih menangis sambil berteriak memanggilnya. Jeha seolah tersadar. Dia mengejar istrinya agar tetap tinggal. Sungguh dia menyesal telah mengucapkan kalimat itu.

“Eomma!” Jerit Lian sambil berlari mengejar Anna.

“Nona!” Shin Ahjumma mengikuti Lian yang sudah berlari mengejar ibunya.

“Eomma!” Lian terus berteriak memanggil ibunya.

Brak!

Semuanya terjadi begitu cepat. Tubuh Anna terpental jauh di jalanan hingga berakhir dengan membentur pembatas jalan. Jeha dan Shin Ahjumma berteriak histeris saat melihat Anna yang sudah tergeletak di jalan dengan tubuh dan wajah penuh darah. Jeha langsung berlari menghampiri istrinya. Memangku kepala sang istri.

Lian masih diam mematung setelah menyaksikan kejadian yang baru pertama kali dia lihat. Dia menatap mobil yang baru saja menabrak ibunya dan ibunya yang sudah tergeletak dengan darah dimana-mana bergantian.

“Eomma…” Lirih Lian hendak berjalan mendekati ibunya namun langsung ditahan oleh Shin Ahjumma. Bahkan matanya juga ditutupi.

Lian duduk dengan kedua lutut ditekuk di depan pintu ruang operasi. Tangisnya tidak mau berhenti. Sudah lebih dari dua jam ibunya berada di dalam ruang operasi. Lian takut. Sangat takut sampai siapapun yang mengajaknya bicara hanya dia diamkan.

Lian masih sangat ingat saat mobil itu menabrak tubuh ibunya. Wajah Anna yang penuh darah. Anna yang memejamkan matanya dan tidak mau dia ajak bicara. Ingatan terakhirnya berhenti saat ibunya menangis karena kedatangan tiba-tiba orang asing. Lalu ayahnya yang menampar ibunya. Ayahnya yang membentak ibunya. Lian sangat ingat. Hingga akhirnya Anna meninggalkannya.

Lian bangun dari duduknya saat mendengar suara pintu digeser. Dia menghapus air matanya dan segera menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi. “Dokter, dimana Eomma? Apa Eomma sudah bangun?” Tanya Lian

Dokter itu tampak menghela nafas berat. Dia menatap Lian iba. “Maafkan dokter.” Ucap dokter itu pelan.

Jeha, Shin Ahjumma, dan dua orang yang membuat ibu Lian menangis langsung menangis histeris. Jeha seolah mendapat pukulan keras saat mendengar permintaan dokter. Bukan kata itu yang dia inginkan.

“Dokter, Eomma masih bisa bermain dengan Lian, kan? Kenapa dokter minta maaf? Lian tanya apa Eomma sudah bangun, bukan minta dokter minta maaf.” Tanya Lian lagi.

Lian memang cerdas. Dia bukan tidak paham dengan maksud sang dokter. Hanya saja Lian masih belum percaya. Bisa saja mereka mengerjainya karena sebentar lagi ulangtahunnya.

“Eomma sudah tidur dengan tenang. Lian tidak bisa bermain dengan Eomma sekarang.” Jawab dokter itu. Bahkan dokter itu juga ikut menangis karena merasa kasihan dan bersalah pada gadis kecil di depannya.

“Sayang…” Jeha hendak mendekati Lian namun Lian kembali menghindar.

Melihat penolakan putrinya membuat Jeha beribu-ribu kali lebih terpukul. Bahkan putrinya tidak sudi disentuh olehnya.

“Dokter, kata guruku di sekolah kau punya tangan ajaib yang bisa menyembuhkan manusia. Tapi kenapa dokter tidak bisa membuat Eomma bangun? Lian ingin ikut Eomma. Lian takut.”

“Maafkan dokter, ya, cantik. Dokter sudah berusaha semampu dokter, tapi Eomma tidak bisa bangun lagi. Tuhan terlalu menyayangi Eommamu.” Dokter itu menghapus air mata Lian.

“Eomma tidak boleh pergi meninggalkan Lian sendiri! Eomma!” Jerit Lian tersedu-sedu.

“Maafkan dokter, sayang.” Ucap dokter itu lagi.

“Sayang, sudah. Biarkan Eomma tidur dengan tenang. Lian tidak boleh menangis.” Jeha mendekati putrinya dan menghapus air mata Lian.

“Appa jahat! Appa yang membuat Eomma menangis. Seharusnya Appa tidak memukul dan membentak Eomma. Sekarang Eomma pergi! Lian sendiri. Eomma!” Lian semakin keras menangis dan hendak masuk ke dalam ruang operasi namun Jeha langsung menahannya.

“Maafkan Appa, sayang. Appa menyesal. Maafkan Appa.” Lirih Jeha sambil menggenggam tangan mungil Lian.

“Eomma sudah pergi! Appa jahat! Kalian juga! Seharusnya kalian tidak datang agar Eomma tidak menangis! Appa dan Eomma bertengkar karena kalian!” Lian beralih memarahi dua orang yang sejak tadi diam terisak.

“Sayang, mereka tidak bersalah. Appa yang salah. Jangan salahkan mereka.”

“Kalian yang membuat Eomma meninggal! Aku benci kalian!” Jerit Lian makin tak terkendali. Gadis kecil itu sudah menjadi tontonan para dokter dan perawat saat ini. Mereka menatap Lian iba.

“Nona…”

“Eomma!!!”

.

.

.

.

.

To be continue~